17 Fakta : "Benarkah Buya Hamka adalah Wahabi?"

Banyak orang yang belum mengetahui tentang hal ini, namun disini kami membongkar habis 17 fakta yang jarang diungkap tentang apakah benar Buya Hamka adalah seorang Wahabi. Kami mencoba mengutip langsung dari perkataan Buya Hamka sendiri sehingga dijamin keasliannya. Sumber-sumber kutipan tersebut berasal dari buku-buku yang telah dikarang oleh beliau. Anda dapat merujuk sendiri tulisan tersebut berdasarkan judul buku karangan Buya Hamka yang penulis cantumkan dibawah.

Sebenarnya tidak ada yang salah tentang dakwah wahabi, karena pada hakikatnya dakwah wahabi adalah dakwah salafiyyah, yang mengajarkan aqidah Ahlus Sunnah wal Jamaah yang murni. Namun, yang menjadi masalah adalah stigma sesat yang dilekatkan pada Wahabi itu sendiri. Oleh karenanya Hamka sendiri bangga apabila dakwah beliau dianggap sebagai dakwah wahabi dalam arti memurnikan tauhid seperti Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah. Berikut ini adalah bukti dan faktanya:

FAKTA 1: MENDUKUNG WAHABI

Buya Hamka sangat tegas mendukung dakwah salafiyyah yang ketika itu sering disebut sebagai Wahabi. Hal ini nampak jelas pada perkataan beliau pada salah satu bukunya bahwa:

"Wahabi ialah meneguhkan kembali ajaran Tauhid yang murni, menghapuskan segala sesuatu yang akan membawa kepada syirik. Sebab itu timbullah perasaan tidak ada tempat takut melainkan Allah SWT. Wahabi adalah menantang keras kepada Jumud, yaitu memahami agama dengan beku. Orang harus kembali kepada Al-Qur'an dan al-Hadits."

Sumber: Dari Perbendaharaan Lama: Menyingkap Sejarah Islam di Nusantara, Hal. 213-216, Penerbit Gema Insani, Cet.1, Agustus 2017.

---

FAKTA 2: MASALAH TAWASUL DI KUBURAN

Buya Hamka dikenal sangat tegas dalam masalah aqidah. Beliau terang-terangan membantah orang yang mengerjakan kesyirikan di kuburan karena perbuatan tersebut jelas-jelas menyelisihi Aqidah Salafiyyah/Ahlus Sunnah wal Jamaah yang melarang tawasul syirik. Buya Hamka berkata:

"Yang lebih disayangkan lagi ialah kesalahan penilaian mereka tentang arti wali Allah. Mereka pergi ke kuburan orang yang mereka anggap di masa hidupnya jadi wali, lalu dia memohon apa-apa di situ. Padahal ayat-ayat itu menyuruh orang bertauhid, mereka lakukan sebaliknya, jadi musyrik. Kalau ditegur dia marah, hingga mau dia menyerang orang yang menegurnya itu, seperti tersebut pada ayat 72 di atas tadi."

Sumber: Tafsir Al-Azhar, Jilid 6 Hal. 153-156, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.

---

FAKTA 3: MEMUJI SYAIKH MUHAMMAD BIN ABDUL WAHHAB

Buya Hamka sangat mencintai Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab adalah Ulama Salafiyyah/Ahlus Sunnah yang selalu menjadi inspirasi Buya Hamka dalam berdakwah. Ketika mengisahkan sejarah hijaz beliau menyinggung tentang Syaikh, Buya Hamka berkata:

"Sejak munculnya cahaya Islam 1000 tahun sebelumnya boleh dikatakan bahwa di tanah Arab sendiri sedikit sekali Islam meninggalkan jejak. Kebesaran Islam telah dikecap nikmatnya oleh negeri-negeri dan umat lain. Damsyik dan Baghdad telah merasakan nikmat itu. Pahlawan-pahlawan Islam yang banyak telah berpindah dibawa kewajiban suci mengembangkan Islam ke negeri-negeri yang baru dibuka, seperti Mesir, Syam, Kufah, Basrah, Wasith. Bahkan, ada sahabat yang wafat di Qairuan, Afrika, dan ada yang berkubur di Konstantinopel. Oleh sebab itu, Tanah Arab menjadi sepi lahir dan batin. Pemikiran-pemikiran besar tidak tumbuh lagi di sana. Hanya Kota Mekah dan Madinah yang masih dapat memelihara kebesarannya karena di sana tempat beribadah. Adapun negeri-negeri yang lain kian lama kian muram. Kehidupan tidak ada perubahan (statis). Kemajuan ilmu pengetahuan tidak ada sama sekali.

Orang-orang telah amat jauh dari hakikat ajaran Islam. Mereka menjadi penyembah kuburan, penyembah keramat dan budak azimat serta tangkal. Dari empat Imam madzhab besar, hanya seorang yang muncul di Madinah, yaitu Imam Malik ibnu Anas. Demikianlah halnya yang terjadi selama 1000 Tahun, barulah muncul cahaya baru di tengah-tengah padang pasir itu pada Tahun 1116 H (1704 M), yaitu 12 Abad setelah tiadanya Nabi saw. Dengan lahirnya Syekh Muhammad ibnu abdul Wahab, guru besar ajaran Wahabi yang masyhur.

"Kembali pada ajaran Rasul saw. yang asli", adalah dasar pengajarannya. Tauhid yang khalis, yang tidak bercampur dengan syirik sedikit juga ke sanalah semua umat harus pulang agar selamat dunia dan akhirat. Perbaharui kembali keimanan dan bangkitkan semangat baru adalah sari ajaran Muhammad ibnu Abdul Wahab. Ajaran ini muncul setelah ia mengembara terlebih dahulu keluar dari negerinya, belajar agama di Kota Damsyik, dan sangat dipegangnya ajaran Ibnu Taimiyyah, murid dari Ibnu Qayim, Ibnu Rajab dan lain-lain. Semua adalah ulama-ulama Madzhab Hanbali."

Sumber: Sejarah Umat Islam, Hal. 288-292, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.

---

FAKTA 4: MENENTANG KERAS BID'AH DALAM AGAMA

Ciri-ciri dakwah Salafi/Ahlus Sunnah wal Jama'ah adalah menentang keras adanya pebuatan mengada-ada, baik menambah, mengurangi, mengubah ajaran agama. Hal ini sangat ditekankan sekali oleh Buya Hamka. Buya Hamka resah melihat fenomena masyarakat yang sibuk dengan amal ibadah yang tidak mempunyai dalil dari Al Qur'an dan As Sunnah. Buya Hamka berkata:

"Sumber agama, sebagai yang diserukan pada ayat ini sudah tegas sekali, yaitu peraturan dari Allah dan Rasul. Di luar itu, bid'ah namanya. Segala perbuatan bid'ah itu nyatalah tidak bersumber dari pengetahuan dan tidak dari petunjuk (hidayah Ilahi). Kalau sudah ditambah karena taqlid maka sifat keadaan agama itu akan berubah sama sekali. Dinamai suatu agama baru dengan nama Islam, padahal ia sudah jauh dari Islam. Di negeri kita ini banyak jahiliyyah ditimbulkan atau dibangkit-bangkitkan oleh penguasa sendiri, dijadikan tradisi yang menyerupai ibadah, dan orang yang menegurnya sebab tidak berasal dari agama, akan balik dimarahi orang. Inilah akibatnya orang tidak senang kalau Syari'at Islam yang berasal dari Allah dan Rasul dijalankan."

Sumber: Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 55-57, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.

---

FAKTA 5: AYAH BELIAU ADALAH WAHABI

Buya Hamka juga pernah bercerita tentang Ayah beliau, Haji Abdul Karim Amrullah. Buya Hamka mengisahkan tentang hubungan baik yang terjalin antara Ayahnya dengan KH Ahmad Dahlan. Buya Hamka mengatakan bahwa KH Ahmad Dahlan adalah pembaca setia surat kabar Wahabi yang rutin diterbitkan oleh Ayahnya. Buya Hamka berkata:

"Kiai-kiai di Yogya kata K.H.R. Hajid tahu bahawa K.H.A. Dahlan menjadi pembaca setia "Al-Munir", surat kabar kaum Wahabi di Padang. Setelah saya mendengar riwayat hubungan rohani K.H.A. Dahlan dengan Al-Munir, yang terbit pada Tahun 1911 itu dan dengan rasmi Muhammadiyah berdiri pada Tahun 1912, dapatlah saya memahami cerita Ayahku kepadaku yang kerap kali diulang-ulangnya, bahawa ketika beliau di tanah Jawa pada Tahun 1917, dia singgah di Yogya dalam perjalanannya kembali ke Jakarta dari Surabaya.Beliau bercerita bahawa di dadanya ditempelkan huruf-huruf Arab H.A.K.A. (Haa, Ain, Kaaf, Hamzah), sehingga seketika K.H.A. Dahlan datang ke stesen Tugu menjemputnya, segera beliau dapat mengenal Ayahku, sebagai wakil Al-Munir. Beliau di Yogya 3 hari menjadi tamu K.H.A. Dahlan. Kata Ayahku (Haji Abdul Karim Amrullah -red): "Dengan tawaduknya K.H.A. Dahlan meminta izin hendak menyalin karangan-karangan beliau ke dalam bahasa Jawa, untuk diajarkan kepada murid-muridnya." Dan dengan segala rendah hati pula beliau membenarkannya dan menyuruh tambah mana yang kurang."

Sumber: Ayahku, 159-161, PTS Publishing House Malaysia, 2015.

---

FAKTA 6: BERAGAMA HARUS MENGERTI DALIL

Salah satu wasiat Buya Hamka adalah harusnya setiap Muslim untuk tahu cara agama yang benar. Dakwah Salafiyah menekankan bahwa setiap Muslim harus mempunyai ilmu agar tidak terjebak sikap fanatik golongan dan tradisi nenek moyang. Buya Hamka berkata ketika menafsirkan ayat:

""Dan janganlah engkau menurut saja dalam hal yang tidak ada bagi engkau pengetahuan padanya." (pangkal ayat 36). Ayat ini termasuk sendi budi pekerti Muslim yang hendak menegakkan pribadinya. Kita dilarang Allah menurut saja. "Nurut" menurut bahasa Jawa, dengan tidak menyelidiki sebab dan musabab. Qatadah menafsirkan kelemahan pribadi "Pak Turut" itu demikian,

"Jangan engkau katakan aku lihat, padahal engkau tak melihatnya. Aku dengar, padahal tak pernah engkau dengar. Saya tahu, padahal engkau tak tahu." Di awal ayat ini tersebut wa laa taqfu. Kata-kata taqfu ialah dari mengikuti jejak. Kemana orang pergi, kesana awak pergi. Kemana tujuan orang itu, awak tak tahu.

Di ujung ayat ditegaskan, "Sesungguhnya pendengaran dan penglihatan dan hati, tiap-tiap satu daripadanya itu akan ditanya." (ujung ayat 36). Terang disini bahwa orang yang hanya menuruti saja jejak langkah orang lain, baik nenek moyangnya karena kebiasaan, adat-istiadat dan tradisi yang diterima, atau keputusan dan ta'ashshub pada golongan, membuat orang tidak lagi mempergunakan pertimbangan sendiri. Padahal, dia diberi Allah alat-alat penting agar dia berhubungan sendiri dengan alam yang di kelilingnya. Dia diberi hati, atau akal, atau pikiran untuk menimbang buruk dan baik. Sementara itu, pendengaran dan penglihatan adalah penghubung di antara diri, atau di antara hati sanubari kita dan segala sesuatu untuk diperhatikan dan dipertimbangkan mudarat dan manfaatnya, atau buruk dan baiknya. Dalam hidup beragama amat diperlukan penggunaan pendengaran, penglihatan, dan hati untuk menimbang. Sebab, kadang-kadang dipercampuradukkan orang amalan yang sunnah dengan yang bid'ah. Bahkan, kerap kejadian perkara yang sunnah tertimbun dan yang bid'ah muncul dan lebih masyhur. Maka wajiblah kita beragama dengan berilmu."

Sumber: Tafsir Al-Azhar, Jilid 5 Hal. 288-289, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.

---

FAKTA 7: MASALAH KULTUS INDIVIDU

Prinsip dakwah salafiyyah yang diadopsi oleh Buya Hamka diantaranya adalah menentang segala macam pemaksuman terhadap orang-orang shalih. Hal ini disebabkan bahwa efek buruk dari pemaksuman/pengkultusan individu tertentu dapat menyebabkan manusia terjerumus dalam perbuatan syirik. Buya Hamka berkata:

"Setengah ulama tafsir menyatakan maksud jibti ialah sihir. Tetapi setelah digali ke dalam rumpun-rumpun bahasanya, bertemulah bahwa segala kepercayaan yang tahayul, dongeng, khurafat, yang tidak dapat diterima oleh akal yang wajar, itulah dia jibti. Thagut berumpun dari kalimat thaagiyah kita artikan kesewenang-wenangan, melampaui batas, terkhusus kepada manusia yang telah lupa atau sengaja keluar dari batasnya sebagai insan, lalu mengambil hak Allah. Atau manusia dianggap Tuhan oleh yang mempercayainya. Segala pemujaan kepada manusia sampai mendudukkannya jadi Tuhan, meskipun tidak diucapkan dengan mulut, tetapi bertemu dengan perbuatan, termasuklah dalam arti thagut. Ada ulama besar yang disegani, akhirnya dipandang keramat, lama-lama diikuti sehingga segala fatwanya wajib dipandang suci seperti firman Allah saja. Maka ulama itu telah menjadi thagut bagi yang mempercayainya. Apatah lagi setelah dia mati, kuburnya pula yang dipuja-puja, diziarahi untuk meminta wasilah, menjadi orang perantara akan menyampaikan keinginan-keinginan kepada Allah, menjadi thagut pulalah dia sesudah matinya.

Atau ada penguasa negeri yang berkuasa besar. Orang takut akan murkanya dan orang menghambakan diri kepadanya. Barangsiapa yang mencoba menyatakan pikiran, bebas menyatakan yang benar, ada bahaya akan dihukum, dipenjarakan, diasingkan, ditahan, dibuang, atau dibunuh. Tetapi barangsiapa yang tunduk, taat setia, sudi mengorbankan kemerdekaan pikiran, dan bersedia takut kepada yang berkuasa, bersedia jadi budak supaya bebas bergerak, bahkan kadang-kadang lebih takut daripada menakuti Allah, penguasa itu pun menjadi thagut.

Kadang-kadang bercampur aduklah di antara jibti dengan thagut, atau berpadu jadi satu. Di Mesir orang mengadakan Maulid Sayyid Badawi tiap-tiap tahun, berkumpul beribu-ribu manusia laki-laki dan perempuan ke kuburan beliau. Sebab beliau dipandang sangat keramat. Gadis tua minta suami ke sana, perempuan mandul minta anak ke sana. Mahasiswa yang takut tidak Iulus ujian pergi menuju ke sana. Di kuburan itu ada pula jibti-nya, yaitu ada serban beliau yang dipandang sangat membawa rezeki jika dapat dipegang.

Di tanah air kita pun banyak terdapat yang demikian. Kalau mau mempelajari campur aduknya jibti dengan thagut pergilah ziarah ke kubur Sunan-sunan (Wali Songo), dan dengarkanlah dongeng-dongeng yang tidak masuk akal, kumpulan jibti dan thagut dari juru kunci. Di dalam ayat ini diterangkanlah betapa sesatnya orang-orang yang telah diberi sebagian dari kitab. Kepercayaan tauhid yang asli telah hilang, di dalam lipatan jibti (kesesatan) dan thagut (menuhankan makhluk).

Kalau ditanyakan, engkau pertuhankan si anu? Niscaya mereka akan menjawab juga, "Tuhan kami Allah!" Tetapi kalau ditanya lagi, mengapa perkataan si anu, fatwa si anu, tafsiran si anu, kamu terima saja dengan tidak mempergunakan akal, padahal kadang-kadang berjauhan sangat dengan firman Allah yang disampaikan Nabi kamu? Mereka tidak dapat memberikan jawaban yang tepat."

Sumber: Tafsir Al-Azhar, Jilid 2 Hal. 322-324, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.

---

FAKTA 8: MASALAH KHILAFIYAH

Buya Hamka menegur orang-orang yang menuduhnya sebagai Ulama yang memecah belah. Ada pihak yang tidak suka dengan Buya Hamka disebabkan Buya Hamka bersuara lantang dalam meluruskan kesalahan dan bid'ah-bid'ah yang terdapat ditengah-tengah masyarakat. Beliau berkata:

"Namun, kita pun harus sadar bahwa akan terdapat sebagian besar dari umat itu yang tidak mau kekolotannya disinggung, Tidak mau penyakitnya diobati, karena obat itu pahit. Kita pun harus sadar akan ada golongan yang tersinggung puncak bisul (kedudukan)-nya jika kita membuka soal agama. Kadang, kita akan dituduh sebagai pemecah belah persatuan, dilarang membahas, mengutik-utik masalah khilafiyah. Dengan segala daya upaya kita telah memilih jangan menyinggung, jangan berkhilafiyah. Namun, oleh karena soal khilafiyah itu ternyata sangat relatif maka terkadang jika kita memberantas perbuatan yang tidak berasal dari Islam, kita pun dituduh memecah persatuan. Kalau kita renungkan hari depan Islam di tanah air, kita menjadi ingat bahwa tugas ini tidak boleh berhenti. Dihentikan adalah dosa."

Sumber: Dari Hati Ke Hati, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.

---

FAKTA 9: MANHAJ SALAF DAN PEMBAGIAN TAUHID

Manhaj Salafus Shalih adalah Metode dalam beragama yang benar bagi Buya Hamka. Selain itu, Buya Hamka sempat menyinggung terkait dua dari tiga macam Tauhid, yakni Tauhid Rububiyah dan Tauhid Uluhiyah. Buya berkata:

"Ilmu dalam Islam adalah yang ada dasar dan dalilnya, terutama dari dalam Al-Qur'an dan dari As-Sunnah, termasuk juga penafsiran ulama-ulama yang telah mendapat kepercayaan dari umat, yang disebut Salafus Shalihin, serta sesuai dengan akal yang sehat. Kalau tidak ada dasar-dasar yang tersebut itu, bukanlah itu suatu ilmu, melainkan hanya dongeng, khurafat, takhayul, kepercayaan karut yang membawa beku otak orang yang menganutnya atau hanya boleh dipercayai oleh orang yang tidak beres akalnya. Ada juga sebagian orang, mereka tidak mendalami Tauhid, tidak mempunyai aqidah yang teguh, tidak mengenal Tauhid Uluhiyah dan Tauhid Rububiyah, dan tidak beramal menurut Sunnah Nabi Muhammad saw., lalu mencari seorang guru untuk belajar doa-doa Nabi Muhammad saw., wirid-wirid, ayat ini dan ayat itu. Orang ini tidaklah akan terlepas dari bahaya penyakit batin."


Sumber: 1001 Soal Kehidupan, Hal. 305, 410-411, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.

----

FAKTA 10: MENGAJARKAN TASHAWWUF ALA SALAFI

Penyimpangan berupa kesyirikan dan bid'ah yang tersebar di kalangan tarekat Sufi membuat gundah hati Buya Hamka. Oleh karenanya, Buya Hamka menulis buku Tasawuf Modern. Mengapa dinamakan Tasawuf? Bukankah hal itu bid'ah? Nah, disinilah letak kecerdikan Buya Hamka. Buya Hamka menamakan bukunya sebagai "buku Tasawuf" agar orang-orang yang mengaku Sufi mau membaca buku karangan beliau.

Isi dari buku tersebut adalah pemurnian kembali ajaran tasawuf dari hal-hal yang berbau bid'ah dalam agama. Jadi, hakikat sebenarnya dari buku tersebut adalah Tasawuf ala Salafi/Ibnu Taimiyyah dan Ibnul Qayyim, yakni merujuk kepada istilah Tazkiyatun Nafs atau penyucian jiwa. Buya Hamka berkata:

Kita banyak mengenal Ibnu Taimiyah karena membaca buku-buku Ibnul Qayyim yang sangat banyak, mengenai berbagai soal. Kedua beliau pun menyukai Tasawuf, tetapi sangat menentang akan paham Ibnu 'Arabi. Karangan Ibnu Taimiyah "At-Tawassul wal Wasillah" menentang sekeras-kerasnya praktek membesar-besarkan kubur yang rupanya sudah sangat merusak kepercayaan sejak Abad ke-7 itu."

Sumber: Perkembangan & Pemurnian Tasawuf, Hal. 265-266, Republika Penerbit, Cet.1, 2016.

"Kita namai "Tasawuf", ialah menuruti maksud tasawuf yang asli, sebagaimana kata Junaid tadi. Yaitu: "Keluar dari budi pekerti yang tercela dan masuk kepada budi pekerti yang terpuji." Dengan tambahan keterangan "Modern". Kita tegakkan kembali maksud semula dari tasawuf, yaitu membersihkan jiwa, mendidik, dan mempertinggi derajat budi; menekankan segala kelobaan dan kerakusan memerangi syahwat yang lebih dari keperluan untuk kesejahteraan diri."

Sumber: Tasawuf Modern: Bahagia itu Dekat dengan Kita; Ada di dalam Diri Kita, Hal. 7-8, Republika Penerbit, Cet.3, 2015.

---

FAKTA 11: MEMBANTAH TASHAWWUF ALA BID'AH

Selain mengajarkan penyucian jiwa ala Salafi yang dibungkus dengan nama Tasawuf Modern. Buya Hamka membantah keras tarekat sufi yang senang membuat bid'ah dalam agama. Beliau berkata:

"Maka, datanglah ahli-ahli tasawuf membuat berbagai dzikir ciptaan sendiri, yang tidak berasal dari ajaran Allah dan Rasul. Ada dzikir yang hanya membaca Allah saja berkali-kali dengan suara keras-keras, bersorak-sorak sampai payah dan sampai pingsan. Ada dzikir yang huw saja. Karena kata mereka huwa yang berarti Dia, ialah Dia Allah itu sendiri. Kadang-kadang mereka adakan semacam demonstrasi sebagai menentang terhadap orang yang teguh berpegang kepada sunnah. Maka, dzikir-dzikir semacam itu adalah berasal dari luar Islam atau telah menyeleweng sangat jauh dari pangkalan Islam."

SUMBER: Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 652, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.

---

FAKTA 12: IBNU TAIMIYYAH DAN AQIDAH SALAFI

Buya Hamka termasuk orang yang mendukung penisbatan kepada Mazhab Salaf. Dalam tafsirnya, Buya Hamka mengutip perkataan Ibnu Taimiyyah:

"Tidak ada cela bagi orang yang menampakkan Madzhab Salaf, menisbahkan diri kepadanya dan membanggakannya, bahkan wajib diterima semua itu darinya dengan kesepakatan ulama. Karena sesungguhnya Madzhab Salaf adalah haq." (Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah, Majmu Fatawa 4/149). "Maka serulah Allah dalam keadaan memurnikan agama kepada-Nya." (pangkal ayat 14). Aqidah (kepercayaan), ibadah (perhambaan dan persembahan), syariah (peraturan dan tata cara) yang dilakukan hendaklah murni, ikhlas kepada Allah."

SUMBER: Tafsir Al-Azhar, Jilid 8 Hal. 87, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.

Buya Hamka menguraikan berbagai pendapat dari tokoh-tokoh Islam. Akan tetapi Buya Hamka sendiri mengikuti Mazhab Salafi dalam memahami Nama-nama dan Sifat Allah (Tauhid Asma was Shifat) sebagaimana beliau tegaskan pada Mukadimah Tafsir Al Azhar. Di lain kesempatan, Buya Hamka juga menguraikan tuduhan dusta yang dialamatkan kepada Ibnu Taimiyyah. Beliau berkata:

"Madzhab yang dianut oleh penafsir ini adalah Madzhab Salaf, yaitu Madzhab Rasulullah dan sahabat-sahabat beliau serta ulama-ulama yang mengikuti jejak beliau. Dalam hal aqidah dan ibadah, semata-mata taslim, artinya menyerah dengan tidak banyak tanya lagi."

Sumber: Tafsir Al-Azhar, Jilid 1 Hal. 38, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.

"Di antara ulama mutaakhirin yang keras menganut paham salaf ini adalah Ibnu Taimiyah dan muridnya, Ibnul Qayyim pada zaman terakhir adalah Syekh Muhammad bin Abdul Wahab dan terakhir sekali adalah Sayyid Rasyid Ridha. Ibnu Taimiyah sampai dituduh oleh musuh-musuhnya berpaham "mujassimah" (menyifatkan Allah bertubuh) karena kerasnya mempertahankan paham ini."

Sumber: 1001 Soal Kehidupan, Hal. 34-35, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.

---

FAKTA 13: HADIT DHA'IF

Buya Hamka berpendapat sesuai dengan pendapat Ulama Salafi bahwa hadits yang lemah tidak bisa dijadikan dalil atau hujjah. Beliau berkata:

"Kalau sudah dijadikan anjuran kepada orang, tidaklah dapat hadits-hadits dhaif itu dijadikan dalil, atau hadits dhaif tidak boleh jadi hujjah."

Sumber: 1001 Soal Kehidupan, Hal. 369, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.

---

FAKTA 14: TAHLILAN DAN YASINAN

Masalah ritual Tahlilan dan Yasinan sudah sejak lama dikritik oleh Buya Hamka. Bagi Buya Hamka yang mengadopsi ajaran Islam yang Murni/Salafiyyah, hal ini jelas tidak ada ajarannya dari Nabi Muhammad shallallahu alaihi wasallam.  Buya Hamka berkata:

"Pembacaan surah Yasin untuk orang yang telah meninggal pun tidak ada ajaran yang sah dari Nabi. Ajaran yang ada hanyalah anjuran membacakan surah Yasin kepada orang yang hendak meninggal, agar terasa olehnya betapa perpindahan hidup dari alam fana ini ke dalam alam baqa', bahwasanya yang akan menyelamatkan kita di akhirat hanyalah amalan kita semasa hidup. Namun demikian, hadits anjuran membaca surah Yasin bagi orang yang akan meninggal itu pun termasuk hadits dha'if pula, tidak boleh dijadikan hujjah buat amal. Setelah nenek-moyang kita memeluk agama Islam, belumlah hilang sama sekali kepercayaan animisme itu, sehingga berkumpul-kumpullah orang di rumah orang kematian pada hari-hari yang tersebut itu, Sebagai warisan zaman purbakala, cuma diganti mantra-mantra cara lama dengan membaca Al-Qur'an, terutama surah Yasin."

Sumber: 1001 Soal Kehidupan, Hal. 408, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.

---

FAKTA 15: TIDAK BOLEH FANATIK MAZHAB

Buya Hamka adalah Ulama yang mengikuti Mazhab Syafi'i, namun beliau tidak fanatik kepada mazhab tersebut. Beliau mengajarkan prinsip ajaran Salafi yang berpesan bahwa tidak boleh terpaku dan fanatik hanya pada satu mazhab fikih. Beliau berkata:

"Ahli-ahli Fiqih sendiri selalu mengatakan bahwa ijtihad itu tidaklah yakin kebenarannya, melainkan zhan, artinya boleh ditinjau kembali, "kalau sesuai dengan sumber aslinya (Al-Qur'an dan hadits) boleh diakui terus, dan kalau tidak haruslah segera ditinggalkan dan dibuang." Demikian pesanan dari pelopor-pelopor mujtahid yang terdahulu seperti Imam Malik, Imam Hanafi, Imam Syafi'i, dan Imam Hambali."

Sumber: 1001 Soal Kehidupan, Hal. 222-223, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.

---

FAKTA 16: STATUS AYAH DAN IBU NABI

Buya Hamka mengutip pendapat Ulama Salafiyyah yang mengatakan Ayah dan Ibu Nabi meninggal dalam keadaan kafir. Buya Hamka melakukan pembelaan terhadap Ulama Salafiyyah karena banyaknya tuduhan yang beredar bahwa Ulama Salafiyyah tidak mempunyai adab kepada Nabi karena menganggap orang tua Nabi kafir. Buya Hamka berkata:

"Padahal ada hadits Rasulullah saw. sendiri yang dirawikan oleh Muslim dalam shahihnya dari hadits Anas bin Tsabit bahwa seorang laki-laki datang bertanya kepada Rasulullah saw., "Di mana ayahku, ya Rasulullah?" Beliau menjawab, "Di neraka!" Setelah orang yang bertanya itu berdiri hendak pergi, dia dipanggil oleh Rasulullah saw. dan beliau bersabda,"Sesungguhnya bapakku dan bapak engkau di neraka!" (HR. Muslim).

Lalu ditegaskan oleh Imam Nawawi dalam syarahnya, "Di sini jelas bahwa barangsiapa yang meninggal dalam keadaan kafir maka masuk nerakalah dia dan tidaklah bermanfalat baginya karena kerabat (kekeluargaan). Dan di dalam hadits ini pun dapat dipahamkan bahwa orang yang mati dalam zaman fitrah dalam keadaan apa yang dipegang oleh orang Arab, menyembah berhala, dia pun masuk neraka. Dan ini tidaklah patut diambil keberatan yang mengatakan bahwa belum sampai kepada mereka dakwah karena kepada mereka sudahlah sampai dakwah Ibrahim dan Nabi-nabi yang lain. Dan Nabi saw. mengatakan ayahku dan ayahmu dalam neraka, ialah untuk menunjukkan pergaulan yang baik dan pengobat hati yang bertanya karena sama-sama dalam menderita sedih."

Demikian syarah (komentar) Imam Nawawi. "Memohon izin aku kepada Tuhanku hendak memintakan ampun untuk ibu, tetapi tidak diberi izin kepadaku. Lalu aku mohon izin hendak menziarahi kuburnya lalu aku diberi izin." (HR. Muslim). Malahan dalam hadits yang lain diterangkan bahwa beliau sampai menangis di kubur itu dan memberi anjuran umatnya supaya ziarah ke kubur untuk mengingat mati. Maka dengan hadits-hadits yang shahih ini tetaplah ada yang berpegang teguh bahwa ayah dan bunda Nabi itu mati belum dalam Islam, apalagi ayah Nabi Ibrahim. Akan tetapi, golongan ulama-ulama Salaf walaupun yang berpegang teguh pada hadits-hadits yang shahih itu sendiri, tidaklah kurang hormat mereka kepada Rasul dalam hal yang berkenaan dengan ibu bapak dan keluarga beliau, walaupun yang mati belum dalam Islam sebagaimana Abu Thalib.

Sumber: Tafsir Al-Azhar, Jilid 3 Hal. 190-192, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2015.

---

FAKTA 17: DITAHDZIR ULAMA ASY'ARIYYAH

Buya Hamka dulu sempat ditahdzir dan dituduh sesat oleh Ulama Asy'ariyyah dari Negeri Johor, Malaysia yang bernama Habib Alwi bin Thahir bin Abdullah Al-Haddad. Habib Alwi bin Thahir menganggap bahwa Buya Hamka adalah orang yang berbahaya karena terindikasi mengajarkan pemahaman salaf yang beliau sebut sebagai Wahabi. Hal ini seperti yang ditegaskan oleh Buya, Beliau berkata:

"Mufti Johor telah mengenal saya sebagai Kaum Muda dan Wahabi dari Indonesia."

Sumber: Dari Hati Ke Hati, Hal. 70, Penerbit Gema Insani, Cet.1, 2016.

Karena hal tersebut, Buya Hamka dilarang berceramah di Johor. Mufti Johor yang menganggap sesat pemahaman Salafiyyah, memerintahkan kepada seluruh qadhi dalam Kerajaan Johor untuk menutup pintu seluruh masjid di Kerajaan Johor buat Hamka mengadakan ‘syarahan’ (tabligh). Atas kejadian tersebut, Buya Hamka mengarang buku yang berjudul "Teguran Suci Dan Jujur Terhadap Mufti Johor" (baca buku, klik disini) yang berhasil mematahkan hujjah dan tuduhan terhadap dirinya dan juga sahabatnya, Syaikh Ahmad Hassan. 

Sampai sekarangpun, Kerajaan Johor masih melarang masuknya Ustadz Sunnah/Salafi kedalam wilayah Johor, contonya Ustadz Hussain Yee, Ustadz Rasul Dahri, dll. Wallahu A'lam.

Itulah 17 fakta mencengangkan tentang Buya Haji Abdul Malik Amrullah rahimahullah. Jika anda ingin membaca Fakta 1 tentang Buya Hamka atau ada poin-poin fakta yang terlewatkan, silakan klik link dibawah ini untuk membacanya dari awal.


Baca Artikel Terkait : 

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Di Masa Kelam, Masjidil Haram mempunyai 4 Mihrab