Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim adalah dua ulama tashawwuf yang memberantas tashawwuf-tashawwuf yang menyimpang
KESAKSIAN BUYA HAMKA: IBNU TAIMIYYAH DAN IBNUL QAYYIM ADALAH DUA ULAMA AHLI TASHAWWUF YANG MEMBERANTAS TASHAWWUF-TASHAWWUF MENYIMPANG DAN MEMURNIKAN/MENGEMBALIKAN TASHAWWUF KE PANGKAL TAUHID
"Mekah sendiri yang selama ini menjadi sumber cahaya, telah digelapkan oleh bermacam bid'ah dan khurafat"
Kepercayaan kepada adanya wali keramat yang tidak dikenal menyebabkan timbulnya ketakutan kepada sesama manusia. Kepercayaan kepada Nabi Khaidir yang hidup terus beribu-ribu tahun, terdapat di mana-mana sehingga timbul takhayul, bahwasanya orang yang dahulu sekali keluar dari Masjidil Haram dari pintu Babus Salam di Mekah sesudah sembahyang Shubuh, itulah Nabi Khaidir.
Sesudah abad kedelapan itu tumbuhlah thariqat-thariqat laksana tumbuhnya cendawan di musim hujan. Seorang Syaikh yang berpengaruh, mendirikan Thariqatnya sendiri. Negeri Afrika Utara adalah negeri yang penuh dengan Thariqat. Dan masuknya Islam di Indonesia pun adalah dalam suasana Thariqat.
Perjuangan menentang Tasawuf yang tersesat, yang bercampur aduk dengan ajaran yang bukan asli dari Islam, tetap masih ada. Sekali-kali timbullah orang-orang besar yang memberikan bantahan, kadang-kadang lunak dan kadang-kadang keras.
Yang amat masyhur menentang Wihdatul Wujud, Hulul dan Ittihad itu ialah Imam Besar Ibnu Taimiyah (meninggal tahun 727 H. (1329 M), dan muridnya Ibnu Qayyim al-Jauziyah. Ibnu Taimiyah adalah seorang Alim Besar, dalam Mazhab Hanbali yang sangat luas pengetahuannya dalam hadis dan ilmu-ilmu yang lain. Muridnya Ibnul Qayyim pun laksana Plato yang menjadi murid Socrates. Kita banyak mengenal Ibnu Taimiyah karena membaca buku-buku Ibnul Qayyim yang sangat banyak, mengenai berbagai soal. Kedua beliau pun menyukai Tasawuf, tetapi sangat menentang akan paham Ibnu 'Arabi. Karangan Ibnu Taimiyah "At-Tawassul wal Wasillah" menentang sekeras-kerasnya praktek membesar besarkan kubur yang rupanya sudah sangat merusak kepercayaan sejak abad ketujuh itu. Pendiriannya yang tegas dan sikapnya yang keras tak kenal damai dengan Ulama-ulama yang berpengaruh dan dapat muka dari Kerajaan, menyebabkan dia dimasukkan berulang-ulang ke dalam penjara. Dan Ibnu Taimiyah pun meninggal dalam penjara. Ibnul Qayyim kerap kali bersama meringkuk dengan gurunya dalam penjara. Tetapi berulang-ulang dalam penjara itu telah menambah bersih pendirian hidup kedua orang utama itu. Oleh karena tantangannya yang hebat-hebat itu, maka kedua beliau dipandang musuh besar oleh ulama-ulama yang lain.
Buah pikiran Ibnu Taimiyah dan Ibnul Qayyim-lah yang menimbulkan inspirasi bagi Syekh Muhammad Ibnu Wahhab dalam abad kedelapan belas (Abad kedua belas Hijriyah), buat membangun paham "kembali kepada wahabi" sebagai lanjutan dari mazhab Hambali inilah yang diperjuangkan oleh raja-raja Ibnu Sa'ud di tanah Arab, yaitu Tauhid!"
[Lihat Buku Perkembangan Dan Pemurnian Tasawuf: Dari Masa Nabi Muhammad SAW Hingga Sufi-Sufi Besar, Halaman 264 Sampai 266].
"Di zaman-zaman mulai perkembangannya agama Islam di tanah air kita ini lahirlah seorang alim, kelaknya akan memegang peranan besar dalam peninjauan perkembangan Tasawuf yang telah jauh terpisah dari Tauhid. Orang itu ialah Ibnu Taimiyah (meninggal pada tahun 728 H-1327 M).
Ajaran Ibnu Taimiyah ialah mengembalikan pangkalan tempat bertolak pikiran dan pandangan hidup muslimin kepada tauhid yang bersih!
Sebagaimana yang terdapat dari Nabi Sahabat-Sahabat (Salafus-Shalihin). Hubungan seorang makhluk dengan Tuhannya ialah hubungan yang langsung. Tidak bolehnya memakai perantaraan (wasilah) dan tidak boleh memohon pertolongan kepada makhluk buat menyampaikan kepada Tuhan (Istighatsah). Untuk membuat hubungan langsung dengan Tuhan, tidak ada petunjuk jalan yang lain, melainkan petunjuk yang telah diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw.. Apabila seorang muslim telah menjalankan sepanjang yang diajarkan Nabi Muhammad Saw. dengan tidak menambah atau mengurangi, maka Iman si muslim itu akan bertambah tinggi mutunya. Semua orang bisa menjadi waliullah, yang tidak merasa takut dan tidak merasa rusuh hati dan duka-cita dalam hidup ini, asal sistem hidup yang dipakainya persis menurut yang diajarkan oleh Nabi Muhammad Saw. dan Muhammad itu adalah hamba Tuhan (abduhu) dan Pesuruh-Nya (wa Rasuluhu).
Amatlah berbeda pandangan hidup Ibnu Taimiyah dengan pandangan hidup Imam al-Ghazali, meskipun keduanya sama-sama bertasawuf, Tasawuf al-Ghazali, seakan-akan menolak hidup, takut menempuh hidup, lalu menyisihkan diri sehingga kadang-kadang tidak mempedulikan hal kiri-kanan. Sebagaimana ditulis oleh Dr. Zaki Mubarak, bahwa di kala al-Ghazali hidup, dunia Islam sedang ditimpa malapetaka serangan kaum Salib. Beberapa negeri telah dibakar musnah dan penduduk telah beribu-ribu yang dibunuh, namun Al-Ghazali "tenggelam" dalam Khalwatnya. Akan tetapi Ibnu Taimiyah kalau datang seruan berjihad pada jalan Allah tampil ke medan perang, dialah yang terlebih dahulu mengambil tombak dan pedangnya, dan mengajar, menghasung orang supaya bersama-sama mengorbankan jiwa raga mempertahankan agama. Di waktu itu Raja Ghazan keturunan ketiga dari Gengis Khan menyerang Damaskus, padahal dia telah memeluk Islam. Ibnu Taimiyah turut mempertahankan negerinya dari serangan musuh. Dan seketika Raja Ghazan telah menduduki kota dialah salah seorang Ulama yang menjadi anggota delegasi menghadap Ghazan dan memberikan teguran-teguran yang jitu kepada Raja yang menang perang itu!
Ibnu Taimiyah mengakui adanya Wali-Allah. Tetapi beliau tidak dapat menerima jika makhluk Allah yang lain menyadarkan pengharapan kepada orang yang dikatakan Wali-Allah itu. Dia berpegang kepada hadis:
إذا استعنت فاستعن بالله
"Apabila engkau hendak memohonkan pertolongan, langsunglah minta tolong kepada Allah."
Sebab itu beliau mencela keras orang yang me-"Rabithah"-kan gurunya atau mengambil wasilah gurunya buat menyampaikan permohonan atau kebaktikan kepada Ilahi.
Selain daripada itu beliau bersikap tegas membersihkan pengaruh Filsafat dan Mistik yang bukan dari Islam daripada pokok ajaran Islam.
Sebagai seorang penganut Mazhab Hanbali di dalam garis kaum Sunni, beliau berusaha menegakkan paham Salaf. Yaitu kembali kepada kemurnian ajaran Nabi Muhammad Saw. dengan tidak dipengaruhi oleh Ta'wil. Ayat-ayat yang disebut "Mutasyabih" hendaklah diterima dengan "Bila-Kaifa". Sebab, kita tidak disuruh buat memikirkan itu. Sebab selalu ternyata bahwa suatu penafsiran dalam suatu zaman, dapat berubah pula setelah di zaman yang lain. Dan pendapat yang terpengaruh oleh lingkungan setempat, dapat pula berubah setelah tempat itu beralih.
Dr. Mohammad al-Bahay, Maha Guru Filsafat Islam di al-Azhar University dalam bukunya "Al-Janubil Ilahi min'at Tafkiril Islamy" dan dalam bukunya yang baru "Al-Fikrul Islamy al-Hadits" ada karangan pendeknya yang pernah dimuat dalam Majalah "Al-Muslimun" menekankan pendapatnya bahwa Ibnu Taimiyah adalah pelopor pertama dari pengembalian pikiran muslimin umumnya dan Tasawuf khususnya ke dalam pangkalan tauhid!
Kalau pandangan hidup yang bersemangat. Zuhud dari kemegahan dunia untuk mencapai kebesaran jiwa menantang segala penderitaan hidup, lalu menegakkan kepala, dan tunduk kepada Allah yang satu, kalau itu dapa disebut sebagai Tasawuf juga, maka ajaran Ibnu Taimiyah adalah Tasawuf yang sejati!
Kita dapat membaca "Fatwa Ibnu Taimiyah", kumpulan fatwa-fatwa beliau, (35 jilid) yang merintis jalan pikiran kita mengembalikan hidup ber-tasawuf kepada Tauhid sejati. Tetapi untuk mengetahui ajaran Ibnu Taimiyah lebih mendalam, tidaklah cukup membaca karangan-karangan Ibnu Taimiyah saja. Tetapi bacalah karangan muridnya Ibnu Qayyim, yang mengenal guru itu lebih dekat. Seperti, jika kita hendak mengenal Muhammad Abduh, bacalah karangan Sayid Rashid Ridha.
Kitab-kitab "Madarijus Salikin", "Ighatsatul Lahtan", "Talbis Iblis" yang disebut juga "Naqdul Ilmi wal Ulama" dan beberapa kitab yang lain karangan Ibnul Qayyim, semuanya membayangkan jiwa Ibnu Taimiyah.
Seorang Sufi menurut ajaran Ibnu Taimiyah adalah seorang yang keras menegakkan kebenaran. Tengah malam bangun ber-tahajjud, siang hari pergi berusaha. Dan jika Negara dalam bahaya serangan musuh, bersedia meninggalkan segala yang merintang, lalu masuk ke dalam barisan tentara, di tempat yang ditentukan oleh Komando.
Beliau berkali-kali ditahan dalam penjara, berganti penjara Mesir dengan penjara Damaskus. Tetapi dengan tegas dia mengatakan kepada muridnya Ibnul Qayyim yang turut terpenjara dengan dia:
"Apalagi yang akan didengkikan oleh musuh-musuh kepadaku! Bagiku dibuang dari kampung halaman, adalah mengembara mencari kebenaran. Masuk penjara karena mempertahankan keyakinan adalah kesempatan yang luas bagiku untuk berkhalwat dan tafakkur mengingat Tuhan, dan dapat membaca ayat-ayat Al-Qur'an sehingga berkali kali dapat aku khatamkan.
Tahukan engkau sayang. Bahwasanya orang yang terbelenggu ialah yang dibelenggu oleh hawa-nafsunya, dan orang yang tertawan, ialah yang ditawan setan iblis".
Ucapan ini boleh dibaca di dalam kitab kumpulan do'a dan zikir yang bernama "Al-Wabilu'ah-Shaib" karangan Ibnul Qayyim.
Niscaya tidak sekaligus orang dapat menerima paham Ibnu Taimiyah. Sudah beratus tahun Tasawuf yang telah jauh berbelok dari pangkalannya itu memengaruhi masyarakat muslim. Berpuluh-puluh didirikan orang makam-makam yang dikeramatkan itu di setiap negeri Islam. Di Mesir berpusat pada kuburan Syaikh Ahmad al Fira'iy (1118-1183), di Baghdad pada kuburan Syaid Abdul Qadir Jailani (1077-1166), di Damaskus pada kuburan Syaikh Akbar Muhyiddin Ibnu 'Araby (1165-1240). Dan ziarah kepada kuburan Rasullullah Saw. sudah menyamai, bahkan kadang-kadang melebihi Ka'bah. Belum pula yang dilakukan kaum Syiah pada makam Sayidina Ali di kufah (Najaf) dan Sayidina Husain di Karbala.
Pendeknya, suasana pada waktu itu adalah suasana kuburan.
Niscaya suara Ibnu Taimiyah telah mengejutkan, laksana geledek di siang hari. Ulama-ulama Fiqih sendiri mencari dalil buat membantah teguran Ibnu Taimiyah itu. Di antara yang menentangnya ialah Ibnu Hajar al-Haitami al-Makki (1504-1506 M-920-977 H.), seorang Ulama Mazhab Syafi'i yang karangannya banyak tersiar di negeri kita.
Kalau kita ingat bahwa Ibnu Hajar al-Haitsami hidup di dalam abad keenam belas Masehi, atau abad kesepuluh Hijri, yaitu Abad perkembangbiakan Agama Islam di Indonesia dan permulaan banyaknya orang Islam Indonesia berlayar ke Mekah naik Haji, dapatlah kita simpulkan pengaruh Ibnu Hajar itulah yang lebih banyak melekat dalam masyarakat muslimin Indonesia. Kitab-kitab: "Al-Fatawaa Al-Haditsiyah" dan "Az-Zawajir" dan "Tuhfah" adalah pegangan utama dari ulama-ulama kita. Jika para ulama kita mempertahankan pendirian "Taqlid" dalam Fiqih, maka Ibnu Hajarlah yang utama di Taqlid-i; di belakangnya baru Ramli, baru an-Nawawi, baru al-Ghazali, kemudian sekali baru asy-Syafi'i. Oleh sebab itu maka mempertahankan kedaulatan kubur, menuju keramat, mengadakan "Haul" setiap tahun kepada kuburan tertentu, adalah didasarkan kepada Ibnu Hajar-Ibnu Taimiyah. Maksud Ibnu Taimiyah menegur ziarah kubur yang membayangkan syrik, telah disalah-artikan.
Ajaran Ibnu Taimiyah disambut oleh Syekh Muhammad bin Abdil Wahab (1112-1198 H-1703-1783 M).
Seluruh Masyarakat Nejd adalah penganut Mazhab Hanbali. Kita telah mempelajari perbandingan Mazhab-Mazhab keempatnya, dan mengetahuinya bahwa Mazhab Hanbali adalah mazhab yang keras mempertahankan hadits.
Iman Ahmad bin Hanbal berkeras mempertahankan pendirian Ahlis Sunnah atau Mazhab Salaf di hadapan al Mu'tashim, Khalifah Bani Abbas kedelapan, ketika beliau dipaksa mengakui pendirian yang dipilih oleh kerajaan Bani Abbas sejak zaman al-Ma'mun yang mengatakan bahwa Al-Qur'an adalah makhluk. Beliau menolak paksaan itu bukan karena beliau mengakui sebelumnya yaitu Al-Qur'an Qadim adanya, melainkan karena memegang pendirian bahwa memperkatakan Nabi, biar pun dia disiksa dan dipaksa, namun beliau tidak mau beranjak daripada pendiriannya itu.
Dan pendirian seperti ini pulalah yang menjadi dasar tempat tegak Muhammad bin Abdil Wahab. Dalam perjalanannya ke Irak dilihatnya bagaimana orang memuja kuburan Abdul Qadir Jailani sendiri, sebagai penganut Mazhab Hanbali pula. Dilihatnya pengaruh kuburan, pengaruh pemujaan, pengaruh Rabithah dan Wasilah telah meliputi seluruh tanah Arab. Hanya tinggal namanya yang Islam; pada hakikatnya telah jauh menyimpang. Ini harus dibersihkan, kalau perlu dengan pedang!
[Lihat Buku Perkembangan Dan Pemurnian Tasawuf: Dari Masa Nabi Muhammad SAW Hingga Sufi-Sufi Besar, Halaman 308 Sampai Halaman 314].
Komentar
Posting Komentar