Membantah Orang yang Menyimpang Termasuk Manhaj Salaf

MEMBANTAH ORANG YANG MENYIMPANG TERMASUK MANHAJ SALAF1

Oleh: Syaikh DR. Abdussalam bin Salim as-Suhaimi

Termasuk yang disepakati oleh para imam salaf rahimahumullah adalah membantah orang yang menyimpang, baik orang yang menyimpang itu dari kalangan Ahlussunnah wal Jama’ah2 -menyimpang dalam perkara fikih atau akidah- maupun dari kalangan ahli bid’ah.

Dan tidak perlu ada keseimbangan (muwaazanah) dalam menyebut kebaikan dan keburukan, karena Allah telah memuji orang-orang mukmin tanpa menyebutkan keburukan mereka, juga mencela orang-orang kafir, munafik dan fasik tanpa menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pun telah memberi peringatan kepada umatnya dari ahli bid’ah tanpa melirik kepada kebaikan-kebaikan yang ada pada mereka. Dalam rangka memberikan nasihat, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam juga pernah menyebutkan aib-aib orang-orang tertentu, dan tidak menyebutkan kebaikan-kebaikan mereka.

Diriwayatkan dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, ia berkata, “Rasulullah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca ayat ini:

هُوَ ٱلَّذِيٓ أَنزَلَ عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ مِنۡهُ ءَايَٰت مُّحۡكَمَٰتٌ هُنَّ أُمُّ ٱلۡكِتَٰبِ وَأُخَرُ مُتَشَٰبِهَٰتٞۖ فَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِمۡ زَيۡغ فَيَتَّبِعُونَ مَا تَشَٰبَهَ مِنۡهُ ٱبۡتِغَآءَ ٱلۡفِتۡنَةِ وَٱبۡتِغَآءَ تَأۡوِيلِهِۦۖ وَمَا يَعۡلَمُ تَأۡوِيلَهُۥٓ إِلَّا ٱللَّهُۗ وَٱلرَّٰسِخُونَ فِي ٱلۡعِلۡمِ يَقُولُونَ ءَامَنَّا بِهِۦ كُلّ مِّنۡ عِندِ رَبِّنَاۗ وَمَا يَذَّكَّرُ إِلَّآ أُوْلُواْ ٱلۡأَلۡبَٰبِ

“Dialah yang menurunkan Al Kitab (Al Quran) kepada kamu. Di antara (isi)nya ada ayat-ayat yang muhkamaat, itulah pokok-pokok isi Al qur’an dan yang lain (ayat-ayat) mutasyaabihaat. Adapun orang-orang yang dalam hatinya condong kepada kesesatan, maka mereka mengikuti sebahagian ayat-ayat yang mutasyaabihaat daripadanya untuk menimbulkan fitnah untuk mencari-cari ta’wilnya, padahal tidak ada yang mengetahui ta’wilnya melainkan Allah. Dan orang-orang yang mendalam ilmunya berkata: ‘Kami beriman kepada ayat-ayat yang mutasyaabihaat, semuanya itu dari sisi Tuhan kami’. Dan tidak dapat mengambil pelajaran (daripadanya) melainkan orang-orang yang berakal.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 7)

‘Aisyah berkata, “Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

فَإِذَا رَأَيْتَ الَّذِيْنَ يَتَّبِعُوْنَ مَا تَشَابَهَ مِنْهُ فَأُولَئِكَ الَّذِيْنَ سَمَّى اللهُ فَاحْذَرُوْهُمْ

“Jika engkau melihat orang-orang yang mengikuti ayat-ayat mutasyaabihaat, merekalah yang Allah maksud, maka waspadalah terhadap mereka.” (HR. Al-Bukhari dan Muslim)

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, ia berkata:

سَيَكُوْنُ فِيْ آخِرِ الزَّمَانِ نَاسٌ يُحَدِّثُوْنَكُمْ بِمَا لَمْ تَسْمَعُوْا أَنْتُمْ وَلَا آبَاؤُكُمْ فَإِيَّاكُمْ وَإِيَّاهُمْ

“Di akhir zaman kelak akan ada orang-orang yang mengatakan kepada kalian sesuatu yang tidak pernah didengar oleh kalian dan juga oleh nenek moyang kalian, maka waspadalah kalian terhadap mereka dan jauhkanlah mereka dari kalian.” (Mukadimah Muslim)

Dan telah dimaklumi bahwa ahli bid’ah itu tidak mungkin padanya tidak ada kebaikan, namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak melirik kepada kebaikan-kebaikan itu, beliau tidak menyebutkannya dan tidak berkata, “Hendaklah kalian mengambil manfaat dari kebaikan-kebaikan mereka”. (Manhaj Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah Fii Naqdir Rijaal Wal Kutub Wath Thawaa-if, karya Syaikh, ‘Allaamah, Doktor Rabii’ bin Haadi Al-Madkhali (hal. 18)).

Al-Baghawi saat menjelaskan dua hadits ini berkata:

“Sungguh Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam telah mengabarkan tentang perpecahan umat ini dan tentang munculnya para pengikut hawa nafsu dan para ahli bid’ah di tengah-tengah mereka. Beliau menetapkan bahwa yang mengikuti sunnahnya dan sunnah para sahabatnya akan selamat (dari api neraka), maka seorang muslim itu jika melihat seseorang yang mengamalkan sesuatu dari hawa nafsu dan bid’ah seraya meyakininya (sebagai kebenaran) atau ia meremehkan sesuatu yang termasuk sunnah, hendaknya ia memboikot ahli bid’ah itu, berlepas diri darinya dan meninggalkannya, baik ahli bid’ah itu masih hidup maupun sudah meninggal, tidak mengucapkan salam ketika berjumpa dengannya, tidak menjawab salamnya jika ia memulai salam lebih dulu, sampai ia meninggalkan bid’ahnya dan kembali kepada kebenaran”.

“Larangan memboikot lebih dari tiga hari adalah apabila di antara dua orang terjadi kelalaian dalam memenuhi hak persahabatan dan kekerabatan, bukan dalam perkara yang berkaitan dengan agama, karena pemboikotan terhadap para pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah terus berlangsung sampai mereka bertaubat”. (dari sumber yang sama dengan sebelumnya, dalam halaman yang sama dan dari Syarhus Sunnah (1/277)).

Demikianlah terkait tahdziir (memberi peringatan kepada orang lain) tentang para pengikut hawa nafsu dan ahli bid’ah. Adapun mengenai Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyebut keburukan-keburukan orang-orang tertentu tanpa menyebut kebaikan mereka, adalah sebagai berikut:


1. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya ada seorang laki-laki yang meminta izin untuk menemui Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam, ketika beliau melihatnya, beliau bersabda:

بِئْسَ أَخُوْ الْعَشِيْرَةِ وَبِئْسَ ابْنُ الْعَشِيْرَةِ

“Dia adalah seburuk-buruk saudara sesuku dan seburuk-buruk putra kabilah.” (Shahih Al-Bukhari, dalam Fathul Baari (10/471))


Al-Qurthubi rahimahullah berkata:

“Dalam hadits di atas terdapat petunjuk bolehnya menyebut keburukan (gibah) orang yang terang-terangan dalam kefasikan, kekejian atau yang semisalnya yang termasuk pelanggaran hukum dan dakwah kepada bid’ah.” (Fathul Baari (10/452)

Imam Nawawi berkata:

“Hadits itu menunjukkan bolehnya berlaku ramah terhadap orang yang diwaspadai kejahatannya, juga menunjukkan bolehnya menggibah orang fasik yang terang-terangan dalam kefasikannya, serta boleh menggibahi orang yang perlu diwaspadai oleh masyarakat.” (Syarah Shahih Muslim Imam Nawawi (16/144)

2. Ketika Fathimah binti Qais mengadu kepada Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa Mu’awiyah bin Abi Sufyan dan Abu Jahm melamarnya, maka Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

أَمَّا أَبُوْ جَهْمٍ فَلَا يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتِقِهِ، وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوْكٌ لَا مَالَ لَهُ، أَنْكِحِيْ أُسَامَةَ بْنِ زَيْـدٍ

“Adapun Abu Jahm, dia tidak pernah meletakkan tongkatnya dari pundaknya (sering memukul wanita), sedangkan Mu’awiyah, dia miskin tidak memiliki harta. Hendaklah kamu menikah dengan Usamah bin Zaid.” (Shahih Muslim (2/1114)


Tidak dipungkiri bahwa kedua sahabat itu memiliki keutamaan dan kebaikan, namun karena konteksnya adalah konteks nasihat dan petuah, maka tidak membutuhkan lebih dari itu (tidak perlu menyebutkan sisi baik kedua sahabat tersebut).


3. Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha, sesungguhnya Hindun binti ‘Utbah berkata, “wahai Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam sesungguhnya Abu Sufyan adalah laki-laki yang pelit, ia tidak memberi kebutuhan yang mencukupi aku dan anakku, kecuali bila aku mengambil darinya secara diam-diam tanpa sepengetahuannya.” Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab:

خُذِيْ مَا يَكْفِيْكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوْفِ

“Ambillah secukupnya untukmu dan untuk anakmu secara makruf (tidak berlebihan).” (Shahih Al-Bukhari bersama Fathul Baari (9/507)


Al-Hafizh ibnu Hajar berkata:


“Hadits ini dapat dijadikan dalil bolehnya menyebut sesuatu yang tidak disukai dari seseorang, jika tujuannya adalah meminta fatwa dan melapor atau yang semacamnya. Hal demikian termasuk salah satu keadaan yang memperbolehkan gibah.” (Fathul Baari (9/509)


Rasululllah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengingkari Hindun binti ‘Utbah yang menyebut sisi buruk Abu Sufyan, beliau tidak memintanya agar menyebutkan pula kebaikan-kebaikan Abu Sufyan yang sudah tentu ia memiliki kebaikan. (lihat Manhaj Ahlis Sunnah wal Jamaa’ah Fii Naqdir Rijaal Wal Kutub Wath Thawaa-if (hal. 20, 21)).

Syaikhul Islam ibnu Taimiyyah rahmatullah ‘alaihi berkata:

جَرْحُ رُوَاةِ الْحَدِيْثِ بِالْحَقِّ وَبِدَعِ الْمُبْتَدِعَةِ وَاجِبٌ شرعاً


“Menyebut kecacatan para periwayat hadits dengan cara yang benar, dan menyebut kecacatan bid’ah-bid’ah para ahli bid’ah adalah wajib menurut syari’at.”

Beliau juga berkata:

“Para imam dari kalangan ahli bid’ah, yakni orang-orang yang memiliki pendapat-pendapat yang menyelisihi kitab dan sunnah, atau orang-orang yang ibadahnya menyelisihi kitab dan sunnah; menjelaskan keadaan mereka dan memperingkatkan umat tentang mereka dalah wajib berdasarkan kesepakatan kaum muslimin. Bahkan pernah ditanyakan kepada Imam Ahmad bin Hambal:

الرَّجُلُ يَصُوْمُ وَيُصَلِّيْ وَيَعْتَكِفُ أَحَبُّ إِلَيْكَ، أَوْ يَتَكَلَّمُ فِيْ أَهْلِ الْبِدَعِ؟

Apakah orang yang berpuasa sunnah, shalat sunnah dan beri’tikaf lebih Anda sukai atau orang yang menjelaskan penyimpangan ahli bid’ah?


Maka beliau pun menjelasakan:


إِذَا صَامَ وَصَلَّى وَاعْتَكَفَ فَإِنَّمَا هُوَ لِنَفْسِهِ وَإِذَا تَكَلَّمَ فِيْ أَهْلِ الْبِدَعِ فَإِنَّمَا هُوَ لِلْمُسْلِمِيْنَ، هَذَا أَفْضَلُ .


Apabila seseorang puasa, shalat dan i’tikaf maka manfaatnya hanyalah untuk dirinya, adapun menjelaskan penyimpangan ahli bid’ah, maka manfaatnya dirasakan oleh kaum muslimin, inilah yang lebih utama.”


Imam Ahmad menjelaskan bahwa menyebutkan penyimpangan ahli bid’ah manfaatnya umum dirasakan oleh kaum muslimin dalam agama mereka, dan itu termasuk jihad di jalan Allah, karena mensterilkan jalan Allah, agama-Nya, manhaj-Nya, syariat-Nya dan menghadapi kejahatan ahli bid’ah serta menghadang perlawanan mereka terhadap itu semua adalah wajib kifayah berdasarkan kesepakatan kaum muslimin.


Seandainya bukan karena jasa orang yang telah Allah bangkitkan untuk melawan kejahatan mereka, niscaya rusaklah agama ini, dan kerusakannya lebih parah daripada kerusakan yang disebabkan oleh penjajahan musuh dalam peperangan, karena penjajah itu sekalipun berkuasa, mereka tidak merusak hati dan agama, kecuali sebatas efek samping (bukan tujuan utama). Adapun para ahli bid’ah, maka mereka merusak hati (dan agama) secara langsung. (Majmuu’ Al-fataawaa (28/231, 232)

Sumber : https://www.belajar-islam.net

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Di Masa Kelam, Masjidil Haram mempunyai 4 Mihrab