Metode Istiqra Ma’nawi, Apa Maksudnya?

Umat Islam memiliki dua sumber hukum yang bersifat absolut yakni Alquran dan Hadits. Dalam memutuskan hukum suatu perkara diperlukan memanfaatkan kolektivitas dalil dari berbagai bentuknya baik yang terkait dengan nash secara langsung (manqulah) atau tidak langsung (ghairu manqulah).

Anggota Majelis Tarjih dan Tajdid PP Muhammadiyah Ghoffar Ismail mengatakan bahwa pemanfaatan kolektivitas dalil untuk memutuskan suatu perkara dalam diskusi usul fikih disebut dengan istiqra’ al-ma’nawi. Istiqra berarti induktif dan al-ma’nawi bermakna integralistik. Dalam Mahaj Tarjih, metode ini disebut dengan asumsi integralistik.

Metode istiqra’ ini dikembangkan oleh ulama Maliki yaitu Imam al-Syatibi dalam kitab Al-Muwafaqat fi Ushul asy-Syari’ah. Apa yang digambarkan al-Syatibi mengenai metode ini, paling tidak merupakan tawaran yang menarik tatkala memahami nash hukum. Sebab hal ini berbeda dengan formulasi metodologis yang telah ditawarkan oleh mazhab-mazhab sebelumnya yang masih bersifat deduksi peraturan-peraturan konkrit dari nash-nash.

“Dalam pendekatan istiqra’ ini semua dalil yang setema dalam Al Quran dan Al Sunah, bahkan dari penafsiran sahabat, tabiin, syarah hadis, kitab-kitab tafsir, ulama-ulama mazhab, diambil semua, kemudian ditata untuk membuat kesimpulan,” tutur Ghoffar dalam kajian yang diselenggarakan Masjid KH. Ahmad Dahlan Universitas Muhammadiyah Yogyakarta pada Rabu (03/11).

Ghoffar menjelaskan bahwa apabila dalil-dalil yang satu tema dikumpulkan kemudian saling menguatkan dan saling berkoroborasi menghasilkan suatu norma, dalam kasus-kasus tertentu kekuatan kebsahan itu mencapai derajat qat’i. Keqat’ian tidak terdapat dalam dalil terpisah satu persatu, tetapi terdapat dalam koroborasi sejumlah dalil yang satu sama lain saling menguatkan dan menunjukkan satu pemaknaan yang sama.

“Jika semua dalil semua dikumpulkan kemudian pendapat-pendapat sahabat, tabiin, ulama, pakar, dan lain sebagainya dikumpulkan jadi satu, ketika kesimpulannya menunjuk pada satu makna, maka itulah sebenarnya yang disebut dengan qat’i. qat’I itu maknanya pasti, karena seluruh sumber menunjuk pada satu makna,” ujar Ghoffar.

Karenanya, satu keputusan hukum harus didasarkan pada kolektivitas dalil secara menyeluruh, dan bukan sekedar ‘mengutip’ satu dalil tertentu, tanpa mempertimbangkan konteks sosiologis-historis saat dalil itu lahir. Contoh dari penerapan istiqra’ ma’nawi ini dalil tentang salat, zakat, dan lain sebagainya. [ Sumber : Muhammmadiyah.or.id ]

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Di Masa Kelam, Masjidil Haram mempunyai 4 Mihrab