Panduan shalat sesuai sunnah : (3) Rukun-rukun Shalat

RUKUN-RUKUN SHALAT

Rukun shalat adalah bagian penting dari shalat. Jika rukun shalat tidak ada, shalat tidaklah sah dan tak bisa tergantikan dengan sujud sahwi.

Yang termasuk dalam rukun shalat :

1. Niat di dalam hati. 

Tidak dipersyaratkan niat tersebut dilafazhkan. Dalam hadits disebutkan,

إِنَّمَا الأَعْمَالُ بِالنِّيَّاتِ

“Sesungguhnya setiap amal itu tergantung dari niatnya.” (HR. Bukhari no. 1 dan Muslim no. 1907, dari ‘Umar bin Al Khottob). Niat shalat [Klik Disini]

2. Berdiri bagi yang mampu (untuk shalat wajib). 

Sedangkan shalat sunnah boleh dikerjakan dalam keadaan duduk meskipun mampu.
Untuk shalat sunnah disunnahkan untuk berdiri, tidak wajib. Namun keadaan berdiri lebih utama daripada duduk saat itu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ صَلَّى قَائِمًا فَهُوَ أَفْضَلُ وَمَنْ صَلَّى قَاعِدًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَائِمِ وَمَنْ صَلَّى نَائِمًا فَلَهُ نِصْفُ أَجْرِ القَاعِدِ

“Siapa yang mengerjakan shalat sambil berdiri, maka itu lebih afdhal. Siapa yang shalat sambil duduk akan mendapatkan pahala separuh dari shalat sambil berdiri. Siapa yang shalat sambil berbaring akan mendapat pahala separuh dari shalat sambil duduk.” (HR. Bukhari no. 1065). 

Shalat bagi orang sakit baca [Klik Disini]

3. Takbiratul ihram (ucapan ‘Allahu Akbar’ di awal shalat). 

4. Posisi mengangkat tangan ketika shalat :

Tidak setiap awal rakaat diharuskan mengangkat tangan dalam bertakbir. Namun para ulama menetapkan mengangkat tangan dalam takbir disunnahkan dalam empat tempat:

(1) Pada takbîratul ihram dirakaat yang pertama (hendak memulai shalat).
(2) Ketika hendak ruku’.
(3) Ketika mengucapkan Samiallâhu liman hamidah setelah ruku’.
(4) Ketika berdiri dari rakaat kedua menuju rakaat ketiga.


Ini berdasarkan hadits yang diriwayatkan dari Nafi’ maula Ibnu Umar rahimahullah, beliau mengatakan,

أَنَّ ابْنَ عُمَرَ كَانَ إِذَا دَخَلَ فِى الصَّلاَةِ كَبَّرَ ، وَرَفَعَ يَدَيْهِ وَإِذَا رَكَعَ رَفَعَ يَدَيْهِ ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ رَفَعَ يَدَيْهِ ، وَإِذَا قَامَ مِنَ الرَّكْعَتَيْنِ رَفَعَ يَدَيْهِ ورَفَعَ ذلكَ ابنُ عُمَر إلى نبيِّ اللهِ – صلى الله عليه وسلم -.

"Sesungguhnya Ibnu ‘Umar Radhiyallahu anhuma biasanya jika hendak memulai shalatnya beliau bertakbir dan mengangkat kedua tangannya. Jika hendak ruku’ juga mengangkat kedua tangannya. Jika beliau mengucapkan, ”Sami’allâhu liman hamidah”  juga mengangkat kedua tangannya. Jika berdiri dari rakaat kedua juga mengangkat kedua tangannya. Ibnu Umar Radhiyallahu anhu memarfu’kannya kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam .” [HR. Al-Bukhâri, no. 739 & Muslim no. 390]

Sedangkan Salim bin Abdillah bin Umar rahimahullah menyampaikan dari bapaknya Radhiyallahu anhu yang berkata, (yg artinya) "Sesungguhnya Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam dahulu mengangkat kedua tangannya sejajar dengan kedua bahunya apabila memulai shalat dan ketika bertakbir untuk ruku’ dan ketika mengangkat kepala dari ruku’ Beliau juga mengangkat keduanya dan mengucapkan, “Sami’allahu liman hamidah rabbana wa lakal hamdu” dan Beliau tidak melakukan hal itu dalam sujudnya.” [HR. Al-Bukhâri]

Sebelum takbiratul ihram apakah harus membaca Bismillah?

Dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan ada seorang yang masuk masjid, kemudian mengerjakan shalat. Seusai shalat, orang ini datang kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang ketika itu berada di dalam masjid. Namun Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam menyuruh orang ini untuk mengulangi shalatnya, karena tadi batal. Beliau lakukan hal ini sebanyak 3 kali.

Setelah merasa kebingungan shalatnya terus dinilai salah, orang ini meminta agar diajari,

عَلِّمْنِي يَا رَسُولَ اللَّهِ

”Ajarilah aku, wahai Rasulullah.”

Hingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan tata cara shalat minimal, yang bernilai sah secara syariat. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepadanya,

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَأَسْبِغِ الوُضُوءَ، ثُمَّ اسْتَقْبِلِ القِبْلَةَ فَكَبِّرْ، ثُمَّ اقْرَأْ بِمَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ القُرْآنِ

”Apabila kamu hendak shalat, sempurnakanlah wudhu, kemudian menghadap kiblat, lalu lakukanlah takbiratul ihram. Kemudian bacalah ayat al-Quran yang kamu hafal.” (HR. Bukhari 6251 danMuslim 397).

Hadits ini sering diistilahkan para ulama dengan hadits al-musi’ shalatahu [المسيء صلاته], hadits orang yang shalatnya salah. Hadits ini menjadi hadits standar tentang tata cara shalat yang sah. Karena Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan cara shalat sederhana yang bernilai sah secara syariat.

Kita bisa perhatikan dalam hadits di atas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam mengajarkan kepada sahabat tersebut, agar ketika hendak shalat, dia bersiap dengan wudhu sempurna dan menghadap kiblat. Selanjutnya langsung bertakbir. Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak mengajarkan bacaan apapun sebelum takbiratul ihram.

Andai ada bacaan yang dianjurkan sebelum takbiratul ihram, tentu Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan mengajarkannya.

Dalam kitab al-Mughni, Ibnu Qudamah menukil keterangan Imam Ahmad,

قيل لأحمد‏:‏ قبل التكبير يقول شيئا‏؟‏ قال‏:‏ لا، يعنى ليس قبله دعاء مسنون إذ لم ينقل عن النبي – صلى الله عليه وسلم- ولا عن أصحابه

Imam Ahmad pernah ditanya: ’Sebelum takbiratul ihram, ada bacaan tertentu?’ Jawab Imam Ahmad: “Tidak ada.”

Maksud Imam Ahmad, tidak ada doa apapun yang dianjurkan sebelum takbiratul ihram. Karena tidak dinukil dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, tidak pula para sahabat. (al-Mughni, 1/330)

Ibnul Qoyim dalam Zadul Ma’ad menegaskan,

كان صلى الله عليه و سلم إذا قام إلى الصلاة قال : [ الله أكبر ] ولم يقل شيئا قبلها

Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam apabila memulai , beliau membaca ”Allahu akbar”, dan tidak membaca apapun sebelumnya. (Zadul Ma’ad, 1/194).

---
Membaca Doa Istiftah

Doa Istiftah adalah doa yang dibaca ketika shalat, antara takbiratul ihram dan ta’awudz sebelum membaca surat Al Fatihah.

Hukum membacanya adalah sunnah. Diantaranya dalilnya adalah hadist dari Abu Hurairah,

كان رسول الله صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ إذا كبَّر في الصلاة؛ سكتَ هُنَيَّة قبل أن يقرأ. فقلت: يا رسول الله! بأبي أنت وأمي؛ أرأيت سكوتك بين التكبير والقراءة؛ ما تقول؟ قال: ” أقول: … ” فذكره

“Biasanya Rasulullah Shallallahu ’alaihi Wa sallam setelah bertakbir ketika shalat, ia diam sejenak sebelum membaca ayat. Maka aku pun bertanya kepada beliau, wahai Rasulullah, kutebus engkau dengan ayah dan ibuku, aku melihatmu berdiam antara takbir dan bacaan ayat. Apa yang engkau baca ketika itu adalah:… (beliau menyebutkan doa iftitah)” (Muttafaqun ‘alaih)

Setelah menyebut beberapa doa iftitah dalam kitab Al Adzkar, Imam An Nawawi berkata: “Ketahuilah bahwa semua doa-doa ini hukumnya mustahabbah (sunnah) dalam shalat wajib maupun shalat sunnah” (Al Adzkar, 1/107).

Demikianlah pendapat jumhur ulama, kecuali Imam Malik rahimahullah. Beliau berpendapat, yang dibaca setelah takbiratul ihram adalah الحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ العَالَمِينَ yaitu surat Al Fatihah. Tentu saja pendapat beliau ini tidak tepat karena bertentangan dengan banyak dalil.

Ada beberapa macam do’a yang diajarkan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Untuk itu, setiap muslim dianjurkan untuk membaca do’a-do’a tersebut secara bergantian. Misalnya, shalat shubuh membaca do’a iftitah tertentu kemudian shalat dzuhur membaca do’a iftitah yang lain. Dengan demikian semua sunnah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam akan lestari dan terjaga.

Do’a iftitah dibaca pelan, baik makmum, imam, maupun orang yang shalat sendirian.
Untuk makmum masbuq (ketinggalan) tidak perlu membaca do’a iftitah.

Ada beberapa macam jenis doa iftitah yang dibaca oleh Rasulullah shallallahu ’alaihi wa sallam dan sahabatnya, berdasarkan riwayat-riwayat yang shahih.

Berikut ini macam-macam doa iftitah yang shahih,

Do’a pertama

اللَّهُمَّ بَاعِدْ بَيْنِى وَبَيْنَ خَطَايَاىَ كَمَا بَاعَدْتَ بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ ، اللَّهُمَّ نَقِّنِى مِنَ الْخَطَايَا كَمَا يُنَقَّى الثَّوْبُ الأَبْيَضُ مِنَ الدَّنَسِ ، اللَّهُمَّ اغْسِلْ خَطَايَاىَ بِالْمَاءِ وَالثَّلْجِ وَالْبَرَدِ

Allaah-humma baa-‘id bai-nii wa bai-na kha-thaa-yaa-ya kamaa baa-‘ad-ta bai-nal masy-riqi wal magh-rib. Allaah-humma naqqi-nii min khathaa-yaa-kamaa yunaq-qats-tsaubul ab-ya-dlu minad danas. Allaah-hummagh-sil-khathaa-yaa-ya bil maa-i wats-tsalji wal barad. (HR. Bukhari dan Muslim)

Do’a kedua

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ

Subhaana-kallaah-humma wa biham-dika wa tabaa-rakas-muka wa ta-‘aa-laa jadduka wa laa-ilaaha ghai-ruka. (HR. Abu Daud dan dishahihkan Al Albani).

Do’a ketiga

Seperti do’a iftitah di atas, tetapi dengan tambahan bacaan berikut:

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ (ثَلاَثًا)  اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا (ثَلاَثًا)

Laa-ilaaha-illallaah (3 kali) allaahu akbar kabii-raa (3 kali).

Keterangan: Do’a iftitah ini dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pada saat shalat malam. (HR. Abu Dauddan dishahihkan Al Albani).

Do’a keempat

اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا وَالْحَمْدُ لِلَّهِ كَثِيرًا وَسُبْحَانَ اللَّهِ بُكْرَةً وَأَصِيلاً

Allaahu akbar kabiiraa wal hamdu lillaahi katsiiraa wa subhaa-nallaa-hi buk-rataw wa ashii-laa. (HR. Muslim)

Keterangan: Do’a iftitah ini dibaca oleh salah seorang sahabat ketika shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, kemudian beliau bersabda: “Aku kagum dengan do’a ini. Pintu-pintu langit telah dibuka karena do’a ini.” Kata Ibn Umar: “Sejak Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda demikian Saya tidak pernah meninggalkan do’a ini.” (HR. Muslim)

Do’a kelima

الْحَمْدُ لِلَّهِ حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ

Al hamdu lil-laahi hamdan katsii-ran thayyi-ban mubaa-rakan fiih (HR. Muslim)

Keterangan: Do’a ini dibaca oleh salah seorang sahabat ketika shalat jamaah. Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: “Aku melihat 12 malaikat berlomba siapakah di antara mereka yang mengantarkannya (kepada Allah, pen.)) (HR. Muslim).

Do’a-do’a iftitah berikut adalah do’a yang dibaca Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika shalat malam:

Do’a keenam

اللَّهُمَّ رَبَّ جِبْرَائِيلَ وَمِيكَائِيلَ وَإِسْرَافِيلَ فَاطِرَ السَّمَوَاتِ وَالأَرْضِ عَالِمَ الْغَيْبِ وَالشَّهَادَةِ أَنْتَ تَحْكُمُ بَيْنَ عِبَادِكَ فِيمَا كَانُوا فِيهِ يَخْتَلِفُونَ اهْدِنِى لِمَا اخْتُلِفَ فِيهِ مِنَ الْحَقِّ بِإِذْنِكَ إِنَّكَ تَهْدِى مَنْ تَشَاءُ إِلَى صِرَاطٍ مُسْتَقِيمٍ

Allaa-humma rabba jib-riila wa mii-kaa-iil wa israafiil. Faa-thiras samaa-waati wal ardl. ‘aali-mal ghai-bi was syahaa-dah. Anta tahkumu bai-na ‘ibaa-dik fii-maa kaa-nuu fiihi yakh-tali-fuun. Ihdi-nii limakh-tulifa fiihi minal haqqi bi-idznik. Innaka tahdii man tasyaa-u ilaa shiraa-tim mustaqiim.

Do’a ketujuh

اللَّهُ أَكْبَرُ

Allaahu akbar (10 X)

الْحَمْدُ لِلَّهِ

Al hamdu lil-laah (10 X)

سُبْحَانَ الله

Subhaa-nallaah (10 X)

لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ

Laa-ilaaha-illallaah (10 X)

أَسْتَغْفِرُ اللَّهَ

As-tagh-firullaah (10 X)

اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى وَاهْدِنِى وَارْزُقْنِى وَعَافِنِى

Allaah-hummagh fir lii wah-dinii war-zuqnii wa ‘aa-finii (10 kali)

اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنَ الضِّيقِ يَوْمَ الْحِسَابِ

Allaah-humma innii a-‘uudzu bika minad Dhii-qi yaumal hisaab (10 kali)

(HR. Ahmad & Abu Daud dan dishahihkan Al Albani)

Do’a kedelapan

Allaahu akbar (3 kali)

اللَّهُ أَكْبَرُ

Dzul-malakuut wal jaba-ruut wal kib-riyaa’ wal ‘a-dza-mah

ذُو الْمَلَكُوتِ وَالْجَبَرُوتِ وَالْكِبْرِيَاءِ وَالْعَظَمَةِ

(HR. Abu Daud dan dishahihkan Al Albani).

Adab Membaca Doa Iftitah

Beberapa adab membaca doa iftitah dijelaskan oleh Imam An Nawawi dalam kitab Al Adzkar (1/107) :

~ Disunnahkan menggabung beberapa doa iftitah, dalam shalat yang sendirian. Atau juga bagi imam, bila diizinkan oleh makmum. Jika makmum tidak mengizinkan, maka jangan membaca doa yang terlalu panjang. Bahkan sebaiknya membaca yang singkat. Imam An Nawawi nampaknya mengisyaratkan hadits:

إذا أم أحدكم الناس فليخفف . فإن فيهم الصغير والكبير والضعيف والمريض . فإذا صلى وحده فليصل كيف شاء

“Jika seseorang menjadi imam, hendaknya ia ringankan shalatnya. Karena di barisan makmum terdapat anak kecil, orang tua, orang lemah, orang sakit. Adapun jika shalat sendirian, barulah shalat sesuai keinginannya” (HR.Muslim 467)

~ Jika datang sebagai makmum masbuk, tetap membaca doa iftitah. Kecuali jika sudah akan segera ruku’, dan khawatir tidak sempat membaca Al Fatihah. Jika demikian keadaannya, sebaiknya tidak perlu membaca istiftah, namun berusaha menyelesaikan membaca Al Fatihah. Karena membaca Al Fatihah itu rukun shalat.

~ Jika mendapati imam tidak sedang berdiri, misalnya sedang rukuk, atau duduk di antara dua sujud atau sedang sujud, maka makmum langsung mengikuti posisi imam dan membaca sebagaimana yang dibaca imam. Tidak perlu membaca doa iftitah ketika itu.

~ Para ulama Syafi’iyyah berbeda pendapat mengenai anjuran membaca doa iftitah ketika shalat jenazah. Menurut An Nawawi, yang lebih tepat adalah tidak perlu membacanya, karena shalat jenazah itu sudah selayaknya ringan.

~ Membaca doa iftitah itu hukumnya sunnah, tidak wajib. Jika seseorang meninggalkannya, tidak perlu sujud sahwi.

~ Yang sesuai sunnah, doa iftitah dibaca dengan sirr (lirih). Jika dibaca dengan jahr (keras) hukumnya makruh, namun tidak membatalkan shalat.

Kesalahan bacaan sholat terkait membaca do’a iftitah :

1. Tidak membaca do’a iftitah padahal ada kesempatan untuk membacanya. Karena sikap ini berarti menyia-nyiakan sunnah dalam shalat. Imam Syafi’i rahimahullah mencela sikap orang yang tidak meniru cara shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

2. Makmum yang ketinggalan menyibukkan diri dengan membaca doa iftitah, padahal imam sudah mau rukuk.

Koreksi ini bukanlah saran agar do’a iftitah ini ditinggalkan total ketika menjadi makmum. Namun jika waktu yang dimiliki oleh makmum itu terbatas karena imam sebentar lagi mau rukuk maka sebaiknya makmum mendahulukan yang wajib dari pada yang sunnah. Dan telah diketahui bersama bahwa do’a iftitah hukumnya sunah sedangkan membaca al fatihah hukumnya wajib. Oleh karena itu, selayaknya makmum yang ketinggalan dan imam sudah mau rukuk maka sebaiknya makmum tidak perlu membaca iftitah namun langsung membaca al fatihah. Dikisahkan bahwa Ibnul Jauzi pernah shalat dibelakang gurunya Abu Bakr Ad Dainuri. Ibnul Jauzi ketinggalan dan imam sudah mau rukuk. Tetapi Ibnul Jauzi malah sibuk membaca do’a iftitah. Ketika mengetahui hal ini, gurunya menasehatkan:

“Sesungguhnya ulama berselisih tentang wajibnya membaca surat al fatihah di belakang imam, namun mereka sepakat bahwa do’a iftitah adalah sunnah. Maka sibukkanlah dirimu dengan yang wajib dan tinggalkanlah yang sunnah.” (Al Qoulul Mubin, dinukil dari Talbis Iblis).

3. Imam membaca do’a iftitah terlalu panjang. Yang lebih tepat adalah selayaknya imam memilih doa iftitah yang pendek.

4. Memilih do’a iftitah satu saja dan meninggalkan do’a yang lain. Kemudian do’a yang dipilih tersebut dibaca dalam semua shalat dari sejak SD sampai tua. Kesalahan ini memberikan dampak buruk sebagai berikut:

Sunnah adanya bacaan iftitah yang lain menjadi hilang dan tidak lestari. Karena ketika banyak orang meninggalkannya maka orang akan menganggap itu bukan ajaran Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Munculnya sikap fanatisme golongan.

Sebagimana yang terjadi di tempat kita. Orang yang iftitahnya: Allaahumma baa’id bainii… dianggap golongan A, sedangkan yang iftitahnya: Allaahu akbar kabiiraa …dianggap golongan B. Ini adalah musibah yang menimpa kaum muslimin indonesia. Kita ucapkan innaalillaahi wa innaa ilaihi raaji’uun.
Orang yang shalat menjadi kurang bisa khusyu’. Karena orang yang hafal satu bacaan iftitah saja maka setiap memulai shalat secara otomatis dia akan membaca do’a tersebut tanpa merenungkan terlebih dahulu.
Berbeda dengan orang yang hafal beberapa macam do’a iftitah, maka sebelum membaca dia akan merenungkan terlebih dahulu do’a apa yang harus dia baca.

Ibnu Taimiyah berkata, “Jika ada yang lupa membaca doa iftitah pada tempatnya, maka ia tidak perlu mengganti di rakaat kedua.” (Kitab Shifatish Shalah, hal. 97).
---

4. Membaca Al Fatihah (bagi imam dan orang yang shalat sendirian).

Apakah makmum membaca al fatihah dibelakang imam ? :

Membaca al Fatihah atau tidak bagi makmum di belakang imam, adalah masalah yang sering jadi perselisihan dan perdebatan, bahkan sampai-sampai sebagian ulama membuat tulisan tersendiri tentang hal ini. Perselisihan ini berasal dari pemahaman dalil. Ada dalil yang menegaskan harus membacanya dan ada dalil yang memerintahkan untuk membacanya. Di lain sisi, ada juga ayat atau berbagai hadits yang memerintahkan diam ketika imam membacanya. Dari sinilah terjadinya khilaf.

Dalil: Wajib Baca Al Fatihah di Belakang Imam

Dari ‘Ubadah b in Ash Shoomit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah”. [HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394].

Dari Abu Hurairah, haditsnya marfu’sampai Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

مَنْ صَلَّى صَلاَةً لَمْ يَقْرَأْ فِيهَا بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ فَهْىَ خِدَاجٌ

“Barangsiapa yang melaksanakan shalat dan tidak membaca Al Fatihah di dalamnya, maka shalatnya itu kurang.” Perkataan ini diulang sampai tiga kali. [HR. Muslim no. 395]

Dalil: Wajib Diam Ketika Imam Membaca Al Fatihah

Berkebalikan dengan dalil di atas, ada beberapa dalil yang memerintahkan agar makmum diam ketika imam membaca surat karena bacaan imam dianggap sudah menjadi bacaan makmum.

Di antara dalilnya adalah firman Allah Ta’ala,

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A’rof: 204)

Abu Hurairah berkata,

صَلَّى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِأَصْحَابِهِ صَلاَةً نَظُنُّ أَنَّهَا الصُّبْحُ فَقَالَ « هَلْ قَرَأَ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ ». قَالَ رَجُلٌ أَنَا. قَالَ « إِنِّى أَقُولُ مَا لِى أُنَازَعُ الْقُرْآنَ ».

“Aku mendengar Abu Hurairah berkata, “Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya yang kami mengira bahwa itu adalah shalat subuh. Beliau bersabda: “Apakah salah seorang dari kalian ada yang membaca surat (di belakangku)?” Seorang laki-laki menjawab, “Saya. ” Beliau lalu bersabda: “Kenapa aku ditandingi dalam membaca Al Qur`an?“ [HR. Ahmad, Abu Daud, Tirmidzi, An Nasai dan Ibnu Majah, juga yang lainnya. Hadits ini shahih].

Dalil lainnya adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

من كان له إمام فقراءة الإمام له قراءة

“Barangsiapa yang shalat di belakang imam, bacaan imam menjadi bacaan untuknya.” [HR. Ahmad dan Ibnu Majah no. 850. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan] Hadits ini dikritisi oleh para ulama.

Hadits lainnya lagi adalah sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

إِنَّمَا الإِمَامُ – أَوْ إِنَّمَا جُعِلَ الإِمَامُ – لِيُؤْتَمَّ بِهِ ، فَإِذَا كَبَّرَ فَكَبِّرُوا ، وَإِذَا رَكَعَ فَارْكَعُوا ، وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ . وَإِذَا سَجَدَ فَاسْجُدُوا

“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti. Jika imam bertakbir, maka bertakbirlah. Jika imam ruku’, maka ruku’lah. Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika imam mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah’, ucapkanlah ‘robbana wa lakal hamd’. Jika imam sujud, sujudlah.” [HR. Bukhari no. 733 dan Muslim no. 411] Dalam riwayat Muslim pada hadits Abu Musa terdapat tambahan,

وَإِذَا قَرَأَ فَأَنْصِتُوا

“Jika imam membaca (Al Fatihah), maka diamlah.”

Menempuh Jalan Kompromi (Menjama’)

Metode para ulama dalam menyikapi dua macam hadits yang seolah-olah bertentangan adalah menjama’ di antara dalil-dalil yang ada selama itu memungkinkan.

Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah berkata, “Jika dua hadits bertentangan secara zhohir, jika memungkinkan untuk dijama’ antara keduanya, maka jangan beralih pada metode lainnya. Wajib ketika itu beramal dengan mengkompromikan keduanya terlebih dahulu.”

Syaikh Asy Syinqithi rahimahullah, ketika menjelaskan metode menggabungkan dalil-dalil, berkata, “Kami katakan, pendapat yang kuat menurut kami adalah melakukan jama’ (kompromi) terhadap dalil-dalil yang ada karena menjama’ dalil itu wajib jika memungkinkan untuk dilakukan.”

Menggabungkan atau mengkompromikan atau menjama’ dalil lebih didahulukan daripada melakukan tarjih (memilih dalil yang lebih kuat) karena menjama’ berarti menggunakan semua dalil yang ada (di saat itu mungkin) sedangkan tarjih mesti menghilangkan salah satu dalil yang dianggap lemah. Demikian pelajaran yang sudah dikenal dalam ilmu uhsul. Sehingga lebih tepat melakukan jama’ (kompromi) dalil selama itu masih memungkinkan.

Penjelasan Abul ‘Abbas Ibnu Taimiyah

Ibnu Taimiyah rahimahullah pernah ditanya hukum membaca Al Fatihah di belakang imam. Beliau mengatakan bahwa para ulama telah berselisih pendapat karena umumnya dalil dalam masalah ini, yaitu menjadi tiga pendapat.

Dua pendapat pertama adalah yang menyatakan tidak membaca surat sama sekali di belakang imam dan yang lainnya menyatakan membaca surat dalam segala keadaan. Pendapat ketiga yang dianut oleh kebanyakan salaf yang menyatakan bahwa jika makmum mendengar bacaan imam, maka hendaklah ia diam dan tidak membaca surat. Karena mendengar bacaan imam itu lebih baik dari membacanya. Jika makmum tidak mendengar bacaan imam, barulah ia membaca surat tersebut. Karena dalam kondisi kedua ini, ia membaca lebih baik daripada diam. Satu kondisi, mendengar bacaan imam itu lebih afdhol dari membaca surat. Kondisi lain, membaca surat lebih afdhol daripada hanya diam. Demikianlah pendapat mayoritas ulama seperti Malik, Ahmad bin Hambal, para ulama Malikiyah dan Hambali, juga sekelompok ulama Syafi’iyah dan ulama Hanafiyah berpendapat demikian. Ini juga yang menjadi pendapat Imam Asy Syafi’i yang terdahulu dan pendapat Muhammad bin Al Hasan.

Jika kita memilih pendapat ketiga, lalu bagaimana hukum makmum membaca Al Fatihah di saat imam membacanya samar-samar, apakah wajib atau sunnah bagi makmum?

Ada dua pendapat dalam madzhab Hambali. Yang lebih masyhur adalah yang menyatakan sunnah. Inilah yang jadi pendapat Imam Asy Syafi’i dalam pendapatnya terdahulu.

Pertanyaan lainnya, apakah sekedar mendengar bacaan Al Fatihah imam ketika imam menjahrkan bacaannya wajib, ataukah sunnah? Lalu bagaimana jika tetap membaca surat di belakang imam ketika kondisi itu, apakah itu haram, atau hanya sekedar makruh?

Dalam masalah ini ada dua pendapat di madzhab Hambali dan lainnya. Pertama, membaca surat ketika itu diharamkan. Jika tetap membacanya, shalatnya batal. Inilah salah satu dari dua pendapat yang dikatakan oleh Abu ‘Abdillah bin Hamid dalam madzhab Imam Ahmad. Kedua, shalat tidak batal dalam kondisi itu. Inilah pendapat mayoritas. Pendapat ini masyhur di kalangan madzhab Imam Ahmad.

Ibnu Taimiyah rahimahullah selanjutnya mengatakan,

Yang dimaksud di sini adalah tidak mungkin kita beramal dengan mengumpulkan seluruh pendapat. Akan tetapi, puji syukur pada Allah, pendapat yang shahih adalah pendapat yang berpegang pada dalil syar’i sehingga nampaklah kebenaran.

Intinya membaca Al Fatihah di belakang imam, kami katakan bahwa jika imam menjahrkan bacaannya, maka cukup kita mendengar bacaan tersebut. Jika tidak mendengarnya karena jauh posisinya jauh dari imam, maka hendaklah membaca surat tersebut menurut pendapat yang lebih kuat dari pendapat-pendapat yang ada. Inilah pendapat Imam Ahmad dan selainnya. Namun jika tidak mendengar karena ia tuli, atau ia sudah berusaha mendengar namun tidak paham apa yang diucapkan, maka di sini ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad. Pendapat yang terkuat, tetap membaca Al Fatihah karena yang afdhol adalah mendengar bacaan atau membacanya. Dan saat itu kondisinya adalah tidak mendengar. Ketika itu tidak tercapai maksud mendengar, maka tentu membaca Al Fatihah saat itu lebih afdhol daripada diam. [Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426, 23/265-268].

Pembelaan

Dalil yang menunjukkan bahwa bacaan imam juga menjadi bacaan bagi makmum dapat dilihat pada hadits Abu Bakroh di mana dia tidak disuruh mengulangi shalatnya.

Diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari jalan Al Hasan, dari Abu Bakroh bahwasanya ia mendapati Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam sedang ruku’. Lalu Abu Bakroh ruku’ sebelum sampai ke shof. Lalu ia menceritakan kejadian yang ia lakukan tadi kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam,

زَادَكَ اللَّهُ حِرْصًا وَلاَ تَعُدْ

“Semoga Allah menambah semangat untukmu, namun jangan diulangi." [HR. Bukhari no. 783].

Lalu bagaimana dengan hadits,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah”. [HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394].

Ada dua jawaban yang bisa diberikan:

1. Yang dimaksud dengan hadits tersebut adalah tidak sempurna shalatnya. Yang menunjukkan maksud seperti ini adalah dalam hadits Abu Hurairah disebutkan “غير تمام”, tidak sempurna.

2. Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah dalam shalatnya, namun ini berlaku bagi imam, orang yang shalat sendiri dan makmum ketika shalat siriyah (yang tidak dikeraskan bacaannya). Adapun makmum dalam shalat jahriyah (yang dikeraskan bacaannya), maka bacaan imam adalah bacaan bagi makmum. Jika ia mengaminkan bacaan Al Fatihah yang dibaca oleh imam, maka ia seperti membaca surat tersebut. Maka tidak benar jika dikatakan bahwa orang yang cuma menyimak bacaan imam tidak membaca surat Al Fatihah, bahkan itu dianggap membaca meskipun ia mendapati imam sudah ruku’, lalu ia ruku’ bersama imam.

Catatan:
Dari penjelasan Syaikh Sholeh Al Munajjid dalam Fatawa Islam As Sual wa Jawab: Seseorang dianggap mendapatkan satu raka’at ketika ia mendapati ruku’, meskipun ketika itu  ia belum sempat membaca Al Fatihah secara sempurna atau ia langsung ruku’ bersama imam.

Pendapat Hati-Hati

Syaikh Sholeh Al Fauzan hafizhohullah memilih pendapat yang hati-hati dalam masalah ini. Dalam Al Mulakhosh Al Fiqhi, beliau mengatakan, “Apakah membaca Al Fatihah itu wajib bagi setiap yang shalat (termasuk makmum ketika imam membaca Al Fatihah secara jahr, pen), ataukah hanya bagi imam dan orang yang shalat sendiri?” Kemudian jawab beliau hafizhohullah, “Masalah ini terdapat perselisihan di antara para ulama. Pendapat yang hati-hati, makmum tetap membaca Al Fatihah pada shalat yang imam tidak menjahrkan bacaannya, begitu pula pada shalat jahriyah ketika imam diam setelah baca Al Fatihah.” [Al Mulakhosh Al Fiqhi, Syaikh Sholeh Al Fauzan, terbitan Ar Riasah Al ‘Ammah lil Buhuts Al ‘Ilmiyyah wal Ifta’, cetakan kedua, 1430 H, 1/128].

Kesimpulannya pendapat yang menempuh jalan kompromi seperti yang ditempuh oleh Ibnu Taimiyah itu pun sudah cukup ahsan (baik). Namun penjelasan Syaikh Sholeh Al Fauzan di atas sengaja di tambahkan supaya kita lebih memilih pendapat yang lebih hati-hati agar tidak terjatuh dalam perselisihan ulama yang ada. Wallahu Ta’ala a’lam. [Sebagian besar bahasan ini adalah faedah dari penjelasan Syaikh ‘Abdurrahman bin ‘Abdillah As Suhaim dalam Syarh Ahadits ‘Umdatul Ahkam, hadits no. 101 tentang membaca Al Fatihah, di sini: http://www.saaid.net/Doat/assuhaim/omdah/094.htm] 

Apakah membaca ta'awudz setiap raka’at shalat ? :

Ketika shalat, disyariatkan untuk membaca ta’awudz sebelum membaca Al Fatihah. Ta’awudz ini diistilahkan juga dengan doa isti’adzah (doa memohon perlindungan).

Ta’awudz artinya melarikan diri dari sesuatu yang ditakuti kepada sesuatu yang bisa memberikan perlindungan.

Syaithan adalah isim mufrad dari jenis syayathin. Syaithan berasal dari kata syathona yang berarti ba’uda (jauh). Karena setan itu jauh dari kebenaran dan kebaikan, sifatnya itu durhaka.

Ar-rojiim mengikuti wazan fa’iilun bermakna maf’uulun, yaitu marjuumun (dilempar). Setan disebut demikian karena ia dilempar saat mencuri berita, atau makna lainnya adalah dilempar dengan laknat (terkena laknat), tidak mendapatkan rahmat. Ar-rojiim bisa pula bermakna faa’ilun, roojimun (melempar), yang berarti setan itu melemparkan kesesatan pada manusia, menghiasi mereka dengan kesesatan, dan menyukai kerusakan pada mereka.

Hamz artinya muutah yaitu sejenis gila dan kesurupan. Setan disebut demikian karena setan itu jadi sebab seseorang menjadi gila dan kesurupan.

Nafkh artinya kibr (sombong) yaitu setan itu membisik pada manusia hingga ia merasa dirinya itu di atas, akhirnya merendahkan yang lain.

Nafts artinya syi’ir (syair) karena seperti sesuatu yang disemburkan oleh manusia dari mulutnya. Setan itu membuat para penyair menyanjung, mencela, mengagungkan, dan merendahkan bukan pada tempatnya. Nafts juga dapat diartikan dengan sihir sebagaimana maksud dari turunnya ayat,

وَمِنْ شَرِّ النَّفَّاثَاتِ فِي الْعُقَدِ

“Dan dari kejahatan tukang sihir yang menghembus pada buhul-buhul.” (QS. Al-Falaq: 4)

Setelah membaca doa iftitah, disunnahkan membaca ta’awudz secara sirr (lirih) pada awal shalat ketika memulai qiraah (membaca surah).

Bacaan ta’awudz yang bisa dibaca,

أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ

“A’udzu billahis samii’il ‘aliim, minasy syaithaanir rajiim min hamzihi wa nafkhihi wa naftsih (artinya: aku berlindung kepada Allah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui dari gangguan syaitan yang terkutuk, dari kegilaannya, kesombongannya, dan nyanyiannya yang tercela).” (HR. Abu Daud no. 775 dan Tirmidzi no. 242. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan sanad hadits ini hasan. Pengertian “min hamzihi wa nafkhihi wa naftsih“, lihat Kitab Shifatish Shalah min Syarhil ‘Umdah, hal. 104).

Bisa pula mencukupkan ta’awudz dengan membaca,

أَعُوذُ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“A’udzu billahi minasy syaithooni minasy syaithonir rojiim (artinya: aku berlindung kepada Allah dari setan yang terkutuk).”

Ibroh hadits :

~ Hadits ini jadi dalil mengenai syariat membaca ta’awudz sebelum membaca surah dengan lafaz seperti dalam hadits.

~ Hukum bacaan ta’awudz adalah sunnah sebelum membaca surah dalam shalat maupun di luar shalat. Inilah pendapat jumhur ulama.

~ Maksud membaca ta’awudz sebelum membaca surah adalah di rakaat pertama, bukan dibaca pada saat mau atau sebelum takbiratul ihram. Karena bacaan ta’awudz maksudnya adalah untuk qiro’ah (membaca surah), bukan maksudnya untuk mengerjakan shalat.
Hal ini berdasarkan keumuman ayat yang memerintahkan membaca ta’awudz baik di dalam maupun di luar shalat ketika memulai membaca Al Qur’an,

فَإِذَا قَرَأْتَ الْقُرْآَنَ فَاسْتَعِذْ بِاللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ

“Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An Nahl: 98). (Lihat Kitab Shifatish Shalah, hal. 101).

~ Tujuan membaca ta’awudz ketika mulai membaca surah adalah untuk meminta perlindungan kepada Allah dari godaan setan agar ia menjauh dari hati orang yang membaca kitabullah, sehingga si pembaca Al-Qur’an mudah mentadaburi, memahami makna, serta mengambil manfaat dari Al-Qur’an.

~ Lafaz ta’awudz bisa dengan tiga bentuk: 
(a) A’UDZU BILLAHI MINASY SYAITHAANIR RAJIIM, 
(b) A’UDZU BILLAHIS SAMII’IL ‘ALIIM MINASY SYAITHAANIR RAJIIM, 
(c) A’UDZU BILLAHIS SAMII’IL ‘ALIIM MINASY SYAITHAANIR RAJIIM MIN HAMZIHI WA NAFKHIHI WA NAFTSIH. Semua lafaz ini ada dalilnya. Kaidah yang patut diingat, “Ibadah yang dalilnya menjelaskan berbagai variasi, maka bisa diamalkan yang ini dan yang itu secara bergantian. Mengamalkan secara bergantian itu baik.”

~ Ta’awudz hanya dibaca di rakaat pertama, tidak diulang setiap rakaat. Inilah pendapat Imam Abu Hanifah, salah satu pendapat Imam Ahmad, dan pendapat Imam Syafii.

Dalam fiqih terkait ta’awudz :

1. Ta’awudz itu dibaca sirr walaupun di shalat jahriyah (Maghrib, Isya, Shubuh).

2. Disunnahkan membacanya pada setiap rakaat menurut pendapat resmi madzhab Syafii. Namun, ada pendapat juga yang menyuruh dibaca pada rakaat pertama saja.’

3. Disunnahkan membaca taawudz ketika di luar shalat saat membaca Al-Qu’ran.

4. Membaca ta’awudz itu bagian dari sunnah hay’ah, jika ditinggalkan, tidak perlu sujud sahwi.

Apakah ta'awudz dalam shalat mesti dibaca di setiap rakaat saat mulai membaca surat ataukah cukup pada rakaat pertama saja?

Ta’awudz dibaca pada raka’at pertama sebelum memulai membaca surat setelah membaca doa istiftah. Menurut pendapat yang lebih kuat, ta’awudz hanya ada pada rakaat pertama karena inilah yang dituntunkan dalam hadits yang membicarakan tentang perintah membaca ta’awudz.

Dalam hadits Abu Sa’id Al Khudri, beliau berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا قَامَ إِلَى الصَّلاَةِ بِاللَّيْلِ كَبَّرَ ثُمَّ يَقُولُ « سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ وَتَبَارَكَ اسْمُكَ وَتَعَالَى جَدُّكَ وَلاَ إِلَهَ غَيْرُكَ ». ثُمَّ يَقُولُ « اللَّهُ أَكْبَرُ كَبِيرًا ». ثُمَّ يَقُولُ « أَعُوذُ بِاللَّهِ السَّمِيعِ الْعَلِيمِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ مِنْ هَمْزِهِ وَنَفْخِهِ وَنَفْثِهِ »

“Saat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam memulai shalat di malam hari, beliau bertakbir lantas mengucapkan, “Subhaanakallahumma wa bi hamdika wa tabaarokasmuka wa ta’ala jadduka wa laa ilaha ghoiruk (artinya: Maha suci Engkau ya Allah, aku memuji-Mu, Maha berkah Nama-Mu. Maha tinggi kekayaan dan kebesaran-Mu, tidak ada sesembahan yang berhak diibadahi dengan benar selain Engkau).” Lalu beliau mengucapkan, “Allahu akbar kabiiro”. Kemudian membaca, “A’udzu billahis samii’il ‘aliim, minasy syaithaanir rajiim min hamzihi wa nafkhihi wa naftsih (artinya: aku berlindung kepada Allah Yang Maha mendengar lagi Maha mengetahui dari gangguan syaitan yang terkutuk, dari kegilaannya, kesombongannya, dan nyanyiannya yang tercela).” (HR. Tirmidzi no. 242 dan Abu Daud no. 775. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Coba perhatikan dengan seksama perkataan Imam Asy Syaukani, “Berbagai hadits yang membicarakan tentang perintah membaca ta’awudz, maka jika diperhatikan bahwa bacaan tersebut hanya ada di raka’at pertama. Sedangkan ada pendapat dari Al Hasan Al Bashri, ‘Atho’, Ibrahim An Nakho’i yang menganjurkan membaca pada setiap raka’at. Karena mereka berdalil dengan keumuman ayat (yang artinya), “Apabila kamu membaca Al Quran hendaklah kamu meminta perlindungan kepada Allah dari syaitan yang terkutuk.” (QS. An Nahl: 98). Tidak ragu lagi bahwa ayat tersebut menunjukkan perintah membaca ta’awudz sebelum membaca Al Qur’an. Ayat tersebut berlaku umum untuk di luar atau di dalam shalat. Sedangkan ada berbagai dalil yang menunjukkan larangan berbicara ketika shalat tanpa dibedakan untuk ta’awudz dan lainnya yang tidak ada dalil khusus. Hati-hatinya adalah mencukupkan dengan apa yang disebutkan dalam hadits yaitu ta’awudz dibaca pada rakaat pertama saja.” (Nailul Author terbitan Dar Ibnul Qayyim, 3: 77).

Begitu juga dalam keterangan hadits lainnya menunjukkan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam langsung membaca Al Fatihah ketika bangkit dari rakaat kedua. Dari Abu Hurairah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- إِذَا نَهَضَ مِنَ الرَّكْعَةِ الثَّانِيَةِ اسْتَفْتَحَ الْقِرَاءَةَ بِ (الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ) وَلَمْ يَسْكُتْ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika bangkit ke rakaat kedua, beliau memulai dengan membaca ‘alhamdulillahi robbil ‘aalamiin … ‘. Belum tidak diam sejenak sebelum itu.” (HR. Muslim no. 599).

Imam Asy Syaukani berkata, “Hadits di atas menunjukkan bahwa tidak disyari’atkan untuk diam sebelum memulai bacaan di rakaat kedua. Begitu pula tidak disyariatkan untuk membaca ta’awudz pada rakaat kedua. Rakaat selanjutnya sama dengan hukum rakaat kedua.” (Nailul Author, 3: 233)

Ta’awudz dibaca pada raka’at pertama sebelum memulai membaca surat setelah membaca doa istiftah. Ibnu Taimiyah berkata, “Jika seseorang meninggalkan membaca ta’awudz di rakaat pertama, maka  hendaklah ia membacanya di raka’at kedua.” (Kitab Shifatish Shalah min Syarhil ‘Umdah karya Ibnu Taimiyah, hal. 97).

Setelah membaca ta’awudz, dilanjutkan membaca basmalah, yaitu bismillahir rahmanir rahiim (artinya: dengan menyebut nama Allah yang Maha pengasih lagi Maha penyayang).

Basmalah tidak dikeraskan, cukup bacaan untuk diri sendiri (lirih). Dari ‘Aisyah, ia berkata,

كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَسْتَفْتِحُ الصَّلاَةَ بِالتَّكْبِيرِ وَالْقِرَاءَةَ بِ (الْحَمْدُ لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ)

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membuka shalatnya dengan takbir lalu membaca alhamdulillahi robbil ‘alamin.” (HR. Muslim no. 498).

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di ketika menjelaskan hadits di atas dalam Umdatul Ahkam, beliau berkata, “Ini adalah dalil bahwa bacaan basmalah tidaklah dijahrkan (dikeraskan).” (Syarh ‘Umdatil Ahkam karya Syaikh As Sa’di, hal. 161).

Juga dalil lainnya adalah hadits Anas, di mana ia berkata,

صَلَّيْتُ مَعَ رَسُولِ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- وَأَبِى بَكْرٍ وَعُمَرَ وَعُثْمَانَ فَلَمْ أَسْمَعْ أَحَدًا مِنْهُمْ يَقْرَأُ (بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ )

“Aku pernah shalat bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, juga bersama Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman, aku tidak pernah mendengar salah seorang dari mereka membaca ‘ bismillahir rahmanir rahiim’.” (HR. Muslim no. 399). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah berkata, “Yang sesuai sunnah, basmalah dibaca sebelum surat Al Fatihah dan bacaan tersebut dilirihkan (tidak dikeraskan).” (Kitab Shifatish Shalah min Syarhil ‘Umdah karya Ibnu Taimiyah, hal. 105).

Hukum Membaca Al Fatihah

Membaca Al Fatihah diwajibkan berdasarkan hadits dari ‘Ubadah bin Ash Shoomit radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ صَلاَةَ لِمَنْ لَمْ يَقْرَأْ بِفَاتِحَةِ الْكِتَابِ

“Tidak ada shalat bagi orang yang tidak membaca Al Fatihah.” (HR. Bukhari no. 756 dan Muslim no. 394).

Membaca Al Fatihah di sini berlaku bagi imam dan orang yang shalat dan sendirian.
Sedangkan makmum dalam shalat jahriyah (Maghrib, Isya dan Shubuh) tidak membaca Al Fatihah, ia cukup mendengarkan, inilah pendapat yang lebih kuat. Karena Allah Ta’ala memerintahkan,

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآَنُ فَاسْتَمِعُوا لَهُ وَأَنْصِتُوا لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ

“Dan apabila dibacakan Al Quran, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.” (QS. Al A’raf: 204).

Abu Hurairah berkata,

صَلَّى النَّبِىُّ -صلى الله عليه وسلم- بِأَصْحَابِهِ صَلاَةً نَظُنُّ أَنَّهَا الصُّبْحُ فَقَالَ  هَلْ قَرَأَ مِنْكُمْ مِنْ أَحَدٍ. قَالَ رَجُلٌ أَنَا. قَالَ  إِنِّى أَقُولُ مَا لِى أُنَازَعُ الْقُرْآنَ.

“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam shalat bersama para sahabatnya yang kami mengira bahwa itu adalah shalat subuh. Beliau bersabda: “Apakah salah seorang dari kalian ada yang membaca surat (di belakangku)?” Seorang laki-laki menjawab, “Saya. ” Beliau lalu bersabda: “Kenapa aku ditandingi dalam membaca Al Qur`an?“ (HR. Abu Daud no. 826 dan Tirmidzi no. 312. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Ibnu Mas’ud berkata,

أَنْصِتْ لِلْقُرْآنِ فَإِنْ فِي الصَّلاةِ شُغْلا، وَسَيَكْفِيكَ ذَلِكَ الإِمَامُ

“Diamlah saat imam membaca Al Qur’an karena dalam shalat itu begitu sibuk. Cukup bagimu apa yang dibaca oleh imam.” (HR. Ath Thobroni 9: 264)

Ibnu ‘Umar berkata,

يَنْصِتُ لِلْإِمَامِ فِيْمَا يَجْهَرُ بِهِ فِي الصَّلاَةِ وَلاَ يَقْرَأُ مَعَهُ

“Hendaklah diam ketika imam mengeraskan bacaannya dalam shalat. Dan janganlah baca bersamanya.” (HR. Abdur Rozaq, 2: 139).

Syaikh Abdul ‘Aziz Ath Thorifi berkata, “Inilah yang diamalkan oleh mayoritas sahabat Nabi yaitu diamalkan oleh Ibnu ‘Abbas, Ibnu Mas’ud, Ibnu ‘Umar, Abu Hurairah dan ‘Aisyah. Aku tidak mengetahui adanya perselisihan dalam hal ini di antara para sahabat dengan perkataan yang shahih dan tegas. Hampir-hampir saja ini jadi ijma’ sahabat. Ada perkataan dari ‘Umar yang menyelisihi namun tidak tegas.” (Shifat Shalat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, hal. 98).

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Intinya membaca Al Fatihah di belakang imam, kami katakan bahwa jika imam menjahrkan bacaannya, maka cukup kita mendengar bacaan tersebut. Jika tidak mendengarnya karena jauh posisinya jauh dari imam, maka hendaklah membaca surat tersebut menurut pendapat yang lebih kuat. Inilah pendapat Imam Ahmad dan selainnya. Namun jika tidak mendengar karena ia tuli, atau ia sudah berusaha mendengar namun tidak paham apa yang diucapkan, maka di sini ada dua pendapat di madzhab Imam Ahmad. Pendapat yang terkuat, tetap membaca Al Fatihah karena yang afdhol adalah mendengar bacaan atau membacanya. Dan saat itu kondisinya adalah tidak mendengar. Ketika itu tidak tercapai maksud mendengar, maka tentu membaca Al Fatihah saat itu lebih afdhol daripada diam.” (Majmu’ Al Fatawa, 23: 268-269)

Setelah membaca Al Fatihah diperintahkan membaca aamiin secara jaher (dikeraskan).

Dari Abu Hurairah, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِذَا قَالَ الْإِمَامُ  غَيْرِ الْمَغْضُوبِ عَلَيْهِمْ وَلَا الضَّالِّينَ فَقُولُوا آمِينَ فَإِنَّ الْمَلَائِكَةَ تَقُولُ آمِينَ وَإِنَّ الْإِمَامَ يَقُولُ آمِينَ فَمَنْ وَافَقَ تَأْمِينُهُ تَأْمِينَ الْمَلَائِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ

“Jika imam membaca ‘ghoiril maghdhubi ‘alaihim wa laaddhoolliin’, maka ucapkanlah ‘aamiin’ karena malaikat akan mengucapkan pula ‘aamiin’ tatkala imam mengucapkan aamiin. Siapa saja yang ucapan aamiin-nya berbarengan dengan ucapan ‘aamiin’ malaikat, maka akan diampuni dosanya yang telah lalu.” (HR. An Nasai no. 928 dan Ibnu Majah no. 852. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)

5, 6. Ruku’ dan thuma’ninah (tidak tergesa-gesa) serta I’tidal dan thuma’ninah.

Dalil yang menunjukkan perintah untuk thuma’ninah dapat dilihat pada hadits musii’ sholatuhu (orang yang jelek shalatnya).

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ أَنَّ النَّبِىَّ – صلى الله عليه وسلم – دَخَلَ الْمَسْجِدَ فَدَخَلَ رَجُلٌ فَصَلَّى ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَرَدَّ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – عَلَيْهِ السَّلاَمَ فَقَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ » فَصَلَّى ، ثُمَّ جَاءَ فَسَلَّمَ عَلَى النَّبِىِّ – صلى الله عليه وسلم – فَقَالَ « ارْجِعْ فَصَلِّ فَإِنَّكَ لَمْ تُصَلِّ » . ثَلاَثًا . فَقَالَ وَالَّذِى بَعَثَكَ بِالْحَقِّ فَمَا أُحْسِنُ غَيْرَهُ فَعَلِّمْنِى . قَالَ إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا

Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika masuk masjid, maka masuklah seseorang lalu ia melaksanakan shalat. Setelah itu, ia datang dan memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam, lalu beliau menjawab salamnya. Beliau berkata, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Lalu ia pun shalat dan datang lalu memberi salam pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Beliau tetap berkata yang sama seperti sebelumnya, “Ulangilah shalatmu karena sesungguhnya engkau tidaklah shalat.” Sampai diulangi hingga tiga kali. Orang yang jelek shalatnya tersebut berkata, “Demi yang mengutusmu membawa kebenaran, aku tidak bisa melakukan shalat sebaik dari itu. Makanya ajarilah aku!” Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam lantas mengajarinya dan bersabda, “Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu bangkitlah dan beri’tidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma’ninah. 

Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397). 

Tatacara ruku dan i'tidal lihat [Klik Disini

7. Sujud dua kali dalam satu 
raka’at, disertai thuma’ninah. 

Tatacara sujud lihat [Klik Disini]

8. Duduk di antara dua sujud, disertai thuma’ninah. 

Tatacara Duduk diantara dua sujud lihat [Klik Disini]

9, 10, 11. Duduk tahiyat akhir, Membaca bacaan tasyahud di tahiyat akhir dan Membaca bacaan shalawat setelah bacaan tasyahud akhir. 

Tatacara tasyahud awal dan akhir lihat [Klik Disini]

12. Salam pertama, minimalnya ‘Assalamu ‘alaikum’, lengkapnya ‘Assalamu ‘alaikum wa rahmatullah’. 

Tatacara Menutup shalat dengan ucapan salam lihat [Klik Disini]

13. Berurutan dalam mengerjakan rukun yang tadi disebutkan.

Diharuskan berurutan dalam mengerjakan rukun karena dalam hadits musii’ sholatuhu terdapat kata “tsumma” ketika menjelaskan urutan rukun. Tsumma sendiri berarti kemudian yang menunjukkan makna berurutan. Perhatikan haditsnya,

إِذَا قُمْتَ إِلَى الصَّلاَةِ فَكَبِّرْ ، ثُمَّ اقْرَأْ مَا تَيَسَّرَ مَعَكَ مِنَ الْقُرْآنِ ، ثُمَّ ارْكَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ رَاكِعًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَعْتَدِلَ قَائِمًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ ارْفَعْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ جَالِسًا ، ثُمَّ اسْجُدْ حَتَّى تَطْمَئِنَّ سَاجِدًا ، ثُمَّ افْعَلْ ذَلِكَ فِى صَلاَتِكَ كُلِّهَا

“Jika engkau hendak shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur’an yang mudah bagimu. Lalu ruku’lah dan sertai thuma’ninah ketika ruku’. Lalu bangkitlah dan beri’tidallah sambil berdiri. Kemudian sujudlah sertai thuma’ninah ketika sujud. Kemudian bangkitlah dan duduk antara dua sujud sambil thuma’ninah. Kemudian sujud kembali sambil disertai thuma’ninah ketika sujud. Lakukan seperti itu dalam setiap shalatmu.” (HR. Bukhari no. 793 dan Muslim no. 397).

Demikian penjelasan mengenai rukun-rukun shalat. Semoga kita menjalankan semua rukun-rukun yang telah disyariatkan agar shalat kita diterima oleh Allah Tabarakallah wa Ta'ala. 

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush sholihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shohbihi  wa sallam.

Baca : "Panduan Shalat Sesuai Sunnah" lainnya [KLIK DISINI]

Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?