Panduan shalat sesuai sunnah : (4) Tatacara Ruku'
Bacaannya, Bangkit Dari Ruku' (I'tidal) Dan Turun Sujud Tangan Dulu Atau Lutut Dulu
Sempurnakan ruku saat shalat sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana berikut :
~» Saat Ruku' kedua tangan diletakkan di lutut. Jika ruku' Rasulullah meletakkan dua tangannya di lututnya dan merenggangkan jari jemarinya. (HR. Abu Daud no. 731. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
~» Saat Ruku' kepala dijadikan sejajar dengan punggung, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat. Ketika ruku’, punggungnya rata sampai sampai jika air dituangkan di atas punggungnya, air itu akan tetap diam.“(HR. Ibnu Majah no. 872. Juga diriwayatkan oleh Ath Thobroni dalam Al Kabir dan Ash Shoghir, begitu pula oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid Al Musnad)
~» Saat Ruku' pandangan mata ketempat sujud kecuali saat tasyahud pandangan kejari telunjuk.
~» Saat Ruku dengan tumakninah Jika Anda hendak mengerjakan shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat al Quran yang mudah bagi Anda. Kemudian rukuklah sampai benar benar rukuk dengan tumakninah, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud dengan tumakninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk sampai benar benar duduk dengan tumakninah, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud, Kemudian lakukan seperti itu pada seluruh shalatmu” (HR. Bukhari 757 dan Muslim 397 dari sahabat Abu Hurairah)
Sempurnakan ruku saat shalat sesuai tuntunan Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam, sebagaimana berikut :
~» Saat Ruku' kedua tangan diletakkan di lutut. Jika ruku' Rasulullah meletakkan dua tangannya di lututnya dan merenggangkan jari jemarinya. (HR. Abu Daud no. 731. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
~» Saat Ruku' kepala dijadikan sejajar dengan punggung, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat. Ketika ruku’, punggungnya rata sampai sampai jika air dituangkan di atas punggungnya, air itu akan tetap diam.“(HR. Ibnu Majah no. 872. Juga diriwayatkan oleh Ath Thobroni dalam Al Kabir dan Ash Shoghir, begitu pula oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid Al Musnad)
~» Saat Ruku' pandangan mata ketempat sujud kecuali saat tasyahud pandangan kejari telunjuk.
~» Saat Ruku dengan tumakninah Jika Anda hendak mengerjakan shalat maka bertakbirlah, lalu bacalah ayat al Quran yang mudah bagi Anda. Kemudian rukuklah sampai benar benar rukuk dengan tumakninah, lalu bangkitlah (dari rukuk) hingga kamu berdiri tegak, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud dengan tumakninah, lalu angkat (kepalamu) untuk duduk sampai benar benar duduk dengan tumakninah, setelah itu sujudlah sampai benar-benar sujud, Kemudian lakukan seperti itu pada seluruh shalatmu” (HR. Bukhari 757 dan Muslim 397 dari sahabat Abu Hurairah)
Berikut tatacara ruku' lengkap berikut bacaannya :
1. Saat ruku’, kedua tangan diletakkan di lutut.
Dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshori disebutkan,
فَلَمَّا رَكَعَ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ
“Ketika ruku, ia meletakkan kedua tangannya pada lututnya.” (HR. Abu Daud no. 863 dan An Nasai no. 1037. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Abu Humaid As Sa’idiy berkata mengenai cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata,
فَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ كَفَّيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ وَفَرَّجَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Jika ruku’, beliau meletakkan dua tangannya di lututnya dan merenggangkan jari-jemarinya.” (HR. Abu Daud no. 731. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dalam riwayat lainnya disebutkan,
ثُمَّ رَكَعَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ كَأَنَّهُ قَابِضٌ عَلَيْهِمَا
“Kemudian beliau ruku’ dan meletakkan kedua tangannya di lututnya seakan-akan beliau menggenggam kedua lututnya tersebut.” (HR. Abu Daud no. 734, Tirmidzi no. 260 dan Ibnu Majah no. 863. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
2. Saat ruku’, kepala dijadikan sejajar dengan punggung.
Abu Humaid As Sa’idiy berbicara mengenai cara ruku’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَصُبُّ رَأْسَهُ وَلاَ يُقْنِعُ مُعْتَدِلاً
“Ketika ruku’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membuat kepalanya terlalu menunduk dan tidak terlalu mengangkat kepalanya (hingga lebih dari punggung), yang beliau lakukan adalah pertengahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1061 dan Abu Daud no. 730. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dari Wabishoh bin Ma’bad, ia berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فَكَانَ إِذَا رَكَعَ سَوَّى ظَهْرَهُ حَتَّى لَوْ صُبَّ عَلَيْهِ الْمَاءُ لاَسْتَقَرَّ
“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat. Ketika ruku’, punggungnya rata sampai-sampai jika air dituangkan di atas punggungnya, air itu akan tetap diam.“(HR. Ibnu Majah no. 872. Juga diriwayatkan oleh Ath Thobroni dalam Al Kabir dan Ash Shoghir, begitu pula oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid Al Musnad).
3. Kemudian saat ruku’ membaca “subhana robbiyal ‘azhim”, dibaca berulang kali.
Ketika ruku’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ
“Subhanaa robbiyal ‘azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung).” (HR. Muslim no. 772).
Sedangkan anjuran tiga kali disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud,
إِذَا رَكَعَ أَحَدُكُمْ فَقَالَ فِى رُكُوعِهِ سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
“Jika salah seorang di antara kalian ruku’, maka ia mengucapkan ketika ruku’nya “Subhanaa robbiyal ‘azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung)”, dibaca sebanyak tiga kali.” (HR. Tirmidzi no. 261, Abu Daud no. 886 dan Ibnu Majah no. 890. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if).
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits dengan penyebutan membaca tiga kali seperti ini diriwayatkan oleh tujuh orang sahabat. Namun boleh-boleh saja membaca dzikir tersebut lebih dari tiga kali. (Lihat Shifat Shalat Nabi, hal. 115)
Begitu pula boleh membaca dengan “subhana robbiyal ‘azhimi wa bihamdih”. Dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir disebutkan mengenai bacaan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ruku’,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ وَبِحَمْدِهِ
“Subhanaa robbiyal ‘azhimi wa bi hamdih (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung dan pujian untuk-Nya).” Ini dibaca tiga kali. (HR. Abu Daud no. 870. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih, begitu pula Syaikh Al Albani dalam Shifat Shalat Nabi, hal. 115. Kata Syaikh Al Albani hadits ini diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthni, Ahmad, Ath Thobroni, dan Al Baihaqi).
4. Saat ruku’ dan sujud bisa pula membaca bacaan lainnya, “Subhanakallahumma robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii”.
Dari ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِى رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ « سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى » يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak membaca ketika ruku’ dan sujud bacaan, “Subhanakallahumma robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii (artinya: Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, pujian untuk-Mu, ampunilah aku)”. Beliau menerangkan maksud dari ayat Al Qur’an dengan bacaan tersebut.” (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484).
Yang dimaksud dengan ayat Al Qur’an dalam hadits di atas diterangkan dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir,
لَمَّا نَزَلَتْ (فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ) قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اجْعَلُوهَا فِى رُكُوعِكُمْ ». فَلَمَّا نَزَلَتْ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) قَالَ « اجْعَلُوهَا فِى سُجُودِكُمْ »
“Ketika turun ayat “fasabbih bismirobbikal ‘azhim”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jadikan bacaan tersebut pada ruku’ kalian.” Lalu ketika turun ayat “sabbihisma robbikal a’laa”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, “Jadikanlah pada sujud kalian.” (HR. Abu Daud no. 869 dan Ibnu Majah no. 887. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Bacaan ruku’ dan sujud lainnya yang bisa dibaca,
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ
“Subbuhun qudduus, robbul malaa-ikati war ruuh (artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-).” (HR. Muslim no. 487).
Bangkit dari Ruku' (i’tidal).
Kemudian setelah ruku mengangkat kepala, bangkit dari ruku’ sembari mengangkat kedua tangan.
Ketika bangkit sambil mengucapkan “sami’allahu liman hamidah”. Ini berlaku bagi imam dan orang yang shalat sendirian.
Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik disebutkan,
وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
“Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika ia mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah (artinya: Allah mendengar pujian dari orang yang memuji-Nya) ‘, ucapkanlah ‘robbana wa lakal hamdu (artinya: Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji)’.” (HR. Bukhari no. 689 dan Muslim no. 411)
~ Setiap orang mengucapkan “robbana wa lakal hamdu, hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fiih, mil-assamaa-i, wa mil-al ardhi, wa mil-a maa syi’ta min syai-in ba’du”.
Ucapan robbana wa lakal hamdu, bisa dipilih dari empat bacaan:
1. Allahumma robbanaa lakal hamdu. (HR. Muslim no. 404)
2. Allahumma robbanaa wa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 795)
3. Robbanaa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 722 dan Muslim no. 477)
4. Robbanaa wa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 689 dan Muslim no. 411).
Bacaan yang lebih lengkap ketika i’tidal (bangkit dari ruku’),
اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَىْءٍ بَعْدُ أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِىَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
“Allahumma rabbanaa lakal hamdu mil-assamawaati wa mil-al ardhi, wa mil-a maa syi’ta min syai-in ba’du, ahlats tsanaa-i wal majdi, laa maani’a limaa a’thoita, wa laa mu’thiya lima mana’ta, wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu (artinya: Ya Allah, Rabb kami, bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi, sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu. Wahai Tuhan yang layak dipuji dan diagungkan. Tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan dan tidak ada pula yang dapat memberi apa yang Engkau halangi, tidak bermanfaat kekayaan bagi orang yang memiliinya, hanyalah dari-Mu kekayaan itu)” (HR. Muslim no. 471).
Keutamaan membaca rabbana wa lakal hamdu disebutkan dalam hadits Abu Hurairah,
إِذَا قَالَ الإِمَامُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ . فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Jika imam mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka hendaklah kalian mengucapkan ‘rabbana wa lakal hamdu’. Karena siapa saja yang ucapannya tadi berbarengan dengan ucapan malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan dihapus.” (HR. Bukhari no. 796 dan Muslim no. 409).
Begitu pula bagi yang mengucapkan,
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
“Robbana walakal hamdu, hamdan katsiran thoyyiban mubaarakan fiih (artinya: wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah).” Disebutkan dalam hadits Rifa’ah bin Rafi’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bagi orang yang mengucapkan semacam itu,
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا ، أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ
“Aku melihat ada 30-an malaikat, berlomba-lomba siapakah di antara mereka yang lebih duluan mencatat amalannya.” (HR. Bukhari no. 799)
Manakah yang lebih didahululan, lutut ataukah tangan saat turun sujud?
Pertama, yang mesti dipahami adalah kedua cara tersebut dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun para ulama berselisih pendapat manakah yang lebih afdhol di antara keduanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
أما الصلاة بكليهما فجائزة بإتفاق العلماء إن شاء المصلى يضع ركبتيه قبل يديه وإن شاء وضع يديه ثم ركبتيه وصلاته صحيحة فى الحالتين بإتفاق العلماء ولكن تنازعوا فى الأفضل
“Adapun shalat dengan kedua cara tersebut maka diperbolehkan dengan kesepakatan ulama, kalau dia mau maka meletakkan kedua lutut sebelum kedua telapak tangan, dan kalau mau maka meletakkan kedua telapak tangan sebelum kedua lutur, dan shalatnya sah pada kedua keadaan tersebut dengan kesepakatan para ulama. Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang yang afdhal.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 449).
Kedua, yang paling afdhol adalah dilihat dari kondisi orang masing-masing, tidak katakan yang paling afdhol adalah tangan dulu ataukah lutut dahulu. Karena hadits yang membicarakannya hanyalah mengatakan,
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ
“Janganlah salah satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika hendak menderum.” (HR. Abu Daud no. 840 dan An Nasai no. 1092. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Namun ada tambahan,
وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Hendaknya dia letakkan tangannya sebelum lututnya.”
Versi lain mengatakan,
وَلْيَضَعْ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ
“Hendaknya dia letakkan dua lututnya sebelum dua tangannya.”
Para ulama berselisih pendapat manakah riwayat tambahan ini yang shahih.
Pendapat yang tepat, kedua versi tambahan tersebut adalah riwayat yang goncang, tidak ada satu pun yang sahih. Keduanya idhtirob (goncang) [lemah]. Sehingga riwayat yang valid hanyalah bagian awal hadits yang berbunyi, “Janganlah salah satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika hendak menderum”.
Sehingga zhahir hadits menunjukkan bahwa orang yang sedang mengerjakan shalat dilarang turun sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika mau menderum. Turunnya unta untuk menderum itu memiliki bentuk yang khas, bentuk khas ini bisa terjadi baik kita turun dengan mendahulukan tangan dari pada lutut ataupun kita mendahulukan lutut dari pada tangan. Sehingga makna sabda Nabi, “janganlah salah satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika hendak menderum” adalah ketika hendak sujud hendaknya kepala tidak dibuat merunduk sampai ke lantai semisal unta ketika hendak turun sedangkan punggung masih dalam posisi di atas. Inilah bentuk turunnya unta untuk menderum dan bentuk semacam ini berdampak negatif bagi orang yang mengerjakan shalat.
Ringkasnya, terdapat diskusi yang panjang tentang perselisihan ini di kalangan ulama. Pendapat yang paling baik, manakah yang mesti didahulukan apakah tangan ataukah lutut, ini menimbang pada kondisi masing-masing orang. Mana yang lebih mudah baginya, itulah yang ia lakukan. Ada orang yang berat badannya, ada orang yang ringan. Intinya, tidak ada hadits shahih yang marfu’ -sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang membicarakan hal tadi. (Lihat Shifat Shalat Nabi karya guru kami, Syaikh Abdul ‘Aziz Ath Thorifi, hal. 129).
1. Saat ruku’, kedua tangan diletakkan di lutut.
Dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amr Al Anshori disebutkan,
فَلَمَّا رَكَعَ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ
“Ketika ruku, ia meletakkan kedua tangannya pada lututnya.” (HR. Abu Daud no. 863 dan An Nasai no. 1037. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Abu Humaid As Sa’idiy berkata mengenai cara shalat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau berkata,
فَإِذَا رَكَعَ أَمْكَنَ كَفَّيْهِ مِنْ رُكْبَتَيْهِ وَفَرَّجَ بَيْنَ أَصَابِعِهِ
“Jika ruku’, beliau meletakkan dua tangannya di lututnya dan merenggangkan jari-jemarinya.” (HR. Abu Daud no. 731. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dalam riwayat lainnya disebutkan,
ثُمَّ رَكَعَ فَوَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ كَأَنَّهُ قَابِضٌ عَلَيْهِمَا
“Kemudian beliau ruku’ dan meletakkan kedua tangannya di lututnya seakan-akan beliau menggenggam kedua lututnya tersebut.” (HR. Abu Daud no. 734, Tirmidzi no. 260 dan Ibnu Majah no. 863. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih)
2. Saat ruku’, kepala dijadikan sejajar dengan punggung.
Abu Humaid As Sa’idiy berbicara mengenai cara ruku’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam,
لاَ يَصُبُّ رَأْسَهُ وَلاَ يُقْنِعُ مُعْتَدِلاً
“Ketika ruku’ Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak membuat kepalanya terlalu menunduk dan tidak terlalu mengangkat kepalanya (hingga lebih dari punggung), yang beliau lakukan adalah pertengahan.” (HR. Ibnu Majah no. 1061 dan Abu Daud no. 730. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dari Wabishoh bin Ma’bad, ia berkata,
رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يُصَلِّى فَكَانَ إِذَا رَكَعَ سَوَّى ظَهْرَهُ حَتَّى لَوْ صُبَّ عَلَيْهِ الْمَاءُ لاَسْتَقَرَّ
“Aku pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam shalat. Ketika ruku’, punggungnya rata sampai-sampai jika air dituangkan di atas punggungnya, air itu akan tetap diam.“(HR. Ibnu Majah no. 872. Juga diriwayatkan oleh Ath Thobroni dalam Al Kabir dan Ash Shoghir, begitu pula oleh ‘Abdullah bin Ahmad dalam Zawaid Al Musnad).
3. Kemudian saat ruku’ membaca “subhana robbiyal ‘azhim”, dibaca berulang kali.
Ketika ruku’ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam membaca,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ
“Subhanaa robbiyal ‘azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung).” (HR. Muslim no. 772).
Sedangkan anjuran tiga kali disebutkan dalam hadits Ibnu Mas’ud,
إِذَا رَكَعَ أَحَدُكُمْ فَقَالَ فِى رُكُوعِهِ سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ
“Jika salah seorang di antara kalian ruku’, maka ia mengucapkan ketika ruku’nya “Subhanaa robbiyal ‘azhim (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung)”, dibaca sebanyak tiga kali.” (HR. Tirmidzi no. 261, Abu Daud no. 886 dan Ibnu Majah no. 890. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini dho’if).
Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits dengan penyebutan membaca tiga kali seperti ini diriwayatkan oleh tujuh orang sahabat. Namun boleh-boleh saja membaca dzikir tersebut lebih dari tiga kali. (Lihat Shifat Shalat Nabi, hal. 115)
Begitu pula boleh membaca dengan “subhana robbiyal ‘azhimi wa bihamdih”. Dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir disebutkan mengenai bacaan Rasululah shallallahu ‘alaihi wa sallam saat ruku’,
سُبْحَانَ رَبِّىَ الْعَظِيمِ وَبِحَمْدِهِ
“Subhanaa robbiyal ‘azhimi wa bi hamdih (artinya: Maha Suci Rabbku Yang Maha Agung dan pujian untuk-Nya).” Ini dibaca tiga kali. (HR. Abu Daud no. 870. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa hadits ini shahih, begitu pula Syaikh Al Albani dalam Shifat Shalat Nabi, hal. 115. Kata Syaikh Al Albani hadits ini diriwayatkan pula oleh Ad Daruquthni, Ahmad, Ath Thobroni, dan Al Baihaqi).
4. Saat ruku’ dan sujud bisa pula membaca bacaan lainnya, “Subhanakallahumma robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii”.
Dari ‘Aisyah, ia berkata,
كَانَ النَّبِىُّ – صلى الله عليه وسلم – يُكْثِرُ أَنْ يَقُولَ فِى رُكُوعِهِ وَسُجُودِهِ « سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ رَبَّنَا وَبِحَمْدِكَ ، اللَّهُمَّ اغْفِرْ لِى » يَتَأَوَّلُ الْقُرْآنَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memperbanyak membaca ketika ruku’ dan sujud bacaan, “Subhanakallahumma robbanaa wa bihamdika, allahummaghfir-lii (artinya: Maha Suci Engkau Ya Allah, Rabb kami, pujian untuk-Mu, ampunilah aku)”. Beliau menerangkan maksud dari ayat Al Qur’an dengan bacaan tersebut.” (HR. Bukhari no. 817 dan Muslim no. 484).
Yang dimaksud dengan ayat Al Qur’an dalam hadits di atas diterangkan dalam hadits ‘Uqbah bin ‘Amir,
لَمَّا نَزَلَتْ (فَسَبِّحْ بِاسْمِ رَبِّكَ الْعَظِيمِ) قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « اجْعَلُوهَا فِى رُكُوعِكُمْ ». فَلَمَّا نَزَلَتْ (سَبِّحِ اسْمَ رَبِّكَ الأَعْلَى) قَالَ « اجْعَلُوهَا فِى سُجُودِكُمْ »
“Ketika turun ayat “fasabbih bismirobbikal ‘azhim”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berkata, “Jadikan bacaan tersebut pada ruku’ kalian.” Lalu ketika turun ayat “sabbihisma robbikal a’laa”, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam katakan, “Jadikanlah pada sujud kalian.” (HR. Abu Daud no. 869 dan Ibnu Majah no. 887. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih).
Bacaan ruku’ dan sujud lainnya yang bisa dibaca,
سُبُّوحٌ قُدُّوسٌ رَبُّ الْمَلاَئِكَةِ وَالرُّوحِ
“Subbuhun qudduus, robbul malaa-ikati war ruuh (artinya: Mahasuci, Maha Qudus, Rabbnya para malaikat dan ruh -yaitu Jibril-).” (HR. Muslim no. 487).
Bangkit dari Ruku' (i’tidal).
Kemudian setelah ruku mengangkat kepala, bangkit dari ruku’ sembari mengangkat kedua tangan.
Ketika bangkit sambil mengucapkan “sami’allahu liman hamidah”. Ini berlaku bagi imam dan orang yang shalat sendirian.
Sebagaimana dalam hadits Anas bin Malik disebutkan,
وَإِذَا رَفَعَ فَارْفَعُوا ، وَإِذَا قَالَ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ
“Jika imam bangkit dari ruku’, maka bangkitlah. Jika ia mengucapkan ‘sami’allahu liman hamidah (artinya: Allah mendengar pujian dari orang yang memuji-Nya) ‘, ucapkanlah ‘robbana wa lakal hamdu (artinya: Wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji)’.” (HR. Bukhari no. 689 dan Muslim no. 411)
~ Setiap orang mengucapkan “robbana wa lakal hamdu, hamdan katsiron thoyyiban mubarokan fiih, mil-assamaa-i, wa mil-al ardhi, wa mil-a maa syi’ta min syai-in ba’du”.
Ucapan robbana wa lakal hamdu, bisa dipilih dari empat bacaan:
1. Allahumma robbanaa lakal hamdu. (HR. Muslim no. 404)
2. Allahumma robbanaa wa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 795)
3. Robbanaa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 722 dan Muslim no. 477)
4. Robbanaa wa lakal hamdu. (HR. Bukhari no. 689 dan Muslim no. 411).
Bacaan yang lebih lengkap ketika i’tidal (bangkit dari ruku’),
اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ مِلْءَ السَّمَوَاتِ وَمِلْءَ الأَرْضِ وَمِلْءَ مَا شِئْتَ مِنْ شَىْءٍ بَعْدُ أَهْلَ الثَّنَاءِ وَالْمَجْدِ لاَ مَانِعَ لِمَا أَعْطَيْتَ وَلاَ مُعْطِىَ لِمَا مَنَعْتَ وَلاَ يَنْفَعُ ذَا الْجَدِّ مِنْكَ الْجَدُّ
“Allahumma rabbanaa lakal hamdu mil-assamawaati wa mil-al ardhi, wa mil-a maa syi’ta min syai-in ba’du, ahlats tsanaa-i wal majdi, laa maani’a limaa a’thoita, wa laa mu’thiya lima mana’ta, wa laa yanfa’u dzal jaddi minkal jaddu (artinya: Ya Allah, Rabb kami, bagi-Mu segala puji sepenuh langit dan sepenuh bumi, sepenuh apa yang Engkau kehendaki setelah itu. Wahai Tuhan yang layak dipuji dan diagungkan. Tidak ada yang dapat menghalangi apa yang Engkau berikan dan tidak ada pula yang dapat memberi apa yang Engkau halangi, tidak bermanfaat kekayaan bagi orang yang memiliinya, hanyalah dari-Mu kekayaan itu)” (HR. Muslim no. 471).
Keutamaan membaca rabbana wa lakal hamdu disebutkan dalam hadits Abu Hurairah,
إِذَا قَالَ الإِمَامُ سَمِعَ اللَّهُ لِمَنْ حَمِدَهُ . فَقُولُوا اللَّهُمَّ رَبَّنَا لَكَ الْحَمْدُ . فَإِنَّهُ مَنْ وَافَقَ قَوْلُهُ قَوْلَ الْمَلاَئِكَةِ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
“Jika imam mengucapkan sami’allahu liman hamidah, maka hendaklah kalian mengucapkan ‘rabbana wa lakal hamdu’. Karena siapa saja yang ucapannya tadi berbarengan dengan ucapan malaikat, maka dosanya yang telah lalu akan dihapus.” (HR. Bukhari no. 796 dan Muslim no. 409).
Begitu pula bagi yang mengucapkan,
رَبَّنَا وَلَكَ الْحَمْدُ ، حَمْدًا كَثِيرًا طَيِّبًا مُبَارَكًا فِيهِ
“Robbana walakal hamdu, hamdan katsiran thoyyiban mubaarakan fiih (artinya: wahai Rabb kami, bagi-Mu segala puji, aku memuji-Mu dengan pujian yang banyak, yang baik dan penuh dengan berkah).” Disebutkan dalam hadits Rifa’ah bin Rafi’, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengatakan bagi orang yang mengucapkan semacam itu,
رَأَيْتُ بِضْعَةً وَثَلاَثِينَ مَلَكًا يَبْتَدِرُونَهَا ، أَيُّهُمْ يَكْتُبُهَا أَوَّلُ
“Aku melihat ada 30-an malaikat, berlomba-lomba siapakah di antara mereka yang lebih duluan mencatat amalannya.” (HR. Bukhari no. 799)
Manakah yang lebih didahululan, lutut ataukah tangan saat turun sujud?
Pertama, yang mesti dipahami adalah kedua cara tersebut dibolehkan berdasarkan kesepakatan para ulama. Namun para ulama berselisih pendapat manakah yang lebih afdhol di antara keduanya.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata,
أما الصلاة بكليهما فجائزة بإتفاق العلماء إن شاء المصلى يضع ركبتيه قبل يديه وإن شاء وضع يديه ثم ركبتيه وصلاته صحيحة فى الحالتين بإتفاق العلماء ولكن تنازعوا فى الأفضل
“Adapun shalat dengan kedua cara tersebut maka diperbolehkan dengan kesepakatan ulama, kalau dia mau maka meletakkan kedua lutut sebelum kedua telapak tangan, dan kalau mau maka meletakkan kedua telapak tangan sebelum kedua lutur, dan shalatnya sah pada kedua keadaan tersebut dengan kesepakatan para ulama. Hanya saja mereka berselisih pendapat tentang yang afdhal.” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 449).
Kedua, yang paling afdhol adalah dilihat dari kondisi orang masing-masing, tidak katakan yang paling afdhol adalah tangan dulu ataukah lutut dahulu. Karena hadits yang membicarakannya hanyalah mengatakan,
إِذَا سَجَدَ أَحَدُكُمْ فَلاَ يَبْرُكْ كَمَا يَبْرُكُ الْبَعِيرُ
“Janganlah salah satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika hendak menderum.” (HR. Abu Daud no. 840 dan An Nasai no. 1092. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan).
Namun ada tambahan,
وَلْيَضَعْ يَدَيْهِ قَبْلَ رُكْبَتَيْهِ
“Hendaknya dia letakkan tangannya sebelum lututnya.”
Versi lain mengatakan,
وَلْيَضَعْ رُكْبَتَيْهِ قَبْلَ يَدَيْهِ
“Hendaknya dia letakkan dua lututnya sebelum dua tangannya.”
Para ulama berselisih pendapat manakah riwayat tambahan ini yang shahih.
Pendapat yang tepat, kedua versi tambahan tersebut adalah riwayat yang goncang, tidak ada satu pun yang sahih. Keduanya idhtirob (goncang) [lemah]. Sehingga riwayat yang valid hanyalah bagian awal hadits yang berbunyi, “Janganlah salah satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika hendak menderum”.
Sehingga zhahir hadits menunjukkan bahwa orang yang sedang mengerjakan shalat dilarang turun sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika mau menderum. Turunnya unta untuk menderum itu memiliki bentuk yang khas, bentuk khas ini bisa terjadi baik kita turun dengan mendahulukan tangan dari pada lutut ataupun kita mendahulukan lutut dari pada tangan. Sehingga makna sabda Nabi, “janganlah salah satu kalian turun untuk sujud sebagaimana bentuk turunnya unta ketika hendak menderum” adalah ketika hendak sujud hendaknya kepala tidak dibuat merunduk sampai ke lantai semisal unta ketika hendak turun sedangkan punggung masih dalam posisi di atas. Inilah bentuk turunnya unta untuk menderum dan bentuk semacam ini berdampak negatif bagi orang yang mengerjakan shalat.
Ringkasnya, terdapat diskusi yang panjang tentang perselisihan ini di kalangan ulama. Pendapat yang paling baik, manakah yang mesti didahulukan apakah tangan ataukah lutut, ini menimbang pada kondisi masing-masing orang. Mana yang lebih mudah baginya, itulah yang ia lakukan. Ada orang yang berat badannya, ada orang yang ringan. Intinya, tidak ada hadits shahih yang marfu’ -sampai pada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang membicarakan hal tadi. (Lihat Shifat Shalat Nabi karya guru kami, Syaikh Abdul ‘Aziz Ath Thorifi, hal. 129).
Simak video berikut :
1. Tata Tara Ruku'
2. Bacaan Ruku'
3. Kesalahan membaca bacaan rukuk'
Baca : "Panduan Shalat Sesuai Sunnah" lainnya [KLIK DISINI]
Komentar
Posting Komentar