Panduan shalat sesuai sunnah : (1) Tatacara Wudhu'

Panduan shalat sesuai sunnah

(1) Tatacara Wudhu'

Diantara syarat sahnya shalat adalah berwudhu. Tidak sah shalat seseorang apabila belum berwudhu

Dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma, beliau berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةٌ بِغَيْرِ طُهُورٍ وَلاَ صَدَقَةٌ مِنْ غُلُولٍ

“Tidak ada shalat kecuali dengan thaharah. Tidak ada sedekah dari hasil pengkhianatan.” [HR. Muslim no. 224].

An Nawawi–rahimahullah- mengatakan, “Hadits ini adalah nash [Nash adalah dalil tegas yang tidak mengandung kemungkinan makna kecuali itu saja] mengenai wajibnya thaharah untuk shalat. Kaum muslimin telah bersepakat bahwa thoharoh merupakan syarat sah shalat.” [Syarh Muslim, An Nawawi, 3/102, Dar Ihya’ At Turats Al ‘Arabi, Beirut].

Abu Hurairah mengatakan bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ تُقْبَلُ صَلاَةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

“Shalat salah seorang di antara kalian tidak akan diterima -ketika masih berhadats- sampai dia berwudhu.“ [HR. Bukhari no. 6954 dan Muslim no. 225]

Risalah berikut akan menerangkan bagaimana tata cara wudhu sesuai petunjuk Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Dalam hadits berikut disebutkan :

حُمْرَانَ مَوْلَى عُثْمَانَ أَخْبَرَهُ أَنَّ عُثْمَانَ بْنَ عَفَّانَ – رضى الله عنه – دَعَا بِوَضُوءٍ فَتَوَضَّأَ فَغَسَلَ كَفَّيْهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ مَضْمَضَ وَاسْتَنْثَرَ ثُمَّ غَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْمِرْفَقِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ يَدَهُ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ مَسَحَ رَأْسَهُ ثُمَّ غَسَلَ رِجْلَهُ الْيُمْنَى إِلَى الْكَعْبَيْنِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ ثُمَّ غَسَلَ الْيُسْرَى مِثْلَ ذَلِكَ ثُمَّ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « مَنْ تَوَضَّأَ نَحْوَ وُضُوئِى هَذَا ثُمَّ قَامَ فَرَكَعَ رَكْعَتَيْنِ لاَ يُحَدِّثُ فِيهِمَا نَفْسَهُ غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ ». قَالَ ابْنُ شِهَابٍ وَكَانَ عُلَمَاؤُنَا يَقُولُونَ هَذَا الْوُضُوءُ أَسْبَغُ مَا يَتَوَضَّأُ بِهِ أَحَدٌ لِلصَّلاَةِ.

Humran pembantu Utsman menceritakan bahwa Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu pernah meminta air untuk wudhu kemudian dia ingin berwudhu. Beliau membasuh kedua telapak tangannya 3 kali, kemudian berkumur-kumur diiringi memasukkan air ke hidung, kemudian membasuh mukanya 3 kali, kemudian membasuh tangan kanan sampai ke siku tiga kali, kemudian mencuci tangan yang kiri seperti itu juga, kemudian mengusap kepala, kemudian membasuh kaki kanan sampai mata kaki tiga kali, kemudian kaki yang kiri seperti itu juga. Kemudian Utsman berkata, “Aku melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah berwudhu seperti wudhuku ini, kemudian beliau bersabda, “Barangsiapa berwudhu seperti wudhuku ini kemudian dia shalat dua rakaat dengan khusyuk (tidak memikirkan urusan dunia dan yang tidak punya kaitan dengan shalat [Lihat maksud hadits “laa yuhadditsu bihi nafsuhu” Syarh An Nawawi ‘ala Muslim, 3/108 dan Syarh Sunan Abi Daud, Syaikh Abdul Muhsin Al Abbad Al Badr, 1/371, Asy Syamilah]) maka Allah akan mengampuni dosa-dosanya yang telah lalu”. Ibnu Syihab berkata, “Ulama kita mengatakan bahwa wudhu seperti ini adalah contoh wudhu yang paling sempurna yang dilakukan seorang hamba untuk shalat” HR. Bukhari dan Muslim]

Berikut lebih terperinci :

Pertama:

Jika seorang muslim hendak berwudhu, terlebih dahulu ia berniat dalam hatinya.

Kedua:

Mengucapkan ‘bismillah’ karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

لاَ وُضُوءَ لِمَنْ لَمْ يَذْكُرِ اسْمَ اللَّهِ عَلَيْهِ

“Tidak ada wudhu bagi yang tidak menyebut nama Allah”.[HR. Abu Daud no. 102, Tirmidzi no. 5, Ibnu Majah no. 397, dan Ahmad 3: 41] Namun jika lupa, maka tidak ada kewajiban apa-apa.

Ketiga:

Mencuci kedua tangan sebanyak tiga kali sebelum memulai wudhu.

Keempat:

Berkumur-kumur lalu mengeluarkannya dan dilanjutkan dengan memasukkan (menghirup air dalam hidung (istinsyaq). Lalu mengeluarkan air dari hidung (istintsar). Hendaklah sungguh-sungguh menghirup air ke dalam hidung kecuali jika dalam keadaan berpuasa.

Catatan: Berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung dilakukan melalui satu cidukan, tidak mengambil air untuk mulut sendiri dan hidung sendiri. Demikianlah praktek Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam.

Kelima:

Mencuci wajah. Batasan wajah adalah tempat tumbuhnya rambut kepala hingga dau dan dari telinga hingga telinga. Begitu pula rambut yang ada pada wajah, tetap dicuci meskipun tidak lebat, termasuk pula menyela-nyela jenggot.

Keenam:

Mencuci kedua tangan hingga siku, karena Allah Ta’ala berfirman,

وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ

“Dan basuhlah tanganmu sampai dengan siku” (QS. Al Maidah: 6).

Ketujuh:

Mengusap kepala disertai telinga sekali. Mengusap kepala dimulai dari depan, kemudian diusap ke belakang sampai ke tengkuk, lalu dibalikkan ke depan. Kemudian dilanjutkan dengan mengusap kedua telinga dengan air yang tersisa dari mengusap kepala.

Kedelapan:

Mencuci kedua kaki disertai mata kaki. Allah Ta’ala berfirman,

وَأَرْجُلَكُمْ إِلَى الْكَعْبَيْنِ

“Dan (basuh) kakimu sampai dengan kedua mata kaki.” (QS. Al Maidah: 6)

Berikut lebih terperinci yang wajib diperhatikan dalam berwudhu :

Niat Cukup dalam Hati

Yang dimaksud niat adalah al qosd (keinginan) dan al iradah (kehendak). [Lihat Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, 22/242, Darul Wafa’, cetakan ketiga, 1426 H] Sedangkan yang namanya keinginan dan kehendak pastilah dalam hati, sehingga niat pun letaknya dalam hati.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah –rahimahullah– mengatakan, “Letak niat adalah di hati bukan di lisan. Hal ini berdasarkan kesepakatan para ulama kaum muslimin dalam segala macam ibadah termasuk shalat, thaharah, zakat, haji, puasa, memerdekakan budak, jihad dan lainnya.” [Al Fatawa Al Kubra, Ibnu Taimiyah, 2/87, Darul Ma’rifah Beirut, cetakan pertama, 1386].

Ibnul Qayim –rahimahullah– mengatakan, “Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam –di awal wudhu– tidak pernah mengucapkan “nawaitu raf’al hadatsi (aku berniat untuk menghilangkan hadats …)”. Beliau pun tidak menganjurkannya. Begitu pula tidak ada seorang sahabat pun yang mengajarkannya. Tidak pula terdapat satu riwayat –baik dengan sanad yang shahih maupun dha’if (lemah)- yang menyebutkan bahwa beliau mengucapkan bacaan tadi.” [Zaadul Ma’ad fii Hadyi Khoiril ‘Ibad, Ibnu Qayyim Al Jauziyah, 1/196, Tahqiq: Syu’aib Al Arnauth dan ‘Abudl Qodir Al Arnauth, Muassasah Ar Risalah, cetakan ke-17, tahun 1415 H].

Berkumur-kumur dan Memasukkan Air dalam Hidung Dilakukan Sekaligus Melalui Satu Cidukan Tangan

Ibnul  Qayyim menyebutkan,
“Ketika berkumur-kumur dan memasukkan air dalam hidung (istinsyaq), terkadang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menggunakan satu cidukan tangan, terkadang dengan dua kali cidukan dan terkadang pula dengan tiga kali cidukan. Namun beliau menyambungkan (tidak memisah) antara kumur-kumur dan istinsyaq. Beliau menggunakan separuh cidukan tangan untuk mulut dan separuhnya lagi untuk hidung. Ketika suatu saat beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dengan satu cidukan maka kemungkinan cuma dilakukan seperti ini yaitu kumur-kumur dan istinsyaq disambung (bukan dipisah).

Adapun ketika beliau berkumur-kumur dan istinsyaq dengan dua atau tiga cidukan, maka di sini baru kemungkinan berkumur-kumur dan beristinsyaq bisa dipisah. Akan tetapi, yang Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam contohkan adalah memisahkan antara berkumur-kumur dan istinsyaq. Sebagaimana disebutkan dalam shahihain [Bukhari dan Muslim, sebagaimana dikatakan oleh pentahqiq Zaadul Ma’ad] dari ‘Abdullah bin Zaid bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tamadh-madha (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung) melalui air satu telapak tangan dan seperti ini dilakukan tiga kali. Dalam lafazh yang lain disebutkan bahwa  tamadh-madha (berkumur-kumur) dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung) melalui tiga kali cidukan. Inilah riwayat yang lebih shahih dalam masalah kumur-kumur dan istinsyaq (memasukkan air dalam hidung).

Tidak ada satu hadits shahih pun yang menyatakan bahwa kumur-kumur dan istinsyaq dipisah. Kecuali ada riwayat dari Thalhah bin Musharrif dari ayahnya dari kakeknya yang mengatakan bahwa dia melihat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam memisah antara kumur-kumur dan istinsyaq [Dikeluarkan oleh Abu Daud. Namun terdapat seorang periwayat yang dho’if dan Mushorrif –ayah Tholhah- itu majhul. Lihat catatan kaki Zaadul Ma’ad, hal. 192]. Dan riwayat tersebut hanyalah berasal dari Thalhah dari ayahnya, dari kakeknya. Padahal kakekanya tidak dikenal sebagai seorang sahabat.” [Zaadul Ma’ad, 1/192-193].

Membasuh Kepala Cukup Sekali

Ibnul Qayyim menjelaskan,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa membasuh kepalanya seluruh dan terkadang beliau membasuh ke depan kemudian ke belakang. Sehingga dari sini sebagian orang mengatakan bahwa membasuh kepala itu dua kali. Akan tetapi yang tepat adalah membasuh kepala cukup sekali (tanpa diulang). Untuk anggota wudhu lain biasa diulang. Namun untuk kepala, cukup dibasuh sekali. Inilah pendapat yang lebih tegas dan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berbeda dengan cara ini.

Adapun hadits yang membicarakan beliau membasuh kepala lebih dari sekali, terkadang haditsnya shahih, namun tidak tegas. Seperti perkataan sahabat yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan mengusap tiga kali tiga kali. Seperti pula perkataan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh kepala dua kali. Terkadang pula haditsnya tegas, namun tidak shahih. Seperti hadits Ibnu Al Bailamani dari ayahnya dari ‘Umar bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengusap tangannya tiga kali dan membasuh kepala juga tiga kali. Namun perlu diketahui bahwa Ibnu Al Bailamani dan ayahnya adalah periwayat yang lemah.” [Zaadul Ma’ad, 1/193].

Kepala Sekaligus Diusap dengan Telinga

Telinga hendaknya diusap berbarengan setelah kepala karena telinga adalah bagian dari kepala. Sebagaimana Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

الأُذُنَانِ مِنَ الرَّأْسِ

“Dua telinga adalah bagian dari kepala.” [HR. Abu Daud no. 134, At Tirmidzi no. 37, Ibnu Majah no. 443, dan Ahmad (5/264)] Hadits ini adalah hadits yang lemah jika marfu’ (dianggap ucapan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam). Akan tetapi hadits di atas dikatakan oleh beberapa ulama salaf di antaranya adalah Ibnu ‘Umar. [Lihat Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 1/118, Al Maktabah At Taufiqiyah].

Ash Shan’ani menjelaskan,
”Walaupun sanad hadits ini dikritik, akan tetapi ada berbagai riwayat yang menguatkan satu sama lain. Sebagai penguat hadits tersebut adalah hadits yang mengatakan bahwa membasuh dua telinga adalah sekaligus dengan kepala sebanyak sekali. Hadits yang menyebutkan seperti ini amatlah banyak, ada dari ‘Ali, Ibnu ‘Abbas, Ar Rabi’ dan ‘Utsman. Semua hadits tersebut bersepakat bahwa membasuh kedua telinga sekaligus bersama kepala dengan melalui satu cidukan air, sebagaimana hal ini adalah makna zhahir (tekstual) dari kata marrah (yang artinya: sekali). Jika untuk membasuh kedua telinga digunakan air yang baru, tentu tidak dikatakan, “Membasuh kepala dan telinga sekali saja”. Jika ada yang memaksudkan bahwa beliau tidaklah mengulangi membasuh kepala dan telinga, akan tetapi yang dimaksudkan adalah mengambil air yang baru, maka ini pemahaman yang jelas keliru.

Adapun riwayat yang menyatakan bahwa air yang digunakan untuk membasuh kedua telinga berbeda dengan kepala, itu bisa dipahami kalau air yang ada di tangan ketika membasuh kepala sudah kering, sehingga untuk membasuh telinga digunakan air yang baru.” [Subulus Salam, Ash Shon’ani, 1/136-137, Mawqi’ Al Islam].

Seluruh Kepala Dibasuh, Bukan Hanya Ubun-Ubun Saja

Allah Ta’ala berfirman,

وَامْسَحُوا بِرُءُوسِكُمْ

“Dan basuhlah kepala kalian.” (QS. Al Maidah: 6)

Fungsi huruf baa’ dalam ayat di atas adalah lil ilsaq artinya melekatkan dan bukan li tab’idh (menyebutkan sebagian). Maknanya sama dengan membasuh wajah ketika tayamum, sebagaimana dalam ayat,

فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ

“Dan basuhlah wajah kalian.” (QS. Al Maidah: 6). Dua dalil di atas masih berada dalam konteks ayat yang sama. Mengusap wajah pada tayamum bukan hanya sebagian (namun seluruhnya) sehingga yang dimaksudkan dengan mengusap kepala adalah mengusap seluruh kepala.

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan,
“Apabila ayat yang membicarakan tentang tayamum tidak mengatakan bahwa mash (membasuh) wajah hanya sebagian padahal tayamum adalah pengganti wudhu dan tayamum jarang-jarang dilakukan, bagaimana bisa ayat wudhu yang menjelaskan mash (membasuh) kepala cuma dikatakan sebagian saja yang dibasuh padahal wudhu sendiri adalah hukum asal dalam berthaharah dan sering berulang-ulang dilakukan?! Tentu yang mengiyakan hal ini tidak dikatakan oleh orang yang berakal.” [Majmu’ Al Fatawa, 21/123].

Begitu pula terdapat dalam hadits lain dijelaskan bahwa membasuh kepala adalah seluruhnya dan bukan sebagian. Dalilnya,

عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ زَيْدٍ قَالَ أَتَى رَسُولُ اللَّهِ – صلى الله عليه وسلم – فَأَخْرَجْنَا لَهُ مَاءً فِى تَوْرٍ مِنْ صُفْرٍ فَتَوَضَّأَ ، فَغَسَلَ وَجْهَهُ ثَلاَثًا وَيَدَيْهِ مَرَّتَيْنِ مَرَّتَيْنِ ، وَمَسَحَ بِرَأْسِهِ فَأَقْبَلَ بِهِ وَأَدْبَرَ ، وَغَسَلَ رِجْلَيْهِ

Dari ‘Abdullah bin Zaid, ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam datang, lalu kami mengeluarkan untuknya air dalam bejana dari kuningan, kemudian akhirnya beliau berwudhu. Beliau mengusap wajahnya tiga kali, mengusap tangannya dua kali dan membasuh kepalanya, dia menarik ke depan kemudian ditarik ke belakang, kemudian terakhir beliau mengusap kedua kakinya. [HR. Bukhari no. 197].

Dalam riwayat lain dikatakan,

وَمَسَحَ رَأْسَهُ كُلَّهُ

“Beliau membasuh seluruh kepalanya.” [HR. Ibnu Khuzaimah (1/81). Al A’zhomi mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih].

Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menjelaskan, “Tidak ada satu pun sahabat yang menceritakan tata cara wudhu Nabi yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam hanya mencukupkan dengan membasuh sebagian kepala saja.” [Majmu’ Al Fatawa, 21/122] Namun ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam membasuh ubun-ubun, beliau juga sekaligus membasuh imamahnya. [Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 1/118, Al Maktabah At Taufiqiyah].

Sedangkan untuk wanita muslimah tata cara membasuh kepala tidak dibedakan dengan pria. Akan tetapi, boleh bagi wanita untuk membasuh khimarnya saja. Akan tetapi, jika ia membasuh bagian depan kepalanya disertai dengan khimarnya, maka itu lebih bagus agar terlepas dari perselisihan para ulama. Wallahu Ta'ala a’lam. [Shahih Fiqh Sunnah, Abu Malik, 1/118, Al Maktabah At Taufiqiyah].

Selanjutnya membaca do’a setelah berwudhu

Dari ‘Umar bin Al-Khaththab radhiyallahu ‘anhu; ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

مَنْ تَوَضَّأَ فَأَحْسَنَ الْوُضُوءَ ثُمَّ قَالَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ اللَّهُمَّ اجْعَلْنِى مِنَ التَّوَّابِينَ وَاجْعَلْنِى مِنَ الْمُتَطَهِّرِينَ فُتِحَتْ لَهُ ثَمَانِيَةُ أَبْوَابِ الْجَنَّةِ يَدْخُلُ مِنْ أَيِّهَا شَاءَ »

“Siapa yang berwudhu dengan memperbagus wudhunya lalu ia mengucapkan ‘ASY-HADU ALLA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKALAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA ROSULUH, ALLAHUMMAJ’ALNII MINATTAWWAABIINA WAJ’ALNII MINAL MUTATHAHHIRIIN’ (artinya: Aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku hamba yang bertaubat dan jadikanlah aku sebagai orang yang bersuci), dengan ia membacanya melainkan akan dibukakan baginya delapan pintu surga, ia akan masuk lewat pintu mana saja yang ia mau.” (HR. Tirmidzi, no. 55. Syaikh Al-Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih)

Ada juga doa yang diajarkan dibaca bada wudhu,

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

“SUBHANAKALLAHUMMA WA BIHAMDIKA, ASY-HADU ALLA ILAAHA ILLA ANTA, ASTAGH-FIRUKA WA ATUUBU ILAIK (artinya: Mahasuci Engkau Ya Allah dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau, aku memohon ampunan kepada-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu).” (HR. An-Nasai dalam ‘Amal Al-Yaum wa Al-Lailah, hlm. 173 dan lihat Irwa’ Al-Ghalil, 1:135)

Bacaan doa setelah berwudhu secara lengkap,

أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ اللهُ وَحْدَهُ لاَ شَرِيْكَ لَهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُوْلُهُ

اَللَّهُمَّ اجْعَلْنِيْ مِنَ التَّوَّابِيْنَ وَاجْعَلْنِيْ مِنَ الْمُتَطَهِّرِيْنَ

سُبْحَانَكَ اللَّهُمَّ وَبِحَمْدِكَ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَـهَ إِلاَّ أَنْتَ، أَسْتَغْفِرُكَ وَأَتُوْبُ إِلَيْكَ

ASY-HADU ALLA ILAAHA ILLALLAH WAHDAHU LAA SYARIKALAH WA ASYHADU ANNA MUHAMMADAN ‘ABDUHU WA RASULUH, ALLAHUMMAJ’ALNII MINATTAWWAABIINA WAJ’ALNII MINAL MUTATHAHHIRIIN.

SUBHANAKALLAHUMMA WA BIHAMDIKA, ASY-HADU ALLA ILAAHA ILLA ANTA, ASTAGH-FIRUKA WA ATUUBU ILAIK.

Artinya: Aku bersaksi bahwasanya tiada sesembahan yang benar kecuali Allah semata, tidak ada sekutu bagi-Nya, dan aku bersaksi bahwasanya Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Ya Allah, jadikanlah aku hamba yang bertaubat dan jadikanlah aku sebagai orang yang bersuci.

Mahasuci Engkau Ya Allah dengan memuji-Mu, aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah selain Engkau, aku memohon ampunan kepada-Mu dan aku bertaubat kepada-Mu.

Sunnah-Sunnah Wudhu :

1. Bersiwak.

2. Mencuci tangan tiga kali di awal wudhu.

3. Berkumur-kumur tiga kali.

4. Memasukkan air dalam hidung (istinsyaq) dan mengeluarkannya (istintsar) tiga kali.

5. Memasukkan air dalam hidung dengan tangan kanan dan mengeluarkannya dengan tangan kiri.

6. Menyela-nyela jenggot.

7. Menyela-nyela jari jemari.

8. Mencuci atau membasuh anggota wudhu sebanyak tiga kali-tiga kali, kecuali ketika mengusap kepala dilanjutkan telinga cukup sekali sebagaimana terdapat dalam banyak riwayat yang menerangkan hal ini.

9. Memulai mencuci yang kanan kemudian yang kiri.

10. Menggosok-gosok anggota wudhu.

11. Mengusap setiap anggota wudhu secara muwalah, tidak ada selang waktu yang lama.

12. Mengusap telinga dengan cara jari telunjuk mengusap bagian dalam dan jari jempol mengusap bagian luarnya.

13. Hemat dan sederhana dalam menggunakan air.

14. Berdo’a setelah wudhu. Dan perlu diingat bahwa tidak ada do’a khusus yang dibaca ketika membasuh setiap anggota wudhu.

15. Melaksanakan shalat dua raka’at setelah wudhu.


Berdoa setelah wudhu' tak perlu mengangkat tangan :


Jangan Berlebihan Dalam Menggunakan Air Ketika Berwudhu

Segala puji bagi Allah Tabarakallah wa Ta'ala, Rabb yang berhak disembah. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan para sahabat beliau

Sebelum shalat kita diperintahkan berwudhu, disisi lain kita juga di perintahkan agar menghemat air, inilah yang sering kita abaikan, bahkan sudah dianggap hal biasa terjadi ketika berwudhu membuka kran air secara besar.

Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, beliau mengatakan,

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَتَوَضَّأُ بِالْمُدِّ، وَيَغْتَسِلُ بِالصَّاعِ، إِلَى خَمْسَةِ أَمْدَادٍ

“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berwudhu dengan satu mud (air) dan mandi dengan satu sha’ sampai lima mud (air)” (HR. Bukhari no. 198 dan Muslim no. 325).

Satu sha’ sama dengan empat mud. Satu mud kurang lebih setengah liter atau kurang lebih (seukuran) memenuhi dua telapak tangan orang dewasa. [Lihat Shahih Fiqh Sunnah 1/126 dan Shifat Wudhu Nabi, hal. 37]

Dalam hadits lainnya, dari hadits Abdillah bin ‘Amr, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah melewati Sa’ad yang sedang berwudhu. Lalu beliau mengatakan padanya, mengapa berlebihan seperti ini wahai Sa’ad?" Sa’ad menjawab apakah dalam wudhu juga ada berlebihan?, maka Rasulullah menjawab: Ya, bahkan meskipun kamu berada di sungai yang mengalir" (HR. Ahmad (7065) dan Ibnu Majah (425) dengan Sanad Shahih).

Berlebihan menggunakan air ketika berwudhu termasuk juga berlebihan dalam bersuci. Yang dalam hadits disebutkan dari Abdullah bin Mughaffal Radhiyallahu ‘anhu, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّهُ سَيَكُونُ فِي هَذِهِ الْأُمَّةِ قَوْمٌ يَعْتَدُونَ فِي الطَّهُورِ وَالدُّعَاءِ

“Akan muncul dari umatku sekelompok kaum yang berlebihan dalam bersuci dan berdoa.” (HR. Ahmad 20554, Abu Daud 96, Ibnu Majah 3864, Syuaib Al-Arnauth menilai hadis ini hasan).

Dalam Fatawa Syabakah Islamiyah dinyatakan,

وأما الاعتداء في الوضوء فمعناه تجاوز الحد فيه بأن يسرف في استعمال الماء أو يزيد في عدد الغسل عن الثلاث، قال العيني في شرح أبي داود: وأما الاعتداء في الطهور أن يسرف في الماء، بأن يكثر صبه أو يزيد في الأعداد. انتهى.

Makna berlebihan dalam berwudhu adalah melampaui batas ketika berwudhu, dengan bersikap boros dalam menggunakan air atau mencuci lebih dari 3 kali. Al-Hafidz al-Aini mengatakan dalam Syarh Abu Daud,

‘Bentuk melampaui batas dalam bersuci adalah terlalu boros menggunakan air, misalnya banyak mengguyurkan air ke anggota wudhu atau mencuci anggota wudhu lebih dari bilangan (3 kali).’ (Fatawa Syabakah Islamiyah, no. 166197)

Semoga kita semua senantiasa selalu memperhatikan hal terkecil ketika melakukan amalan dalam syariat yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam. 

Alhamdulillahilladzi bi ni’matihi tatimmush shalihaat. Wa shallallahu ‘ala nabiyyina Muhammad wa ‘ala alihi wa shahbihi  wa sallam.

Baca : "Panduan Shalat Sesuai Sunnah" lainnya [KLIK DISINI]

Barakallahu fiikum.

Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?