INILAH PENDAPAT IMAM SYAFI’I rohimahulloh DAN ULAMA MADZHAB SYAFI’I TERKAIT PERMASALAHAN MENGERASKAN DZIKIR SETELAH SHOLAT
INILAH PENDAPAT IMAM SYAFI’I rahimahulloh DAN ULAMA MADZHAB SYAFI’I TERKAIT PERMASALAHAN MENGERASKAN DZIKIR SETELAH SHALAT
Sebelumnya ana awali dengan mengutipkan ayat Qur’an berikut :
وَاذْكُرْ رَبَّكَ فِي نَفْسِكَ تَضَرُّعًا وَخِيفَةً وَدُونَ الْجَهْرِ مِنَ الْقَوْلِ بِالْغُدُوِّ وَالْآصَالِ
"Dan BERDZIKIRLAH DENGAN MENYEBUT TUHANMU dalam hatimu dengan rendah hati dan rasa takut, dan dengan TIDAK MENGERASKAN SUARA, pada waktu PAGI maupun PETANG ". (QS. Al-A'raf: 205)
Berkata IMAM SYAFI’I rahimahullah:
وَأَخْتَارُ لِلْإِمَامِ وَالْمَأْمُومِ أَنْ يَذْكُرَا اللَّهَ بَعْدَ الِانْصِرَافِ مِنْ الصَّلَاةِ وَيُخْفِيَانِ الذِّكْرَ إلَّا أَنْ يَكُونَ إمَامًا يَجِبُ أَنْ يُتَعَلَّمَ مِنْهُ فَيَجْهَرَ حَتَّى يَرَى أَنَّهُ قَدْ تُعُلِّمَ مِنْهُ، ثُمَّ يُسِرُّ فَإِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ يَقُولُ: وَلا تَجْهَرْ بِصَلاتِكَ وَلا تُخَافِتْ بِهَا الإسراء: 110 يَعْنِي وَاَللَّهُ تَعَالَى أَعْلَمُ الدُّعَاءَ وَلَا تَجْهَرْ تَرْفَعْ وَلَا تُخَافِتْ حَتَّى لَا تُسْمِعَ نَفْسَك
“Pendapat yang AKU PILIH, BAIK BAGI IMAM MAUPUN MA’MUM setelah SELESAI DARI SHALAT, adalah hendaklah BERDZIKIR Allah, mereka SEMUANYA DENGAN SUARA LIRIH (TIDAK DIKERASKAN, dan hal DIKECUALIKAN HANYA BAGI IMAM YANG (SEMENTARA WAKTU) MENGAJARKAN (PARA MA’MUMNYA YANG BELUM HAFAL DZIKIR SETELAH SHALAT -pent). Maka dalam kondisi seperti itu sang imam (BOLEH) mengeraskan bacaan dzikirnya.
Tetapi bila sang imam merasa telah cukup mengajarkan kepada makmumnya (yakni dirasa para ma’mumnya telah hafal dzikir yang biasa dibaca setelah sholat -pent), maka SANG IMAM HENDAKLAH KEMBALI MELIRIHKAN BACAAN DZIKIRNYA TERSEBUT !
Karena Allah Azza wa Jalla berfirman: "Dan JANGANLAH KAMU MENGERASKAN SUARAMU DALAM ‘SHALAT’MU, DAN JANGAN PULA TERLALU MERENDAHKANNYA’. (QS. Al-Isra': 110).
Maksud ‘SHALAT’ pada ayat tersebut adalah -Wallahu Ta’ala A’lam- adalah ‘DO’A/DZIKIR, yakni JANGAN KAMU BERDO’A DENGAN MENGERASKAN dan MENGANGKAT SUARA, dan JANGAN PULA TERLALU LIRIH, SAMPAI-SAMPAI ENGKAU SENDIRI TIDAK MENDENGARNYA ( tidak mendengar do’a yang diapanjatkannya sendiri -pent)
*Al Umm [I:150])
Perkataan Imam Syafi’i rahimahullah yang MENAFSIRKAN SHALAT pada ayat di atas dengan DO’A/DZIKIR, diperkuat dengan hadits berikut:
عَنْ عَائِشَةَ (وَلاَ تَجْهَرْ بِصَلاَتِكَ وَلاَ تُخَافِتْ بِهَا) أُنْزِلَتْ فِى الدُّعَاءِ
Dari ‘Aisyah radhiallahu ‘anha, terkait firman Allah (QS. Al-Isra’: 110 yang dibawakan oleh Imam Syafi’i rahimahullah di atas -pent):
"Dan janganlah kamu mengeraskan suaramu dalam shalatmu dan jangan pula terlalu merendahkannya”, (maka Aisyah rodhialloohu ‘anha berkata): ‘Ayat ini turun terkait dengan masalah DO’A".
[HSR. Bukhari no.6327]
Sementara IMAM NAWAWI rahimahullah -sebagai salah satu pembesar Madzhab Syafi’i-, saat mengomentari perkataan Imam Syafi’i rahimahullah di atas, beliau mempertegasnya dengan berkata,
وَهَكَذَا قَالَ أَصْحَابُنَا إنَّ الذِّكْرَ وَالدُّعَاءَ بَعْدَ الصَّلَاةِ يُسْتَحَبُّ أَنْ يُسَرَّ بِهِمَا إلَّا أَنْ يَكُونَ إمَامًا يُرِيدُ تَعْلِيمَ النَّاسِ فَيَجْهَرَ لِيَتَعَلَّمُوا فَإِذَا تَعَلَّمُوا وَكَانُوا عَالِمِينَ أَسَرَّهُ
"Demikian pendapat TEMAN-TEMAN KAMI (DARI KALANGAN MADZHAB SYAFI’I), bahwa DZIKIR DAN DO’A SETELAH SALAM (DARI SHALAT) HENDAKLAH DIBACA DENGAN SUARA LIRIH, kecuali ia seorang Imam shalat yang hendak mengajarkan kepada orang-orang, maka ia mengeraskan suaranya untuk mengajari mereka. jika mereka sudah belajar dan sudah bisa, maka SANG IMAM KEMBALI MELIRIHKANNYA.
*Al Majmu’ Syarah al Muhadzab [III:487])
Kemudian Imam Nawawi rahimahullah memperkuatnya dengan membawakan hadits yang isinya di saat para Shahabat Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengucap dzikir tahlil dan takbir saat naik ke bukit dengan mengeraskan suara, maka segera Nabi shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda:
يَا أَيُّهَا النَّاسُ ارْبَعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا إنَّهُ مَعَكُمْ سَمِيعٌ قَرِيبٌ
"Wahai manusia kasihanilah diri kalian, kalian tidak TIDAK SEDANG BERDO’A KEPADA DZAT YANG TULI DAN GHAIB, (bahkan) Dia bersama kalian, MAHA MENDENGAR LAGI MAHA DEKAT ! ".
*HSR. Bukhari no.2992 dan Muslim no.2704]
Atas dasar ini dapat diketahui bahwa HUKUM ASAL SEMUA JENIS DZIKIR ITU ADALAH TIDAK DIKERASKAN, kecuali ditempat-tempat yang memang dikecualikan oleh nash yang shahih.
Karena itu termasuk DIBENCI MENGERASKAN DZIKIR SETELAH SHALAT bukan saja merupakan pendapat Imam Syaf’i rahimahullah dan madzhabnya, tetapi ini juga pendapat dari:
- Madzhab Maliki (al Madkhol [II:276];
- Sebagian Ulama Madzhab Hanafi (Hasyiah Ibnu ‘Abidin [I:666];
- Bahkan ini juga pendapat mayoritas Ulama, sebagaimana dikatakan oleh Ibnu Rajab al Hanbali rahimahullah dalam Fathul Bari-nya [V:235],
- Serta dikukuhkan juga kuatnya pendapat ini oleh Syaikh Al Albani rahimahullah dalam Silsilah al Huda wan Nuur, pada kaset ke: 428.
SEBUAH KEANEHAN YANG NYATA !
Dalam hal ini pendapat Imam Syafi’i rahimahullah sangat jelas kebenarannya dan didukung mayoritas Ulama.
Tapi anehnya kok mereka yang mengaku bermadzhab Syaf’i kebanyakan tidak mengikuti ini !
Biasanya mereka paling ngotot mendakwakan dirinya bermadzhab Syafi’i.
Lebih aneh lagi saat mereka menganggap yang dzikir habis shalatnya tak mau pakai suara keras itu adalah WAHABI !
Lebih-lebih kalangan shufi !
Mereka jika berdzikir sampai berteriak-teriak histeris persis seperti orang yang habis minum-minuman keras, tak terkontrol.
Allahul musta’an...
Betapa hawa nafsu bid’ah telah mampu menyeret seseorang atau kelompok sampai tahap sejauh itu (Sumber: https://m.facebook.com)
8 Alasan Dzikir dengan Lirih
1- Menunjukkan keimanan yang benar karena yang memanjatkan dzikir tersebut mengimani kalau Allah itu mendengar dzikir yang lirih.
2- Ini lebih menunjukkan adab dan pengagungan. Hal ini dimisalkan seperti rakyat, ia tidak mungkin mengeraskan suaranya di hadapan raja. Siapa saja yang berbicara di hadapan raja dengan suara keras, tentu akan dibenci. Sedangkan Allah lebih sempurna dari raja. Allah dapat mendengar doa yang lirih. Sudah sepantasnya dalam doa tersebut dengan beradab di hadapan-Nya yaitu dengan suara yang lemah lembut (lirih).
3- Lebih menunjukkan khusyu’.
4- Lebih menandakan ikhlas.
5- Lebih mudah menghimpun hati untuk merendahkan diri, sedangkan dengan suara keras lebih cenderung tidak menyatukan hati.
6- Dzikir yang lemah lembut menunjukkan kedekatan dengan Allah. Itulah pujian Allah pada Zakariya ketika berdoa,
إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا
“Tatkala Zakariya berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)
Disebutkan bahwa para sahabat pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan. Mereka mengeraskan suara mereka saat berdoa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ أَرْبِعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ؛ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا وَإِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا إنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِهِ
“Wahai sekalian manusia, lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah berdo’a pada sesuatu yang tuli lagi ghoib (tidak ada). Yang kalian seru (yaitu Allah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh yang kalian seru itu lebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih dari leher tunggangannya.” (HR. Ahmad 4: 402. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Kedekatan di sini yang dimaksud adalah qurb khosh (kedekatan yang khusus), bukan qurb ‘aam (kedekatan yang umum) pada setiap orang. Allah itu dekat pada hamba-Nya yang berdoa dan berdzikir, Allah dekat dengan setiap hamba-Nya yang beriman dan Allah itu dekat dengan hamba-Nya ketika sujud.
7- Dzikir yang dibaca lirih akan ajeg (kontinu) karena anggota tubuh tidaklah merasa letih (capek) yang cepat, beda halnya jika dzikir tersebut dikeraskan.
8- Dzikir yang lirih lebih selamat dari was-was dibandingkan dengan yang dikeraskan. Dzikir yang dijaherkan akan lebih membangkitkan sifat basyariah (manusiawi) yaitu ingin dipuji atau ingin mendapatkan maksud duniawi.
Perintah dalam dzikir sebagaimana disebut dalam ayat (yang artinya), “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 205).
Mujahid dan Ibnu Juraij menyatakan bahwa ayat tersebut berisi perintah untuk mengingat Allah dengan hati dengan menundukkan diri dan bersikap tenang tanpa mengeraskan suara dan tanpa berteriak-teriak. Bersikap seperti inilah yang merupakan ruh doa dan dzikir. (Disarikan dari Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 15: 15-20). (Sumber : https://rumaysho.com)
1- Menunjukkan keimanan yang benar karena yang memanjatkan dzikir tersebut mengimani kalau Allah itu mendengar dzikir yang lirih.
2- Ini lebih menunjukkan adab dan pengagungan. Hal ini dimisalkan seperti rakyat, ia tidak mungkin mengeraskan suaranya di hadapan raja. Siapa saja yang berbicara di hadapan raja dengan suara keras, tentu akan dibenci. Sedangkan Allah lebih sempurna dari raja. Allah dapat mendengar doa yang lirih. Sudah sepantasnya dalam doa tersebut dengan beradab di hadapan-Nya yaitu dengan suara yang lemah lembut (lirih).
3- Lebih menunjukkan khusyu’.
4- Lebih menandakan ikhlas.
5- Lebih mudah menghimpun hati untuk merendahkan diri, sedangkan dengan suara keras lebih cenderung tidak menyatukan hati.
6- Dzikir yang lemah lembut menunjukkan kedekatan dengan Allah. Itulah pujian Allah pada Zakariya ketika berdoa,
إِذْ نَادَى رَبَّهُ نِدَاءً خَفِيًّا
“Tatkala Zakariya berdoa kepada Tuhannya dengan suara yang lembut.” (QS. Maryam: 3)
Disebutkan bahwa para sahabat pernah bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam perjalanan. Mereka mengeraskan suara mereka saat berdoa. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
أَيُّهَا النَّاسُ أَرْبِعُوا عَلَى أَنْفُسِكُمْ ؛ فَإِنَّكُمْ لَا تَدْعُونَ أَصَمَّ وَلَا غَائِبًا وَإِنَّمَا تَدْعُونَ سَمِيعًا قَرِيبًا إنَّ الَّذِي تَدْعُونَهُ أَقْرَبُ إلَى أَحَدِكُمْ مِنْ عُنُقِ رَاحِلَتِهِ
“Wahai sekalian manusia, lirihkanlah suara kalian. Kalian tidaklah berdo’a pada sesuatu yang tuli lagi ghoib (tidak ada). Yang kalian seru (yaitu Allah), Maha Mendengar lagi Maha Dekat. Sungguh yang kalian seru itu lebih dekat pada salah seorang di antara kalian lebih dari leher tunggangannya.” (HR. Ahmad 4: 402. Sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim, sebagaimana dikatakan oleh Syaikh Syu’aib Al Arnauth).
Kedekatan di sini yang dimaksud adalah qurb khosh (kedekatan yang khusus), bukan qurb ‘aam (kedekatan yang umum) pada setiap orang. Allah itu dekat pada hamba-Nya yang berdoa dan berdzikir, Allah dekat dengan setiap hamba-Nya yang beriman dan Allah itu dekat dengan hamba-Nya ketika sujud.
7- Dzikir yang dibaca lirih akan ajeg (kontinu) karena anggota tubuh tidaklah merasa letih (capek) yang cepat, beda halnya jika dzikir tersebut dikeraskan.
8- Dzikir yang lirih lebih selamat dari was-was dibandingkan dengan yang dikeraskan. Dzikir yang dijaherkan akan lebih membangkitkan sifat basyariah (manusiawi) yaitu ingin dipuji atau ingin mendapatkan maksud duniawi.
Perintah dalam dzikir sebagaimana disebut dalam ayat (yang artinya), “Dan sebutlah (nama) Tuhanmu dalam hatimu dengan merendahkan diri dan rasa takut, dan dengan tidak mengeraskan suara, di waktu pagi dan petang, dan janganlah kamu termasuk orang-orang yang lalai.” (QS. Al-A’raf: 205).
Mujahid dan Ibnu Juraij menyatakan bahwa ayat tersebut berisi perintah untuk mengingat Allah dengan hati dengan menundukkan diri dan bersikap tenang tanpa mengeraskan suara dan tanpa berteriak-teriak. Bersikap seperti inilah yang merupakan ruh doa dan dzikir. (Disarikan dari Majmu’ Al-Fatawa karya Ibnu Taimiyah, 15: 15-20). (Sumber : https://rumaysho.com)
---
Baca atau download kitab Imam Syafi'i : "Kitab Al-Umm" Klik tautan berikut ;
Komentar
Posting Komentar