Panduan shalat sesuai sunnah : (7) Tasyahud awal dan akhir
Tasyahud awal dan akhir
Diantara diterimanya shalat kita adalah dengan menyempurnakan shalat kita dari awal hingga akhir. Termasuk yang paling utama adalah tasyahud.
Berikut adalah tatacara tasyahud awal dan akhir yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut bacaannya
Pertama : Tasyahud Awal
Pada rakaat kedua, setelah sujud kedua, disyariatkan untuk duduk tasyahud awal dan membaca doa tasyahud awal. Duduk tasyahud awal dan doanya, keduanya hukumnya wajib.
Diantara dalil akan wajibnya, dari Abdullah bin Buhainah ia mengatakan,
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم صلَّى بهم الظُّهرَ، فقام في الرَّكعتينِ الأُوليَيْنِ، لم يجلِسْ، فقام النَّاسُ معه، حتَّى إذا قضى الصَّلاةَ، وانتظَرَ النَّاسُ تسليمَه،كبَّرَ وهو جالسٌ، فسجَد سجدتينِ قبْلَ أنْ يُسلِّمَ، ثم سلَّمَ
“Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam mengimami para sahabat. Beliau shalat di dua rakaat pertama tanpa duduk (tasyahud awal). Maka orang-orang pun ikut berdiri (tidak tasyahud awal). Sampai ketika shalat hampir selesai, orang-orang menunggu beliau salam, namun ternyata beliau bertakbir dalam keadaan duduk, lalu sujud dua kali sujud sebelum salam. Kemudian setelah itu baru salam“ (HR. Bukhari no. 829, Muslim no. 570).
Hadits ini menceritakan tentang Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam lupa mengerjakan tasyahud awal, sehingga beliau melakukan sujud sahwi. Maka ini menunjukkan bahwa tasyahud awal adalah kewajiban, yang jika ditinggalkan maka ada kewajiban sujud sahwi.
Kemudian juga hadis dari Rifa’ah bin Rafi radhiyallahu ’anhu, Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam bersabda,
إذا أنتَ قُمْتَ في صلاتِكَ، فكبِّرِ اللهَ تعالى، ثم اقرَأْ ما تيسَّرَ عليك مِن القُرآنِ، وقال فيه: فإذا جلَسْتَ في وسَطِ الصَّلاةِ، فاطمئِنَّ وافتَرِشْ فخِذَك اليُسرى، ثم تشهَّدْ، ثم إذا قُمْتَ فمِثْلَ ذلك حتَّى تفرُغَ مِن صلاتِكَ
“Jika engkau berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur'an yang engkau mampu”. Kemudian Nabi juga bersabda di dalamnya: “jika engkau duduk di tengah shalat, maka duduklah dengan tuma’ninah dan bentangkanlah pahamu yang sebelah kiri, kemudian tasyahudlah. Kemudian jika engkau berdiri lagi (untuk rakaat ke-3) maka semisal itu juga sampai selesai salat.” (HR. Abu Daud no. 860, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud)
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam memerintahkan untuk tasyahud awal menunjukkan wajib.
Cara Duduk Tasyahud Awal
Cara duduk tasyahud awal adalah dengan duduk iftirasy, sama seperti duduk di antara dua sujud, yaitu telapak kaki kiri dibentangkan dan diduduki, kemudian telapak kaki kanan ditegakkan. Dalam hadits al musi’ shalatuhu’ di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلَاةِ فَاطْمَئِنَّ، وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ
“Jika kamu duduk di tengah shalat (tasyahud awal), duduklah dengan tuma’ninah, bentangkan pahamu yang kiri, kemudian bertasyahud-lah.” (HR. Abu Daud no. 860, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud)
Juga termasuk keumuman hadits Abu Humaid As Sa’idi radhiyallahu ’anhu beliau berkata:
فإذا جلس في الركعتين جلس على رجلٌه اليسرى، ونصب اليمنى، وإذا جلس في الركعة الآخرة، قدم رجلٌه اليسرى، ونصب الأخرى، وقعد على مقعدته
“Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam jika duduk dalam shalat di dua rakaat pertama beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan. Jika beliau duduk di rakaat terakhir, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya dan duduk di atas lantai.”(HR. Bukhari no. 828 dan Muslim no. 226)
Dalam riwayat lain,
ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَيْهَا ثُمَّ اعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِى مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلاً ثُمَّ أَهْوَى سَاجِدًا
“Kemudian kaki kiri ditekuk dan diduduki. Kemudian badan kembali diluruskan hingga setiap anggota tubuh kembali pada tempatnya. Lalu turun sujud kembali.”(HR. Tirmidzi no. 304. At Tirmidzi mengatakan: “hasan shahih”)
Ketika duduk tasyahud tangan kanan berada di atas paha atau lutut kanan, dan tangan kiri di atas paha atau lutut kiri dengan posisi telapak tangan membentang, dan jari-jari menghadap kiblat. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma, ia berkata,
كان إذا جلَس في الصلاةِ ، وضَع كفَّه اليُمنى على فخِذِه اليُمنى . وقبَض أصابعَه كلَّها . وأشار بإصبَعِه التي تلي الإبهامَ . ووضَع كفَّه اليُسرى على فخِذِه اليُسرى
“Jika Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam duduk (tasyahud), beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas pahanya yang kanan. Kemudian menggenggam semua jari tangan kanannya, kemudian berisyarat dengan jari telunjuk yang ada di sebelah jempol. Dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kiri.” (HR. Muslim no. 580)
Kemudian dari Wail bin Hujr radhiyallahu ’anhu, ia berkata,
ثمَّ قعدَ وافترشَ رجلَهُ اليسرى ووضعَ كفِّهِ اليُسرى على فخذِهِ ورُكبتِهِ اليُسرى وجعلَ حدَّ مرفقِهِ الأيمنِ على فخذِهِ اليُمنى ثمَّ قبضَ اثنتينِ من أصابعِهِ وحلَّقَ حلقةً ثمَّ رفعَ إصبعَهُ
“… kemudian beliau duduk dan membentangkan kaki kirinya. Beliau meletakkan tangan kiri di atas paha dan lutut kirinya. Dan memposisikan siku kanannya di atas paha kanannya. Kemudian beliau menggenggam dua jarinya (kelingking dan jari manis), dan membentuk lingkaran dengan dua jarinya (jempol dan jari tengah) dan berisyarat dengan jari telunjuknya.” (HR. An Nasai no. 888, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasai)
Kemudian posisi siku sejajar dengan paha dan diletakkan di atas paha, sebagaimana dalam hadits Wail bin Hujr radhiyallahu ’anhu.
Isyarat Telunjuk ke Arah Kiblat
~ Menggenggam semua jari kecuali jari telunjuk yang mengarah ke kiblat, sebagaimana dalam hadis Ibnu Umar
~ Menggenggam jari kelingking dan jari manis, membentuk lingkaran dengan jari tengah dan jempol, dan jari telunjuk berisyarat ke kiblat.
Ketika tasyahud, jari telunjuk tangan kanan berisyarat ke arah kiblat dan pandangan mata ke arah jari telunjuk tersebut. Ini disebutkan oleh beberapa hadits di atas dan juga dalam riwayat lain dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma,
وأشار بأُصبُعِه الَّتي تلي الإبهامَ إلى القِبْلةِ ورمى ببصرِه إليها
“… beliau berisyarat dengan jari telunjuknya yang ada di sebelah jempol, ke arah kiblat, dan memandang jari tersebut.” (HR. Ibnu Hibban no. 1947, dishahihkan Al Albani dalam Ashl Sifati salatin Nabi [3/838])
Pandangan mata ketika tasyahud :
Penjelasan tentang menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahud.
Disunnahkan menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahhud pada saat berdoa, karena datang di dalam hadits Wa'il bin Hujr radhiyallahu 'anhu:
أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ أُصْبُعَهُ فَرَأَيْته يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا
"Bahwasanya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat jari beliau, maka aku melihat beliau menggerakkannya, seraya berdoa dengannya (HR. Abu Dawud, An-Nasa'I, Ahmad dan dishahihkan Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa' no: 367)).
Ini menunjukkan bahwasanya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menggerakkan jari telunjuk beliau ketika berdoa saja bukan dari awal tasyahhud, dan gerakan yang dimaksud disini adalah gerakan yang ringan.
Berkata Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu:
السنة للمصلي حال التشهد أن يقبض أصابعه كلها أعني أصابع اليمنى ويشير بالسبابة ويحركها عند الدعاء تحريكا خفيفا إشارة للتوحيد وإن شاء قبض الخنصر والبنصر وحلق الإبهام مع الوسطى وأشار بالسبابة كلتا الصفتين صحتا عن النبي صلى الله عليه وسلم
"Yang sesuai dengan sunnah bagi orang yang shalat ketika tasyahhud adalah menggenggam semua jari kanannya dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya dan menggerakkannya ketika berdoa dengan gerakan yang ringan sebagai isyarat kepada tauhid, dan kalau dia mau maka bisa menggenggamkan jari kecil dan jari manis kemudian membuat lingkaran antara jempol dengan jari tengah, dan memberi isyarat dengan jari telunjuk, kedua cara ini telah shahih dari nabi shallallahu 'alaihi wa sallam" (Maj'mu Fatawa Syeikh Bin Baz 11/185)
Berkata Syeikh Abdul Muhsin Al-Abbad:
لا أعلم شيئاً يدل على أن الإنسان يحركها باستمرار، وإنما يحركها ويدعو بها، أي: عندما يأتي الدعاء: اللهم.. اللهم.. يحركها.
"Saya tidak tahu dalil yang menunjukkan bahwa seseorang menggerakkan jari telunjuk secara terus menerus, akan tetapi menggerakannya dan berdoa dengannya, yaitu: ketika melewati doa (Allahumma…Allahumma) menggerakkannya" (Jawaban dari pertanyaan yang diajukan kepada beliau ketika mensyarh Sunan Abi Dawud, setelah Bab fil Hadab dari Kitab Al-Libas)
Adapun isyarat dengan jari dan mengangkatnya serta mengarahkannya ke arah qiblat, maka pendapat yang kuat ini dilakukan dari awal tasyahhud karena dhahir hadist-hadist menunjukkan demikian.
Diantara hadist yang menunjukkan disyari'atkannya isyarat dari awal tasyahhud adalah hadist Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu 'anhuma:
... وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ
"Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri dan tangan kanan di atas paha kanan, dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya" (HR. Muslim)
Dari Nafi' beliau berkata:
كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِذَا جَلَسَ فِى الصَّلاَةِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ وَأَتْبَعَهَا بَصَرَهُ ثُمَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَهِىَ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيدِ ». يَعْنِى السَّبَّابَةَ
Abdullah bin 'Umar apabila duduk di dalam shalat meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya dan memberi isyarat dengan jarinya, dan menjadikan pandangannya mengikuti jari tersebut, kemudian beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Ini lebih keras bagi syetan dari pada besi, yaitu jari telunjuk" (HR ِAhmad, dan dihasankan Syeikh Al-Albany)
Dan dalam hadist yang lain:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا يُحَرِّكُ الْحَصَى بِيَدِهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ لَا تُحَرِّكْ الْحَصَى وَأَنْتَ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَلَكِنْ اصْنَعْ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ قَالَ وَكَيْفَ كَانَ يَصْنَعُ قَالَ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ الَّتِي تَلِي الْإِبْهَامَ فِي الْقِبْلَةِ وَرَمَى بِبَصَرِهِ إِلَيْهَا أَوْ نَحْوِهَا ثُمَّ قَالَ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ
Dari Abdullah bin Umar bahwasanya beliau melihat seorang laki-laki menggerakan kerikil ketika shalat, ketika dia selesai shalat maka Abdullah berkata: Jangan engkau menggerakkan kerikil sedangakan engkau shalat, karena itu dari syetan. Akan tetapi lakukan sebagaimana yang telah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan. Maka beliau meletakkan tangan kanannya di atas pahanya dan mengisyaratkan dengan jari disamping jempol (yaitu jari telunjuk) ke arah qiblat, kemudian memandangnya, seraya berkata: Demikianlah aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan. (HR. An-Nasa'I dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)
Berkata Al-Mubarakfury:
ظَاهِرُ الْأَحَادِيثِ يَدُلُّ عَلَى الْإِشَارَةِ مِنْ اِبْتِدَاءِ الْجُلُوسِ
"Dhahir hadist-hadist menunjukkan bahwa isyarat dilakukan semenjak awal duduk" (Tuhfatul Ahwadzy 2/185, Darul Fikr).
Kedua : Tasyahud Akhir
Bagaimanakah cara melakukan tasyahud akhir? Bagaimana bacaan di dalamnya?
Setelah itu melakukan gerakan shalat sama seperti rakaat sebelumnya hingga duduk tasyahud akhir. Cara duduk tasyahud adalah dengan duduk tawarruk.
Bacaan ketika tasyahud akhir sama dengan tasyahud awwal,
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
“At tahiyyaatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaat lillah. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillahish sholihiin. Asyhadu alla ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh.”
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa baarokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid.”
Lalu ditambah dengan doa meminta perlindungan dari empat perkara.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الآخِرِ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
“Jika salah seorang di antara kalian selesai tasyahud akhir (sebelum salam), mintalah perlindungan pada Allah dari empat hal: (1) siksa neraka jahannam, (2) siksa kubur, (3) penyimpangan ketika hidup dan mati, (4) kejelekan Al Masih Ad Dajjal.” (HR. Muslim no. 588).
Do’a yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan dalam riwayat lain,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ وَفِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَشَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
“Allahumma inni a’udzu bika min ‘adzabil qobri, wa ‘adzabin naar, wa fitnatil mahyaa wal mamaat, wa syarri fitnatil masihid dajjal [Ya Allah, aku meminta perlindungan kepada-Mu dari siksa kubur, siksa neraka, penyimpangan ketika hidup dan mati, dan kejelekan Al Masih Ad Dajjal].” (HR. Muslim no. 588)
Setelah itu berdoa dengan doa apa saja yang diinginkan. Dalam hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَعَذَابِ الْقَبْرِ وَفِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ثُمَّ يَدْعُو لِنَفْسِهِ بِمَا بَدَا لَهُ
“Jika salah seorang di antara kalian bertasyahud, maka mintalah perlindungan pada Allah dari empat perkara yaitu dari siksa Jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan mati dan dari kejelekan Al Masih Ad Dajjal, kemudian hendaklah ia berdoa untuk dirinya sendiri dengan doa apa saja yang ia inginkan.” (HR. An Nasai no. 1310. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dengan catatan, hendaklah dengan bahasa Arab atau yang lebih baik adalah dengan doa yang berasal dari Al Quran dan hadits. Doa yang berasal dari Al Quran dan hadits begitu banyak yang bisa diamalkan.
Alasan berdoanya dengan bahasa Arab dikatakan oleh salah seorang ulama Syafi’iyah, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini rahimahullah,
فَإِنَّ الْخِلَافَ الْمَذْكُورَ مَحَلُّهُ فِي الْمَأْثُورِ .أَمَّا غَيْرُ الْمَأْثُورِ بِأَنْ اخْتَرَعَ دُعَاءً أَوْ ذِكْرًا بِالْعَجَمِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ فَلَا يَجُوزُ كَمَا نَقَلَهُ الرَّافِعِيُّ عَنْ الْإِمَامِ تَصْرِيحًا فِي الْأُولَى ، وَاقْتَصَرَ عَلَيْهَا فِي الرَّوْضَةِ وَإِشْعَارًا فِي الثَّانِيَةِ ، وَتَبْطُلُ بِهِ صَلَاتُهُ .
“Perbedaan pendapat yang terjadi adalah pada doa ma’tsur. Adapun doa yang tidak ma’tsur (tidak berasal dalil dari Al Quran dan As Sunnah), maka tidak boleh doa atau dzikir tersebut dibuat-buat dengan selain bahasa Arab lalu dibaca di dalam shalat. Seperti itu tidak dibolehkan sebagaimana dinukilkan oleh Ar Rofi’i dari Imam Syafi’i sebagai penegasan dari yang pertama. Sedangkan dalam kitab Ar Roudhoh diringkas untuk yang kedua. Juga membaca doa seperti itu dengan selain bahasa Arab mengakibatkan shalatnya batal.” (Mughnil Muhtaj, 1: 273).
Bagaimana cara menggenggam jari tangan ketika tasyahud?
Menukil dari Al Majmu’ Syarh Muhadzdzab.
Imam Asy Syairozi berkata, “Disunnahkan
membentangkan jari tangan kiri di paha kiri. Sedangkan untuk tangan kanan ada tiga pendapat. Salah satunya, meletakkan tangan kanan di paha kanan di mana seluruh jari digenggam kecuali jari telunjuk. Hal ini yang masyhur sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk tasyahud, beliau meletakkan tangan kirinya di lutut kiri. Beliau meletakkan tangan kanan di lutut kanan, lalu beliau menggenggam tiga jari dan berisyarat dengan jari telunjuk, sedangkan jari jempol berada di samping jari telunjuk.” (Al Majmu’, 3: 300)
Diterangkan oleh Imam Nawawi, yang dimaksud meletakkan jari di situ adalah diletakkan di ujung lutut. Lihat Al Majmu’, 3: 301.
Adapun maksud Imam Asy Syairozi adalah hadits Ibnu ‘Umar berikut.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا قَعَدَ فِى التَّشَهُّدِ وَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَعَقَدَ ثَلاَثَةً وَخَمْسِينَ وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ
Dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk tasyahud, tangan kiri diletakkan di lutut kiri, sedangkan tangan kanan diletakkan di lutut kanan. Lalu ia berisyarat dengan menggenggam simbol lima puluh tiga dan berisyarat dengan jari telunjuk (maksudnya: jari kelingking, jari manis dan jari tengah digenggam, lalu jari telunjuk memberi isyarat, sedangkan jari jempol berada di samping jari telunjuk). (HR. Muslim no. 580).
Tiga pendapat mengenai cara isyarat jari tangan ketika tasyahud disampaikan oleh Imam Nawawi:
1- Jari tengah, jari manis dan jari kelingking digenggam, sedangkan jari telunjuk dan jempol tidak digenggam (dilepas begitu saja).
2- Jari jempol dan jari tengah membentuk lingkaran, yaitu kedua ujung jari tersebut membentuk lingkaran atau ujung jari tengah membentuk lingkaran dengan bagian ruas jari dari jari jempol.
3- Jari jempol dan jari tengah kedua-duanya digenggam. (Al Majmu’, 3: 301)
Imam Nawawi menerangkan cara isyarat jari tangan ketika tasyahud:
Pertama, isyarat tersebut dituju pada arah kiblat. Al Baihaqi berargumen dengan hadits dari Ibnu ‘Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, diniatkan untuk isyarat yaitu ketika menandakan ikhlas dan tauhid. Al Muzani menyebutkan hal itu dalam mukhtashornya dan juga disebutkan oleh ulama Syafi’iyah lainnya. Al Baihaqi berdalil dengan hadits dari seseorang yang majhul dari seorang sahabat radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat ketika menyebut kalimat tauhid. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, yaitu saat berisyarat ikhlas.
Ketiga, dimakruhkan berisyarat dengan dua jari telunjuk dari dua tangan karena yang dianjurkan, tangan kiri tetap dalam keadaan terbuka.
Keempat, seandainya tangan kanan terpotong, maka sunnah berisyarat dengan jari jadi gugur dan tidak perlu berisyarat dengan jari lainnya.
Kelima, pandangan tidak melebihi isyarat jari. Al Baihaqi berdalil dengan hadits dari Abdullah bin Zubair bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kanannya dan berisyarat dengan jarinya dan pandangannya tidak melebihi isyarat tersebut. Dalam hadits disebutkan,
لاَ يُجَاوِزُ بَصَرُهُ إِشَارَتَهُ
“Janganlah pandangannya melebihi isyarat jarinya.” (HR. Abu Daud no. 990. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan) (Al Majmu’, 3: 302).
Diantara diterimanya shalat kita adalah dengan menyempurnakan shalat kita dari awal hingga akhir. Termasuk yang paling utama adalah tasyahud.
Berikut adalah tatacara tasyahud awal dan akhir yang diajarkan oleh Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam berikut bacaannya
Pertama : Tasyahud Awal
Pada rakaat kedua, setelah sujud kedua, disyariatkan untuk duduk tasyahud awal dan membaca doa tasyahud awal. Duduk tasyahud awal dan doanya, keduanya hukumnya wajib.
Diantara dalil akan wajibnya, dari Abdullah bin Buhainah ia mengatakan,
أنَّ النبيَّ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم صلَّى بهم الظُّهرَ، فقام في الرَّكعتينِ الأُوليَيْنِ، لم يجلِسْ، فقام النَّاسُ معه، حتَّى إذا قضى الصَّلاةَ، وانتظَرَ النَّاسُ تسليمَه،كبَّرَ وهو جالسٌ، فسجَد سجدتينِ قبْلَ أنْ يُسلِّمَ، ثم سلَّمَ
“Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam mengimami para sahabat. Beliau shalat di dua rakaat pertama tanpa duduk (tasyahud awal). Maka orang-orang pun ikut berdiri (tidak tasyahud awal). Sampai ketika shalat hampir selesai, orang-orang menunggu beliau salam, namun ternyata beliau bertakbir dalam keadaan duduk, lalu sujud dua kali sujud sebelum salam. Kemudian setelah itu baru salam“ (HR. Bukhari no. 829, Muslim no. 570).
Hadits ini menceritakan tentang Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam lupa mengerjakan tasyahud awal, sehingga beliau melakukan sujud sahwi. Maka ini menunjukkan bahwa tasyahud awal adalah kewajiban, yang jika ditinggalkan maka ada kewajiban sujud sahwi.
Kemudian juga hadis dari Rifa’ah bin Rafi radhiyallahu ’anhu, Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam bersabda,
إذا أنتَ قُمْتَ في صلاتِكَ، فكبِّرِ اللهَ تعالى، ثم اقرَأْ ما تيسَّرَ عليك مِن القُرآنِ، وقال فيه: فإذا جلَسْتَ في وسَطِ الصَّلاةِ، فاطمئِنَّ وافتَرِشْ فخِذَك اليُسرى، ثم تشهَّدْ، ثم إذا قُمْتَ فمِثْلَ ذلك حتَّى تفرُغَ مِن صلاتِكَ
“Jika engkau berdiri untuk shalat, maka bertakbirlah. Kemudian bacalah ayat Al Qur'an yang engkau mampu”. Kemudian Nabi juga bersabda di dalamnya: “jika engkau duduk di tengah shalat, maka duduklah dengan tuma’ninah dan bentangkanlah pahamu yang sebelah kiri, kemudian tasyahudlah. Kemudian jika engkau berdiri lagi (untuk rakaat ke-3) maka semisal itu juga sampai selesai salat.” (HR. Abu Daud no. 860, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud)
Dalam hadits ini Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam memerintahkan untuk tasyahud awal menunjukkan wajib.
Cara Duduk Tasyahud Awal
Cara duduk tasyahud awal adalah dengan duduk iftirasy, sama seperti duduk di antara dua sujud, yaitu telapak kaki kiri dibentangkan dan diduduki, kemudian telapak kaki kanan ditegakkan. Dalam hadits al musi’ shalatuhu’ di atas, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
فَإِذَا جَلَسْتَ فِي وَسَطِ الصَّلَاةِ فَاطْمَئِنَّ، وَافْتَرِشْ فَخِذَكَ الْيُسْرَى ثُمَّ تَشَهَّدْ
“Jika kamu duduk di tengah shalat (tasyahud awal), duduklah dengan tuma’ninah, bentangkan pahamu yang kiri, kemudian bertasyahud-lah.” (HR. Abu Daud no. 860, dihasankan Al Albani dalam Shahih Abu Daud)
Juga termasuk keumuman hadits Abu Humaid As Sa’idi radhiyallahu ’anhu beliau berkata:
فإذا جلس في الركعتين جلس على رجلٌه اليسرى، ونصب اليمنى، وإذا جلس في الركعة الآخرة، قدم رجلٌه اليسرى، ونصب الأخرى، وقعد على مقعدته
“Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam jika duduk dalam shalat di dua rakaat pertama beliau duduk di atas kaki kirinya dan menegakkan kaki kanan. Jika beliau duduk di rakaat terakhir, beliau mengeluarkan kaki kirinya dan menegakkan kaki kanannya dan duduk di atas lantai.”(HR. Bukhari no. 828 dan Muslim no. 226)
Dalam riwayat lain,
ثُمَّ ثَنَى رِجْلَهُ الْيُسْرَى وَقَعَدَ عَلَيْهَا ثُمَّ اعْتَدَلَ حَتَّى يَرْجِعَ كُلُّ عَظْمٍ فِى مَوْضِعِهِ مُعْتَدِلاً ثُمَّ أَهْوَى سَاجِدًا
“Kemudian kaki kiri ditekuk dan diduduki. Kemudian badan kembali diluruskan hingga setiap anggota tubuh kembali pada tempatnya. Lalu turun sujud kembali.”(HR. Tirmidzi no. 304. At Tirmidzi mengatakan: “hasan shahih”)
Ketika duduk tasyahud tangan kanan berada di atas paha atau lutut kanan, dan tangan kiri di atas paha atau lutut kiri dengan posisi telapak tangan membentang, dan jari-jari menghadap kiblat. Dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ’anhuma, ia berkata,
كان إذا جلَس في الصلاةِ ، وضَع كفَّه اليُمنى على فخِذِه اليُمنى . وقبَض أصابعَه كلَّها . وأشار بإصبَعِه التي تلي الإبهامَ . ووضَع كفَّه اليُسرى على فخِذِه اليُسرى
“Jika Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam duduk (tasyahud), beliau meletakkan telapak tangan kanannya di atas pahanya yang kanan. Kemudian menggenggam semua jari tangan kanannya, kemudian berisyarat dengan jari telunjuk yang ada di sebelah jempol. Dan beliau meletakkan tangan kirinya di atas paha kiri.” (HR. Muslim no. 580)
Kemudian dari Wail bin Hujr radhiyallahu ’anhu, ia berkata,
ثمَّ قعدَ وافترشَ رجلَهُ اليسرى ووضعَ كفِّهِ اليُسرى على فخذِهِ ورُكبتِهِ اليُسرى وجعلَ حدَّ مرفقِهِ الأيمنِ على فخذِهِ اليُمنى ثمَّ قبضَ اثنتينِ من أصابعِهِ وحلَّقَ حلقةً ثمَّ رفعَ إصبعَهُ
“… kemudian beliau duduk dan membentangkan kaki kirinya. Beliau meletakkan tangan kiri di atas paha dan lutut kirinya. Dan memposisikan siku kanannya di atas paha kanannya. Kemudian beliau menggenggam dua jarinya (kelingking dan jari manis), dan membentuk lingkaran dengan dua jarinya (jempol dan jari tengah) dan berisyarat dengan jari telunjuknya.” (HR. An Nasai no. 888, dishahihkan Al Albani dalam Shahih An Nasai)
Kemudian posisi siku sejajar dengan paha dan diletakkan di atas paha, sebagaimana dalam hadits Wail bin Hujr radhiyallahu ’anhu.
Isyarat Telunjuk ke Arah Kiblat
Dari hadits Ibnu Umar dan Wail bin Hujr radhiyallahu ’anhuma di atas, kita ketahui ada dua cara berisyarat dengan tangan kanan ketika tasyahud,
~ Menggenggam semua jari kecuali jari telunjuk yang mengarah ke kiblat, sebagaimana dalam hadis Ibnu Umar
~ Menggenggam jari kelingking dan jari manis, membentuk lingkaran dengan jari tengah dan jempol, dan jari telunjuk berisyarat ke kiblat.
Ketika tasyahud, jari telunjuk tangan kanan berisyarat ke arah kiblat dan pandangan mata ke arah jari telunjuk tersebut. Ini disebutkan oleh beberapa hadits di atas dan juga dalam riwayat lain dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma,
وأشار بأُصبُعِه الَّتي تلي الإبهامَ إلى القِبْلةِ ورمى ببصرِه إليها
“… beliau berisyarat dengan jari telunjuknya yang ada di sebelah jempol, ke arah kiblat, dan memandang jari tersebut.” (HR. Ibnu Hibban no. 1947, dishahihkan Al Albani dalam Ashl Sifati salatin Nabi [3/838])
Pandangan mata ketika tasyahud :
Ketika shalat, kita dianjurkan untuk mengarahkan pandangan mata ke tempat sujud. Akan tetapi, khusus ketika tasyahud, kita dianjurkan mengarahkan pandangan mata ke arah jari telunjuk yang diisyaratkan ketika duduk tasyahud. Dalilnya adalah hadits dari Ibnu Umar radhiyallahu ‘anhu, beliau menceritakan bagaimana cara Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam melakukan tasyahud. Dalam keterangan Ibnu Umar itu dinyatakan,
.
وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ الَّتِى تَلِى الإِبْهَامَ فِى الْقِبْلَةِ وَرَمَى بِبَصَرِهِ إِلَيْهَا
.
"Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya dan beliau berisyarat dengan jari telunjuk ke arah kiblat, serta mengarahkan pandangan mata kepadanya (telunjuk itu)." .
(HR. an-Nasai 1160, Ibn Hibban 5/274, Ibn Khuzaimah 719. Al-A’dzami mengatakan: Sanadnya shahih).
Para ulama khilaf mengenai kapan mulai berisyarat dengan jari telunjuk dalam beberapa pendapat,
~ Hanafiyah berpendapat bahwa dimulai sejak ucapan “laailaaha illallah”
~ Malikiyyah berpendapat bahwa dimulai sejak awal tasyahud hingga akhir
~ Syafi’iyyah berpendapat bahwa dimulai sejak “illallah”
~ Hanabilah berpendapat bahwa dimulai sejak ada kata “Allah”
Bila kita melihat riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma berikut,
أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ، كان إذا قعَد في التشَهُّدِ وضَع يدَه اليُسرى على رُكبتِه اليُسرى . ووضَع يدَه اليُمنى على رُكبتِه اليُمنى . وعقَد ثلاثةً وخمسينَ . وأشار بالسبابةِ
“Jika Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam duduk untuk tasyahud, beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas lutut kirinya. Dan beliau meletakkan tangan kanannya di lutut kanannya. Dan jarinya membentuk lima puluh tiga, sedangkan telunjuknya berisyarat ke kiblat.” (HR. Muslim no. 580)
Disebut di sini,
… إذا قعَد في التشَهُّدِ …
“jika beliau duduk untuk tasyahud” menunjukkan bahwa isyarat jari telunjuk dimulai ketika awal tasyahud. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan,
السنة أن تشير بالسبابة، يقيم السبابة من أول الجلوس في التحيات، التشهد الأول والأخير
“Yang sesuai sunnah dalam berisyarat dengan telunjuk itu, mengacungkan jari telunjuk sejak mulai duduk tasyahud awal dan akhir” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/13521).
.
وَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ الَّتِى تَلِى الإِبْهَامَ فِى الْقِبْلَةِ وَرَمَى بِبَصَرِهِ إِلَيْهَا
.
"Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan telapak tangan kanannya di atas paha kanannya dan beliau berisyarat dengan jari telunjuk ke arah kiblat, serta mengarahkan pandangan mata kepadanya (telunjuk itu)." .
(HR. an-Nasai 1160, Ibn Hibban 5/274, Ibn Khuzaimah 719. Al-A’dzami mengatakan: Sanadnya shahih).
Para ulama khilaf mengenai kapan mulai berisyarat dengan jari telunjuk dalam beberapa pendapat,
~ Hanafiyah berpendapat bahwa dimulai sejak ucapan “laailaaha illallah”
~ Malikiyyah berpendapat bahwa dimulai sejak awal tasyahud hingga akhir
~ Syafi’iyyah berpendapat bahwa dimulai sejak “illallah”
~ Hanabilah berpendapat bahwa dimulai sejak ada kata “Allah”
Bila kita melihat riwayat dari Ibnu Umar radhiyallahu ’anhuma berikut,
أنَّ رسولَ اللهِ صلَّى اللهُ عليه وسلَّم ، كان إذا قعَد في التشَهُّدِ وضَع يدَه اليُسرى على رُكبتِه اليُسرى . ووضَع يدَه اليُمنى على رُكبتِه اليُمنى . وعقَد ثلاثةً وخمسينَ . وأشار بالسبابةِ
“Jika Nabi Shallallahu ’alaihi Wa sallam duduk untuk tasyahud, beliau meletakkan telapak tangan kirinya di atas lutut kirinya. Dan beliau meletakkan tangan kanannya di lutut kanannya. Dan jarinya membentuk lima puluh tiga, sedangkan telunjuknya berisyarat ke kiblat.” (HR. Muslim no. 580)
Disebut di sini,
… إذا قعَد في التشَهُّدِ …
“jika beliau duduk untuk tasyahud” menunjukkan bahwa isyarat jari telunjuk dimulai ketika awal tasyahud. Syaikh Abdul Aziz bin Baz mengatakan,
السنة أن تشير بالسبابة، يقيم السبابة من أول الجلوس في التحيات، التشهد الأول والأخير
“Yang sesuai sunnah dalam berisyarat dengan telunjuk itu, mengacungkan jari telunjuk sejak mulai duduk tasyahud awal dan akhir” (Sumber: https://binbaz.org.sa/fatwas/13521).
Bacaan tasyahud awal
Pertama, bacaan tasyahud Ibnu ‘Abbas.
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
“At tahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth thayyibaat lillah. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillahish shalihiin. Asyhadu alla ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh
Pertama, bacaan tasyahud Ibnu ‘Abbas.
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
“At tahiyyaatul mubaarakaatush shalawaatuth thayyibaat lillah. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillahish shalihiin. Asyhadu alla ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rasuuluh
Artinya :
Segala ucapan selamat, keberkahan, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya)” (HR. Muslim no. 403).
Kedua, bacaan tasyahud Ibnu Mas’ud.
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“At tahiyyaatu lillaah, wash shalawaatu wath thayyibaat. Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullaahi wa barokaatuh. As salaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin. Asyhadu al laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh
Kedua, bacaan tasyahud Ibnu Mas’ud.
التَّحِيَّاتُ لِلَّهِ وَالصَّلَوَاتُ وَالطَّيِّبَاتُ ، السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ ، السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ ، أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا عَبْدُهُ وَرَسُولُهُ
“At tahiyyaatu lillaah, wash shalawaatu wath thayyibaat. Assalaamu’alaika ayyuhan nabiyyu warahmatullaahi wa barokaatuh. As salaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillaahish shoolihiin. Asyhadu al laa ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh
Artinya:
Segala ucapan selamat, shalawat, dan kebaikan adalah bagi Allah. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan kepadamu wahai Nabi beserta rahmat Allah dan barakah-Nya. Mudah-mudahan kesejahteraan dilimpahkan pula kepada kami dan kepada seluruh hamba Allah yang shalih. Aku bersaksi bahwa tidak ada sesembahan yang berhak disembah melainkan Allah, dan aku bersaksi bahwa Muhammad itu adalah hamba-Nya dan utusan-Nya).” (HR. Bukhari no. 6265).
Ditambah Bacaan Shalawat pada Tasyahud Awal
Bacaan shalawat yang bisa dibaca setelah membaca salah satu dari tasyahud awal di atas,
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa baarokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid (artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, semoga berkah tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).” (HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406, dari Ka’ab bin ‘Ujroh).
Minimal bacaan shalawat adalah,
اللّهُمَّ صَلِّ عَلَ مُحَمَّدٍ
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad (artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah pada Muhammad)”. (Roudhotuth Tholibin, 1: 187).
Ditambah Bacaan Shalawat pada Tasyahud Awal
Bacaan shalawat yang bisa dibaca setelah membaca salah satu dari tasyahud awal di atas,
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa baarokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid (artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia. Ya Allah, semoga berkah tercurah kepada Muhammad dan keluarga Muhammad sebagaimana tercurah pada Ibrahim dan keluarga Ibrahim, sesungguhnya Engkau Maha Terpuji lagi Maha Mulia).” (HR. Bukhari no. 4797 dan Muslim no. 406, dari Ka’ab bin ‘Ujroh).
Minimal bacaan shalawat adalah,
اللّهُمَّ صَلِّ عَلَ مُحَمَّدٍ
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad (artinya: Ya Allah, semoga shalawat tercurah pada Muhammad)”. (Roudhotuth Tholibin, 1: 187).
Menggerakkan Telunjuk Ketika Tasyahhud
Penjelasan tentang menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahud.
Disunnahkan menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahhud pada saat berdoa, karena datang di dalam hadits Wa'il bin Hujr radhiyallahu 'anhu:
أَنَّهُ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ رَفَعَ أُصْبُعَهُ فَرَأَيْته يُحَرِّكُهَا يَدْعُو بِهَا
"Bahwasanya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam mengangkat jari beliau, maka aku melihat beliau menggerakkannya, seraya berdoa dengannya (HR. Abu Dawud, An-Nasa'I, Ahmad dan dishahihkan Syeikh Al-Albany dalam Al-Irwa' no: 367)).
Ini menunjukkan bahwasanya beliau shallallahu 'alaihi wa sallam menggerakkan jari telunjuk beliau ketika berdoa saja bukan dari awal tasyahhud, dan gerakan yang dimaksud disini adalah gerakan yang ringan.
Berkata Syeikh Abdul Aziz bin Baz rahimahullahu:
السنة للمصلي حال التشهد أن يقبض أصابعه كلها أعني أصابع اليمنى ويشير بالسبابة ويحركها عند الدعاء تحريكا خفيفا إشارة للتوحيد وإن شاء قبض الخنصر والبنصر وحلق الإبهام مع الوسطى وأشار بالسبابة كلتا الصفتين صحتا عن النبي صلى الله عليه وسلم
"Yang sesuai dengan sunnah bagi orang yang shalat ketika tasyahhud adalah menggenggam semua jari kanannya dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya dan menggerakkannya ketika berdoa dengan gerakan yang ringan sebagai isyarat kepada tauhid, dan kalau dia mau maka bisa menggenggamkan jari kecil dan jari manis kemudian membuat lingkaran antara jempol dengan jari tengah, dan memberi isyarat dengan jari telunjuk, kedua cara ini telah shahih dari nabi shallallahu 'alaihi wa sallam" (Maj'mu Fatawa Syeikh Bin Baz 11/185)
Berkata Syeikh Abdul Muhsin Al-Abbad:
لا أعلم شيئاً يدل على أن الإنسان يحركها باستمرار، وإنما يحركها ويدعو بها، أي: عندما يأتي الدعاء: اللهم.. اللهم.. يحركها.
"Saya tidak tahu dalil yang menunjukkan bahwa seseorang menggerakkan jari telunjuk secara terus menerus, akan tetapi menggerakannya dan berdoa dengannya, yaitu: ketika melewati doa (Allahumma…Allahumma) menggerakkannya" (Jawaban dari pertanyaan yang diajukan kepada beliau ketika mensyarh Sunan Abi Dawud, setelah Bab fil Hadab dari Kitab Al-Libas)
Adapun isyarat dengan jari dan mengangkatnya serta mengarahkannya ke arah qiblat, maka pendapat yang kuat ini dilakukan dari awal tasyahhud karena dhahir hadist-hadist menunjukkan demikian.
Diantara hadist yang menunjukkan disyari'atkannya isyarat dari awal tasyahhud adalah hadist Abdullah bin Az-Zubair radhiyallahu 'anhuma:
... وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ
"Beliau shallallahu 'alaihi wa sallam meletakkan tangan kiri di atas lutut kiri dan tangan kanan di atas paha kanan, dan memberi isyarat dengan jari telunjuknya" (HR. Muslim)
Dari Nafi' beliau berkata:
كَانَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ عُمَرَ إِذَا جَلَسَ فِى الصَّلاَةِ وَضَعَ يَدَيْهِ عَلَى رُكْبَتَيْهِ وَأَشَارَ بِإِصْبَعِهِ وَأَتْبَعَهَا بَصَرَهُ ثُمَّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- « لَهِىَ أَشَدُّ عَلَى الشَّيْطَانِ مِنَ الْحَدِيدِ ». يَعْنِى السَّبَّابَةَ
Abdullah bin 'Umar apabila duduk di dalam shalat meletakkan kedua tangannya di atas kedua lututnya dan memberi isyarat dengan jarinya, dan menjadikan pandangannya mengikuti jari tersebut, kemudian beliau berkata: Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda: Ini lebih keras bagi syetan dari pada besi, yaitu jari telunjuk" (HR ِAhmad, dan dihasankan Syeikh Al-Albany)
Dan dalam hadist yang lain:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عُمَرَ أَنَّهُ رَأَى رَجُلًا يُحَرِّكُ الْحَصَى بِيَدِهِ وَهُوَ فِي الصَّلَاةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ قَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ لَا تُحَرِّكْ الْحَصَى وَأَنْتَ فِي الصَّلَاةِ فَإِنَّ ذَلِكَ مِنْ الشَّيْطَانِ وَلَكِنْ اصْنَعْ كَمَا كَانَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ قَالَ وَكَيْفَ كَانَ يَصْنَعُ قَالَ فَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى فَخِذِهِ الْيُمْنَى وَأَشَارَ بِأُصْبُعِهِ الَّتِي تَلِي الْإِبْهَامَ فِي الْقِبْلَةِ وَرَمَى بِبَصَرِهِ إِلَيْهَا أَوْ نَحْوِهَا ثُمَّ قَالَ هَكَذَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصْنَعُ
Dari Abdullah bin Umar bahwasanya beliau melihat seorang laki-laki menggerakan kerikil ketika shalat, ketika dia selesai shalat maka Abdullah berkata: Jangan engkau menggerakkan kerikil sedangakan engkau shalat, karena itu dari syetan. Akan tetapi lakukan sebagaimana yang telah Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam lakukan. Maka beliau meletakkan tangan kanannya di atas pahanya dan mengisyaratkan dengan jari disamping jempol (yaitu jari telunjuk) ke arah qiblat, kemudian memandangnya, seraya berkata: Demikianlah aku melihat Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam melakukan. (HR. An-Nasa'I dan dishahihkan Syeikh Al-Albany)
Berkata Al-Mubarakfury:
ظَاهِرُ الْأَحَادِيثِ يَدُلُّ عَلَى الْإِشَارَةِ مِنْ اِبْتِدَاءِ الْجُلُوسِ
"Dhahir hadist-hadist menunjukkan bahwa isyarat dilakukan semenjak awal duduk" (Tuhfatul Ahwadzy 2/185, Darul Fikr).
Kedua : Tasyahud Akhir
Bagaimanakah cara melakukan tasyahud akhir? Bagaimana bacaan di dalamnya?
Setelah itu melakukan gerakan shalat sama seperti rakaat sebelumnya hingga duduk tasyahud akhir. Cara duduk tasyahud adalah dengan duduk tawarruk.
Bacaan ketika tasyahud akhir sama dengan tasyahud awwal,
التَّحِيَّاتُ الْمُبَارَكَاتُ الصَّلَوَاتُ الطَّيِّبَاتُ لِلَّهِ السَّلاَمُ عَلَيْكَ أَيُّهَا النَّبِىُّ وَرَحْمَةُ اللَّهِ وَبَرَكَاتُهُ السَّلاَمُ عَلَيْنَا وَعَلَى عِبَادِ اللَّهِ الصَّالِحِينَ أَشْهَدُ أَنْ لاَ إِلَهَ إِلاَّ اللَّهُ وَأَشْهَدُ أَنَّ مُحَمَّدًا رَسُولُ اللَّهِ
“At tahiyyaatul mubaarokaatush sholawaatuth thoyyibaat lillah. Assalaamu ‘alaika ayyuhan nabiyyu wa rahmatullahi wa barokaatuh. Assalaamu ‘alainaa wa ‘alaa ‘ibaadillahish sholihiin. Asyhadu alla ilaaha illallaah wa asyhadu anna Muhammadan ‘abduhu wa rosuuluh.”
اللَّهُمَّ صَلِّ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا صَلَّيْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ ، اللَّهُمَّ بَارِكْ عَلَى مُحَمَّدٍ ، وَعَلَى آلِ مُحَمَّدٍ ، كَمَا بَارَكْتَ عَلَى إِبْرَاهِيمَ ، وَعَلَى آلِ إِبْرَاهِيمَ ، إِنَّكَ حَمِيدٌ مَجِيدٌ
“Allahumma sholli ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa shollaita ‘ala Ibroohim wa ‘ala aali Ibrohim, innaka hamidun majiid. Allahumma baarik ‘ala Muhammad wa ‘ala aali Muhammad kamaa baarokta ‘ala Ibrohim wa ‘ala aali Ibrohimm innaka hamidun majiid.”
Lalu ditambah dengan doa meminta perlindungan dari empat perkara.
Dari Abu Hurairah, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا فَرَغَ أَحَدُكُمْ مِنَ التَّشَهُّدِ الآخِرِ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَمِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَمِنْ فِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
“Jika salah seorang di antara kalian selesai tasyahud akhir (sebelum salam), mintalah perlindungan pada Allah dari empat hal: (1) siksa neraka jahannam, (2) siksa kubur, (3) penyimpangan ketika hidup dan mati, (4) kejelekan Al Masih Ad Dajjal.” (HR. Muslim no. 588).
Do’a yang diajarkan oleh Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam disebutkan dalam riwayat lain,
اللَّهُمَّ إِنِّى أَعُوذُ بِكَ مِنْ عَذَابِ الْقَبْرِ وَعَذَابِ النَّارِ وَفِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَشَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ
“Allahumma inni a’udzu bika min ‘adzabil qobri, wa ‘adzabin naar, wa fitnatil mahyaa wal mamaat, wa syarri fitnatil masihid dajjal [Ya Allah, aku meminta perlindungan kepada-Mu dari siksa kubur, siksa neraka, penyimpangan ketika hidup dan mati, dan kejelekan Al Masih Ad Dajjal].” (HR. Muslim no. 588)
Setelah itu berdoa dengan doa apa saja yang diinginkan. Dalam hadits dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
إِذَا تَشَهَّدَ أَحَدُكُمْ فَلْيَتَعَوَّذْ بِاللَّهِ مِنْ أَرْبَعٍ مِنْ عَذَابِ جَهَنَّمَ وَعَذَابِ الْقَبْرِ وَفِتْنَةِ الْمَحْيَا وَالْمَمَاتِ وَمِنْ شَرِّ الْمَسِيحِ الدَّجَّالِ ثُمَّ يَدْعُو لِنَفْسِهِ بِمَا بَدَا لَهُ
“Jika salah seorang di antara kalian bertasyahud, maka mintalah perlindungan pada Allah dari empat perkara yaitu dari siksa Jahannam, dari siksa kubur, dari fitnah hidup dan mati dan dari kejelekan Al Masih Ad Dajjal, kemudian hendaklah ia berdoa untuk dirinya sendiri dengan doa apa saja yang ia inginkan.” (HR. An Nasai no. 1310. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).
Dengan catatan, hendaklah dengan bahasa Arab atau yang lebih baik adalah dengan doa yang berasal dari Al Quran dan hadits. Doa yang berasal dari Al Quran dan hadits begitu banyak yang bisa diamalkan.
Alasan berdoanya dengan bahasa Arab dikatakan oleh salah seorang ulama Syafi’iyah, Muhammad bin Al Khotib Asy Syarbini rahimahullah,
فَإِنَّ الْخِلَافَ الْمَذْكُورَ مَحَلُّهُ فِي الْمَأْثُورِ .أَمَّا غَيْرُ الْمَأْثُورِ بِأَنْ اخْتَرَعَ دُعَاءً أَوْ ذِكْرًا بِالْعَجَمِيَّةِ فِي الصَّلَاةِ فَلَا يَجُوزُ كَمَا نَقَلَهُ الرَّافِعِيُّ عَنْ الْإِمَامِ تَصْرِيحًا فِي الْأُولَى ، وَاقْتَصَرَ عَلَيْهَا فِي الرَّوْضَةِ وَإِشْعَارًا فِي الثَّانِيَةِ ، وَتَبْطُلُ بِهِ صَلَاتُهُ .
“Perbedaan pendapat yang terjadi adalah pada doa ma’tsur. Adapun doa yang tidak ma’tsur (tidak berasal dalil dari Al Quran dan As Sunnah), maka tidak boleh doa atau dzikir tersebut dibuat-buat dengan selain bahasa Arab lalu dibaca di dalam shalat. Seperti itu tidak dibolehkan sebagaimana dinukilkan oleh Ar Rofi’i dari Imam Syafi’i sebagai penegasan dari yang pertama. Sedangkan dalam kitab Ar Roudhoh diringkas untuk yang kedua. Juga membaca doa seperti itu dengan selain bahasa Arab mengakibatkan shalatnya batal.” (Mughnil Muhtaj, 1: 273).
Bagaimana cara menggenggam jari tangan ketika tasyahud?
Menukil dari Al Majmu’ Syarh Muhadzdzab.
Imam Asy Syairozi berkata, “Disunnahkan
membentangkan jari tangan kiri di paha kiri. Sedangkan untuk tangan kanan ada tiga pendapat. Salah satunya, meletakkan tangan kanan di paha kanan di mana seluruh jari digenggam kecuali jari telunjuk. Hal ini yang masyhur sebagaimana riwayat dari Ibnu ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk tasyahud, beliau meletakkan tangan kirinya di lutut kiri. Beliau meletakkan tangan kanan di lutut kanan, lalu beliau menggenggam tiga jari dan berisyarat dengan jari telunjuk, sedangkan jari jempol berada di samping jari telunjuk.” (Al Majmu’, 3: 300)
Diterangkan oleh Imam Nawawi, yang dimaksud meletakkan jari di situ adalah diletakkan di ujung lutut. Lihat Al Majmu’, 3: 301.
Adapun maksud Imam Asy Syairozi adalah hadits Ibnu ‘Umar berikut.
عَنِ ابْنِ عُمَرَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- كَانَ إِذَا قَعَدَ فِى التَّشَهُّدِ وَضَعَ يَدَهُ الْيُسْرَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُسْرَى وَوَضَعَ يَدَهُ الْيُمْنَى عَلَى رُكْبَتِهِ الْيُمْنَى وَعَقَدَ ثَلاَثَةً وَخَمْسِينَ وَأَشَارَ بِالسَّبَّابَةِ
Dari Ibnu ‘Umar bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika duduk tasyahud, tangan kiri diletakkan di lutut kiri, sedangkan tangan kanan diletakkan di lutut kanan. Lalu ia berisyarat dengan menggenggam simbol lima puluh tiga dan berisyarat dengan jari telunjuk (maksudnya: jari kelingking, jari manis dan jari tengah digenggam, lalu jari telunjuk memberi isyarat, sedangkan jari jempol berada di samping jari telunjuk). (HR. Muslim no. 580).
Tiga pendapat mengenai cara isyarat jari tangan ketika tasyahud disampaikan oleh Imam Nawawi:
1- Jari tengah, jari manis dan jari kelingking digenggam, sedangkan jari telunjuk dan jempol tidak digenggam (dilepas begitu saja).
2- Jari jempol dan jari tengah membentuk lingkaran, yaitu kedua ujung jari tersebut membentuk lingkaran atau ujung jari tengah membentuk lingkaran dengan bagian ruas jari dari jari jempol.
3- Jari jempol dan jari tengah kedua-duanya digenggam. (Al Majmu’, 3: 301)
Imam Nawawi menerangkan cara isyarat jari tangan ketika tasyahud:
Pertama, isyarat tersebut dituju pada arah kiblat. Al Baihaqi berargumen dengan hadits dari Ibnu ‘Umar dari Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam.
Kedua, diniatkan untuk isyarat yaitu ketika menandakan ikhlas dan tauhid. Al Muzani menyebutkan hal itu dalam mukhtashornya dan juga disebutkan oleh ulama Syafi’iyah lainnya. Al Baihaqi berdalil dengan hadits dari seseorang yang majhul dari seorang sahabat radhiyallahu ‘anhu bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berisyarat ketika menyebut kalimat tauhid. Dari Ibnu ‘Abbas radhiyallahu ‘anhuma, yaitu saat berisyarat ikhlas.
Ketiga, dimakruhkan berisyarat dengan dua jari telunjuk dari dua tangan karena yang dianjurkan, tangan kiri tetap dalam keadaan terbuka.
Keempat, seandainya tangan kanan terpotong, maka sunnah berisyarat dengan jari jadi gugur dan tidak perlu berisyarat dengan jari lainnya.
Kelima, pandangan tidak melebihi isyarat jari. Al Baihaqi berdalil dengan hadits dari Abdullah bin Zubair bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meletakkan tangan kanannya dan berisyarat dengan jarinya dan pandangannya tidak melebihi isyarat tersebut. Dalam hadits disebutkan,
لاَ يُجَاوِزُ بَصَرُهُ إِشَارَتَهُ
“Janganlah pandangannya melebihi isyarat jarinya.” (HR. Abu Daud no. 990. Al Hafizh Abu Thohir mengatakan bahwa sanad hadits ini hasan) (Al Majmu’, 3: 302).
Simak video berikut :
1. Isyarat Telunjuk :
2. Bacaan pada tasahud awal dan salawat :
3. Bacaan tasahud akhir :
4. Menggerakkan jari telunjuk ketika tasyahud.
Baca : "Panduan Shalat Sesuai Sunnah" lainnya [KLIK DISINI]
Komentar
Posting Komentar