Mengapa Para Menteri Saudi Bersalaman Dengan Wanita Bukan Mahram?
#ولي_العهد_في_الهند | ولي العهد الامير محمد بن سلمان يلتقي رئيسة جمهورية #الهند في القصر الرئاسي في نيودلهي، وقد أجريت لسموه مراسم استقبال رسمية بحضور رئيس وزراء جمهورية الهند. 🇸🇦🇮🇳
HRH the Crown Prince Mohammed bin Salman and President of India held a meeting at the presidential palace in New Delhi, where a dinner banquet was held in HRH the Crown Prince's honor.
HRH the Crown Prince met with the President of India at the presidential palace in New Delhi, and an official reception ceremony was held for HRH the Crown Prince, in the presence of the Indian Prime Minister. 🇸🇦🇮🇳
Sumber video : https://fb.watch/m-XRcKRDVG/?mibextid=Nif5oz
-----
Mengapa Para Menteri Saudi Bersalaman Dengan Wanita Bukan Mahram?
Pertanyaan :Assalamu alaikum wr. wb.
Saya menyaksikan di televisi para menteri dari Kerajaan Saudi Arabia itu kenapa mau saja bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram. Meskipun mereka termasuk jajaran menteri di negara kita, namun tetap saja mereka bukan mahram. Bukankah hukumnya haram?
Mohon penjelasan dari ustadz dan saya ucapkan terima kasih.
Wassalam
Jawaban :
Oleh : Ust. Ahmad Sarwat, Lc., MA
Assalamu 'alaikum warahmatullahi wabarakatuh.
Kalau pertanyaannya mengapa para menteri bersalaman dengan lawan jenis, maka yang paling tepat untuk menjawabnya tentu yang melakukannya. Kita tidak tahu apa landasannya, barangkali ada alasan yang kita belum ketahui.
Tapi kalau pertanyaannya apakah bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram itu haram mutlak, maka jawabannya memang ada beberapa penegecualian, dimana para ulama berbeda pendapat tentang pengecualiannya.
Dan masalah ini memang menarik untuk dikaji secara lebih dalam, bukan untuk mencari bahan pertentangan di tengah umat, tetapi justru untuk konsumsi para ahli, peneliti serta pengajar ilmu fiqih, agar memiliki wawasan yang lebih jauh, persepektif yang lebih luas serta kekayaan khazanah fiqih ikhtilaf yang lebih mumpuni.
Satu hal yang penting sekali disekapati bahwa dalam hal ini kita terpaksa menerima adanya ikhtilaf di kalangan para fuqaha. Hukumnya memang tidak bulat dan qath’i, dimana ada jumhur (mayoritas) ulama yang berhadapan minoritas yang menjadi lawan ‘debatnya’.
Dan untuk lebih akuratnya pembahasan ini, kita harus melakukan tahrir mahal an-niza’ (تحرير محل النزاع) terlebih dahulu, yaitu upaya untuk memetakan duduk masalahnya sebelum terjebak pada hal-hal yang terlalu detail dalam perbedaan pandangan di kalangan para ulama.
Setidaknya dalam hal ini ada hal-hal yang sudah menjadi kesepakatan para ulama atas keharaman dan kebolehannya. Dan juga tentu ada hal-hal yang belum disepakati halal haramnya.
A. Hal-hal Yang Disepakati Ulama
Ada hal-hal yang sudah menjadi kesepakatan para ulama atas keharaman dan kebolehannya, namun ada juga wilayah yang tidak disepakati.
1. Hal-hal Yang Disepakati Keharamannya
Seluruh ulama sepakat bahwa berjabat-tangan atau bersalaman antara laki-laki dengan wanita hukumnya diharamkan, yaitu apabila disertai dengan syahwat atau nafsu.
Hal ini diperkuat lagi oleh apa yang dikemukakan para ulama bahwa bersentuhan kulit antara laki-laki dengan mahramnya yang pada asalnya mubah itu bisa berubah menjadi haram, apabila disertai dengan syahwat dan nafsu. Misalnya ayah tiri dengan anak perempuan tiri, atau laki-laki dan wanita yang bersaudara sepersusuan. Meski mereka mahram, tetapi secara perasaan hati sudah barang tentu tidak sama dengan perasaan hati antara ibu kandung dengan anak kandungnya, atau antara kakak dan adik wanita sendiri, atau antara ayah dengan puteri kandungnya langsung.
Maka bila bernafsu walaupun dengan mahram sendiri, hukumnya sudah haram. Apalagi bila dengan yang bukan mahram.
2. Hal-hal Yang Disepakati Kebolehannya
Para ulama juga sepakat adanya pengecualian berjabat tangan dengan wanita tertentu, antara lain :
a. Wanita Mahram
Bersalaman dengan lawan jenis yang merupakan mahram telah disepakati ulama kebolehannya. Tentu saja dengan syarat tidak ada syahwat yang membayanginya. Seperti seorang laki-laki bersalaman dengan ibu kandung sendiri, atau dengan anak perempuannya, saudari perempuan, bibi, nenek, keponakan dan seterusnya. Termasuk yang mahram karena mushaharah seperti ibu mertua, anak menantu, ibu tiri dan anak tiri.
Asalkan tidak pakai nafsu dan syahwat, maka hukumnya disepakati boleh dilakukan dan tidak menjadi keharaman.
b. Wanita Tua
Wanita tua yang sudah tidak punya gairah terhadap laki-laki, demikian pula dengan anak-anak kecil yang belum mempunyai syahwat terhadap laki-laki, maka hukumnya juga tidak dilarang. Sebab berjabat tangan dengan mereka itu aman dari sebab-sebab fitnah. Begitu pula bila si laki-laki sudah tua dan tidak punya gairah terhadap wanita.
Hal ini didasarkan pada riwayat dari Abu Bakar RA bahwa beliau pernah berjabat tangan dengan beberapa orang wanita tua, dan Abdullah bin Zubair mengambil pembantu wanita tua untuk merawatnya, maka wanita itu mengusapnya dengan tangannya dan membersihkan kepalanya dari kutu.
Hal ini sudah ditunjukkan Al-Qur’an dalam membicarakan perempuan-perempuan tua yang sudah berhenti (dari haid dan mengandung), dan tiada gairah terhadap laki-laki, dimana mereka diberi keringanan dalam beberapa masalah pakaian yang tidak diberikan kepada yang lain:
وَالْقَوَاعِدُ مِنَ النِّسَاءِ اللَّاتِي لَا يَرْجُونَ نِكَاحًا فَلَيْسَ عَلَيْهِنَّ جُنَاحٌ أَنْ يَضَعْنَ ثِيَابَهُنَّ غَيْرَ مُتَبَرِّجَاتٍ بِزِينَةٍ ۖ وَأَنْ يَسْتَعْفِفْنَ خَيْرٌ لَهُنَّ ۗ وَاللَّهُ سَمِيعٌ عَلِيمٌ
Dan perempuan-perempuan tua yang telah terhenti (dari haid dan mengandung) yang tiada ingin kawin (lagi), tiadalah atas mereka dosa menanggalkan pakaian mereka dengan tidak (bermaksud) menampakkan perhiasan, dan berlaku sopan adalah lebih baik bagi mereka. Dan Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. (QS An-Nur: 60)
c. Laki-laki Yang Tidak Punya Gairah dan Anak Kecil
Dikecualikan pula laki-laki yang tidak memiliki gairah terhadap wanita dan anak-anak kecil yang belum muncul hasrat seksualnya. Mereka dikecualikan dari sasaran larangan terhadap wanita-wanita mukminah dalam hal menampakkan perhiasannya.
أَوِ التَّابِعِينَ غَيْرِ أُولِي الْإِرْبَةِ مِنَ الرِّجَالِ أَوِ الطِّفْلِ الَّذِينَ لَمْ يَظْهَرُوا عَلَىٰ عَوْرَاتِ النِّسَاءِ
Atau pelayan-pelayan laki-laki yang tidak mempunyai keinginan (terhadap wanita) atau anak-anak yang belum mengerti tentang aurat wanita …(QS. An-Nur: 31)
3. Diperselisihkan
Tinggallah tersisa kondisi yang ketiga, yaitu bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram, juga bukan wanita yang sudah tua, sementara pihak laki-laki juga bukan orang yang sudah hilang gairahnya. Hanya saja bersalaman ini dilakukan sama sekali tanpa syahwat, tidak menimbulkan fitnah, dan tidak ada celah untuk terjadinya hal-hal yang negatif. Apakah masih termasuk diharamkan juga atau bagaimana, maka dalam hal ini memang para ulama berbeda pendapat, ada yang tetap mengharamkan dan ada sebagian yang masih membolehkan.
B. Pendapat yang Mengharamkan Secara Mutlak
Kita menemukan ada banyak kalangan ulama yang tetap mengharamkan secara mutlak. Dan dari segi argumentasi, ada begitu banyak dalil yang dikemukakan dari pihak-pihak yang mengharamkan secara mutlak, antara lain hadits tidak bersalamannya Nabi SAW ketika membaiat para wanita shahabiyah, serta hadits ditusuknya dengan besi panas dan sebagainya.
1. Bai'at Wanita Tidak Menjabat Tangan
Kebanyakan ulama yang mengharamkan bersalamannya laki-laki dan wanita yang bukan mahram mendasarkan larangannya dengan peristiwa dimana Rasulullah SAW secara tegas menolak bersalaman dalam peristiwa baiat.
عن عائشة - رضي الله عنها - قالت: والله ما أخذ رسول الله صلى الله عليه وسلم على النساء قط إلا بما أمره الله تعالى وما مست كف رسول الله صلى الله عليه وسلم كف امرأة قط وكان يقول لهن إذا أخذ عليهن البيعة: "قد بايعتكن كلامًا
Aisyah berkata bahwa Rasulullah SAW tidaklah pernah menyentuh wanita sama sekali sebagaimana yang Allah perintahkan. Tangan beliau tidaklah pernah menyentuh tangan mereka. Ketika baiat, beliau hanya membaiat melalui ucapan dengan berkata, “Aku telah membaiat kalian. (HR. Bukhari Muslim)
Aisyah radhiyallahuanha secara tegas berfatwa bahwa larangan menyentuh wanita yang bukan mahram didasarkan pada tindakan Rasulullah SAW yang menolak bersalaman ketika membai'at para wanita. Dan apa yang dilakukan oleh beliau SAW memang menjadi hukum dengan dalil firman Allah SWT :
قُلْ إِنْ كُنْتُمْ تُحِبُّونَ اللَّهَ فَاتَّبِعُونِي يُحْبِبْكُمُ اللَّهُ وَيَغْفِرْ لَكُمْ ذُنُوبَكُمْ وَاللَّهُ غَفُورٌ رَحِيمٌ
Katakanlah: "Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu". Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. Ali Imran : 31)
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانْتَهُوا
Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarangnya bagimu, maka tinggalkanlah. (QS. Al-Hasyr : 7)
2. Ditusuk Jarum Besi
Dalil lainnya terkait dengan haramnya bersalaman dengan lawan jenis bukan mahram adalah hadits yang mengancam pelakunya akan ditusuk dengan jarum terbuat dari besi pada bagian kepalanya.
لأَنْ يُطْعَنَ فِي رَأْسِ رَجُلٍ بِمِخْيَطٍ مِنْ حَدِيدٍ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً لا تَحِلُّ لَهُ
Ditusuknya kepala seseorang dengan pasak dari besi, sungguh lebih baik baginya daripada menyentuh wanita yang bukan mahramnya. (HR. Ath-Thabrani)
Kalau sekedar menyentuh wanita yang tidak halal itu saja sudah diancam dengan ditusuk dengan jarum besi, maka apalagi sampai bersalaman, dimana satu sama lain saling mengenggam tangan. Tentu dari sisi hukumnya sudah jelas jauh lebih haram lagi. Dan ancaman ditusuk kepala ini jelas merupakan bentuk hukuman yang sadis di dalam neraka. Tidaknya ada hukuman yang sadis di neraka, kecuali level keharamannya itu tinggi serta level dosanya bukan dosa biasa, melainkan termasuk dosa besar (al-kabair).
3. Semua Yang Haram Dilihat Maka Haram Disentuh
Selain dua dalil di atasjuga ada dalil lain dengan nalar dan logika. Para wanita yang bukan mahram itu kalau dilihat saja sudah haram hukumnya, maka apalagi kalau disentuh, tentu lebih haram lagi hukumnya. Dan itulah yang dikatakan oleh Al-Imam An-Nawawi (w. 676 H) rahimahullah. Beliau menuliskan pendapatnya di dalam kitab Al-Majmu' Syarah Al-Muhadzdzab sebagai berikut :
كل من حرم النظر إليه حرم مسه وقد يحل النظر مع تحريم المس فانه يحل النظر إلى الاجنبية في البيع والشراء والاخذ والعطاء ونحوها ولا يجوز مسها في شئ من ذلك
Setiap yang diharamkan untuk dipandang, maka haram untuk disentuh. Namun ada kondisi yang membolehkan seseorang memandang -tetapi tidak boleh menyentuh, yaitu ketika bertransaksi jual beli, ketika serah terima barang, dan semacam itu. Namun sekali lagi, tetap tidak boleh menyentuh dalam keadaan-keadaan tadi.[1]
4. Saddan li Adz-Dzari’ah
Dr. Yusuf Al-Qaradhawi menyebutkan bahwa di antara dalil keharaman berjabat tangan dengan lawan jenis yang bukan mahram adalah saddan li adz-dzari’ah (سدا للذريعة), yaitu untuk mencegah terjadinya hal-hal yang haram di kemudian hari, manakala pintu-pintunya dibuka sejak sekarang.
Berjawab tangan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram itu kalau pun tidak secara langsung diharamkan, tetapi dikhawatirkan nantinya akan menimbulkan tindakan haram. Maka pencegahan itu lebih baik dari pada pengobatan.
C. Pendapat Yang Membolehkan
Yang dimaksud dengan membolehkan disini tentu saja masih dalam batas koridor yaitu tidak menimbulkan syahwat, tidak dengan berduaan (khalwah) dengan lawan jenis yang bukan mahram serta tidak menimbulkan fitnah atau bahan pembicaraan kotor di tengah manusia.
Contohnya seperti bersalamannya dua pejabat resmi negara dalam acara resmi yang dihadiri oleh orang banyak, dimana tidak dimungkinkan terjadinya syahwat, khalwat serta fitnah. Adapun dalil yang menjadi landasan pendapat ini antara lain :
1. Dua Kritik Atas Kisah Bai'at Wanita
Peristiwa Baiat Wanita dimana Rasulullah SAW disebutkan tidak menyentuh atau tidak menjabat tangan para wanita ternyata dikiritisi oleh pihak yang membolehkan dengan dua masalah:
a. Kritik Atas Keshahihannya
Menurut mereka kisah tidak bersalamannya Nabi SAW dengan para wanita di dalam baiat itu ternyata tidak satu versi, namun ada beberapa versi. Kalau kalangan yang mengharamkan meyakini bahwa dalam peristiwa itu Rasulullah SAW menolak untuk bersalaman dengan para wanita, maka versi yang lain malah menyebutkan beliau SAW justru bersalaman dengan para wanita.
b. Kritik Atas Istidlalnya (Cara Penyimpulan Hukumnya)
Seandainya secara sanad diterima bahwa Rasulullah SAW memang tidak bersalaman dengan wanita dalam peristiwa itu, bukan berarti hal itu menjadi dasar untuk mengharamkan. Sebab ada kadaih bahwa at-tarku (الترك), yaitu ketika Nabi SAW meninggalkan suatu pekerjaan, tidak lantas berarti hukumnya haram.
Sebab ada banyak sekali perbuatan yang ditinggalkan oleh Rasulullah SAW, seperti ketika beliaw SAW sengaja tidak makan daging dhab (hewan mirip biawak), tetapi membiarkan para shahabat memakannya. Maka hukumnya disepakati bahwa hewan itu tidak haram. Sebab kalau haram, pastilah beliau SAW melarang para shahabat memakannya. Disini jelas sekali bahwa tidak mentang-mentang Nabi SAW meninggalkannya, bukan berarti lantas hukumnya jadi haram.
Dr. Yusuf Al-Qaradawi di dalam fatwanya juga menyatakan hal senada,”Ada ketentuan bahwa apabila Nabi SAW meninggalkan suatu urusan, maka hal itu tidak menunjukkan – secara pasti – akan keharamannya. Kadang kala beliau meninggalkan sesuatu karena haram, kadang juga karena makruh, kadang karena hal itu kurang utama, atau terkadang hanya semata-mata karena beliau tidak berhasrat kepadanya. Kalau begitu, sikap Nabi SAW tidak berjabat tangan dengan wanita itu tidak dapat dijadikan dalil untuk menetapkan keharamannya. Dan harus ada dalil lain yang menguatkan bagi orang yang berpendapat demikian.
2. Kritik Hadits Ancaman Kepala Ditusuk Jarum Besi
Sedangkan hadits ancaman bahwa laki-laki yang menyentuh kulit wanita bukan mahram akan ditusuk kepalanya dengan jarum dari besi, minimal punya dua kelemahan, yaitu :
a. Tidak Disepakati Keshahihannya
Hadits ancaman ditusuk dengan jarum besi di kepala bagi laki-laki yang menyentuh wanita bukan mahramnya ternyata statusnya tidak shahih. Di antara yang mengatakan seperti itu adalah Dr. Yusuf Al-Qaradhawi. Beliau di dalam fatwanya menyebutkan bahwa para ulama ahli hadits tidak menyatakan secara jelas akan keshahihan hadits tersebut. Beliau menyebutkan bawa hanya al-Mundziri dan al-Haitsami yang mengatakan bahwa,”Para perawinya adalah perawi-perawi kepercayaan atau perawi-perawi shahih.”
Perkataan seperti ini saja tidak cukup untuk menetapkan keshahihan hadits tersebut, karena masih ada kemungkinan terputus jalan periwayatannya (inqitha’) atau terdapat ‘illat (cacat) yang samar. Karena itu, hadits ini tidak diriwayatkan oleh seorang pun dari penyusun kitab-kitab yang masyhur, sebagaimana tidak ada seorang pun fuqaha terdahulu yang menjadikannya sebagai dasar untuk mengharamkan berjabat tangan antara laki-laki dengan perempuan dan sebagainya.
b. Menyentuh Bermakna Jima’
Larangan menyuntuh di dalam teks hadits itu menggunakan kata al-massu (المسّ) dan bukan al-lamsu (اللمس). Meski keduanya mirip sehingga dalam terjemahan Bahasa Indonesia keduanya sama-sama diartikan sebagai ‘menyentuh’, tetapi secara bahasa dan hakikat ternyata kedua istilah itu saling jauh berbeda satu sama lain.
Ibnu Abbas berkata bahwa al-mass dalam Al-Quran dipakai sebagai kiasan untuk jima’ atau hubungan seksual, misalnya firman Allah yang diucapkan Maryam:
قَالَتْ رَبِّ أَنَّىٰ يَكُونُ لِي وَلَدٌ وَلَمْ يَمْسَسْنِي بَشَرٌ
Bagaimana mungkin aku akan mempunyai anak padahal aku belum pernah disentuh oleh seorang laki-laki pun … (QS. Ali Imran: 47)
وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ
Jika kamu menceraikan istri-istrimu sebelum kamu menyentuh mereka (QS. Al-Baqarah: 237)
Kedua ayat di atas menggunakan lafadz al-mass (المسّ) yang di semua kitab tafsir dimaknai sebagai jima’ alias hubungan seksual. Tidak mungkin Maryam bisa hamil kalau hanya disentuh kulitnya oleh laki-laki, tetapi dia bisa hamil kalau disetubuhi. Demikian juga suami yang menceraikan istrinya sebelum menyentuhnya, tentu maksudnya bukan sebatas sentuhan kulit, melainkan maksudnya adalah melakukan persetubuhan dengan istrinya.
Oleh karena itu ketika lafadz hadits yang melarang itu menggunakan lafadz yang sama, yaitu مِنْ أَنْ يَمَسَّ امْرَأَةً, maka pengertiannya bukan sekedar menyentuh kulitnya semata, melainkan maksudnya tidak lain adalah menyetubuhi atau berjima’ dengannya. Dan semua ulama sepakat bahwa berjima’ dengan wanita yang tidak halal itu hukumnya terlarang, berdosa besar, serta pelakunya berhak untuk mendapatkan ancaman serius seperti itu.
3. Budak Wanita Memegang Tangan Nabi SAW
Mereka yang membolehkan bersalaman juga berhujjah dengan hadits shahih riwayat Bukhari, dimana Rasululah SAW pernah dipegang tangannya oleh budak wanita.
إن كانت الأمة من إماء المدينة لتأخذ بيد رسول الله فتنطلق به حيث شاءت
Sesungguhnya seorang budak wanita di antara budak-budak penduduk Madinah memegang tangan Rasulullah SAW, lalu membawanya pergi ke mana ia suka. (HR. Bukhari)
Dalam riwayat Imam Ahmad dari Anas juga, ia berkata:
Sesungguhnya seorang budak perempuan dari budak-budak penduduk Madinah datang, lalu ia memegang tangan Rasulullah SAW, maka beliau tidak melepaskan tangan beliau dari tangannya sehingga dia membawanya pergi ke mana ia suka.
Tentu saja budak wanita bukanlah wanita yang menjadi mahram bagi Nabi SAW. Namun demikian, wanita itu memegang tangan beliau SAW dan tidak dilepaskan, bahkan dibawa kemana dia suka.
Secara sanad periwayatan hadits ini berstatus shahih Bukhari dan secara istidlal sulit ditampil kebenaran hadits ini bahwa beliau menyentuh tangan wanita yang bukan mahram.
a. Kritik Dari Kalangan Yang Mengharamkan
Hadits ini meskipun shahih dari sisi isnadnya, namun dalam menarik kesimpulan hukumnya dikritisi oleh kalangan yang mengahramkan bersalaman.
Ibnu Hajar Al-Asqalani (w. 852 H) tidak menyebutkan secara langsung, namun dalam kitabnya Fathul Bari beliau menafsirkan makna budak wanita mengambil tangan Rasulullah SAW sebagai wujud sifat tawadhu’ yang dimiliki oleh beliau SAW :
والمقصود من الأخذ باليد لازمه وهو الرفق والانقياد وقد اشتمل على أنواع من المبالغة في التواضع لذكره المرأة دون الرجل والأمة دون الحرة وحيث عمم بلفظ الإماء أي أمة كانت وبقوله حيث شاءت أي من الأمكنة والتعبير بالأخذ باليد إشارة إلى غاية التصرف حتى لو كانت حاجتها خارج المدينة والتمست منه مساعدتها في تلك الحاجة لساعد على ذلك وهذا دال على مزيد تواضعه وبراءته من جميع أنواع الكبر
Yang dimaksud dengan memegang tangan disini ialah kelazimannya, yaitu kasih sayang dan ketundukan, dan ini meliputi bermacam-macam kesungguhan dalam tawadhu’, karena disebutkannya perempuan bukan laki-laki, dan disebutkannya budak bukan orang merdeka, digunakannya kata-kata umum dengan lafal al-imaa’ (budak-budak perempuan), yakni budak perempuan yang mana pun, dan dengan perkataan haitsu syaa’at (ke mana saja ia suka), yakni ke tempat mana saja. Dan ungkapan dengan “mengambil/memegang tangannya” itu menunjukkan apa saja yang dilakukannya, sehingga meskipun si budak perempuan itu ingin pergi ke luar kota Madinah dan dia meminta kepada beliau untuk membantu memenuhi keperluannya itu niscaya beliau akan membantunya. Ini merupakan dalil yang menunjukkan betapa tawadhu’nya Rasulullah SAW dan betapa bersihnya beliau dari sikap sombong.[2]
4. Kisah Ummu Haram
Selain kisah budak wanita di atas, dasar kebolehan bersentuhan kulit dengan wanita bukan mahram adalah bahwa pernah Nabi SAW tidur siang hari di rumah bibi Anas yang bernama Ummu Haram binti Milhan istri Ubadah bin Shamit. Dan beliau tidur di sisi Ummu Haram dengan meletakkan kepala beliau di pangkuan Ummu Haram, dan Ummu Haram membersihkan kepala beliau dari kutu
أن رسول الله كان يدخل على أم حرام بنت ملحان فتطعمه وكانت أم حرام تحت عبادة بن الصامت - رضي الله عنه - فدخل عليها رسول الله فأطعمته ثم جلست تفلي رأسه فنام رسول الله ثم استيقظ وهو يضحك
Rasulullah SAW pernah masuk ke rumah Ummu Haram binti Milhan dan diberi makan, Ummu Haram adalah istri Ubadah bin Shamit. Rasulullah Saw masuk kepadanya dan diberi makan kemudian meletakkan kepala beliau di pangkuan Ummu Haram sambil Ummu Haram membersihkan kepala beliau dari kutu hingga tertidur, lalu beliau bangun dan tertawa. (HR. Bukhari dan Muslim)
Jelas sekali hadits ini merupakan hadits shahih secara sanad, adapun secara matan jelas menunjukkan bahwa beliau bukan hanya tersentuhan kulit, tetapi bahkan tertidur di pangkuan Ummum Haram. Dan dengan hadits ini maka bersentuan dengan wanita bukan mahram tidak terlarang.
Hadits ini meskipun shahih dari sisi isnadnya, namun dalam menarik kesimpulan hukumnya, kalangan tetap ingin mengharamkan bersalaman dengan dua jawaban yang diajukan, yaitu bahwa Ummu Haram itu termasuk mahram Rasulullah SAW, dan bahwa hal itu merupakan kekhususan bagi beliau SAW
a. Kemahraman Ummu Haram radhiyallahuanha
Disebutkan bahwa Ummu Haram radhiyallahuanha itu masih termasuk ‘bibi’ Rasulullah SAW. Sehingga tidak mengapa kalau beliau SAW tertidur di pangkuannya.
Hanya saja yang jadi kritik adalah ternyata tidak bisa dibuktikan dengan pasti lewat jalur mana hubungan kemahramannya, apakah lewat jalur nasab, mushaharah ataukah jalur radha’ah alias penyusuan?
Kalau memang lewat jalur nasab, maka tidak pernah berhasil dibuktikan skema kemahraman Nabi SAW lewat jalur nasab kepada Ummu Haram itu. Padahal jalur nasab di kalangan orang-orang Arab itu sangat jelas, dimana mereka punya dokumen keluarga yang tersimpan aman. Demikian juga tidak pernah bisa dibuktikan bagaimana kemahraman lewat jalur mushaharah atau pernikahan. Ummu Haram radhiyallahuanha bukan menantu atau mertua Nabi SAW, juga bukan anak tiri atau ibu tiri dari Rasulullah SAW.
Satu-satunya yang bisa diasumsikan hanya tinggal kemahraman lewat jalur penyusuan. Tetapi telaah yang mendalam tentang apakah pernah beliau SAW menyusu kepada Ummu Haram juga hasilnya nihil. Apalagi diketahui bahwa Ummu Haram itu bukan wanita Quraisy yang tinggal di Mekkah, melainkan beliau adalah wanita dari kalangan anshar yang tinggalnya di Madinah. Beliau baru bertemu Rasulullah SAW setelah peristiwa hijrah, dimana Rasululah SAW sudah berusia 53 tahun. Dan menjadi sangat tidak mungkin kalau beliau SAW menyusu kepada wanita asing di usia setua itu. Kalau pun dilakukan juga, maka tidak akan menyebabkan kemahraman. Al-hasil, tidak pernah terbukti ada riwayat yang menyebutkan hal itu, kecuali hanya asumsi belaka.
Maka para pendukung pemikiran bahwa Ummu Haram itu masih mahramnya Rasulullah SAW hanya tinggal punya satu-satunya alasan, yaitu yang menyusu bukan Rasulullah SAW secara langsung, melainkan lewat jalur penyusuan dari ayahanda beliau SAW yang bernama Abdullah. Disebutkan dalam sejarah Abdullah lahir di Madinah. Maka kalau dia menyusu kepada wanita di Madinah masih ada kemungkinan.
b. Kekhususan Nabi SAW
Para pendukung keharaman bersalaman ada juga yang mengajukan logika lain atas hadits ini, yaitu bahwa peristiwa itu memang nyata ada dan terjadi, serta Ummu Haram memang bukan mahram bagi Nabi SAW. Namun mereka mengatakan bahwa ini merupakan pengecualian atau kekhususan (خصوصية) yang hanya berlaku pada diri beliau seorang, lantaran beliau adalah seorang yang ma’shum dan terjaga dari melakukan hal-hal yang dilarang.
Namun logika ini tetap punya masalah, yaitu untuk mengatakan bahwa suatu kejadian itu merupakan kekhususan yang hanya berlaku pada diri Rasulullah SAW, maka diperlukan qarinah atau pembanding yang menegaskan adanya kekhususan dan bukan hanya dengan asumsi belaka. Ketika tidak ada qarinah, maka klaim atas kekhususan itu menjadi sekedar asumsi tapi tidak bisa menjadi dasar hukum.
Al-Qadhi ‘Iyadh menegaskan bahwa kekhususan itu tidak dapat ditetapkan dengan sesuatu yang bersifat kemungkinan. Nabi SAW memang ma’shum, tetapi masalah kekhususan itu tidak ada dalilnya.
Al-Hafizh ad-Dimyati mengemukakan sanggahan yang lebih keras lagi terhadap orang yang mengatakan kemungkinan pertama, yaitu anggapan tentang adanya hubungan kemahraman antara Nabi SAW dengan Ummu Haram. Beliau berkata:
Orang yang menganggap Ummu Haram sebagai salah seorang bibi Nabi SAW, baik bibi susuan maupun bibi nasab adalah orang yang rancu. Karena sudah jelas siapa saja wanita yang pernah menyusui Nabi SAW dan tidak ada seorang pun di antara mereka yang berasal dari wanita Anshar selain Ummu Abdil Muthalib, yaitu Salma binti Amr bin Zaid bin Lubaid bin Hirasy bin Amir bin Ghanam bin Adi bin an-Najjar; dan Ummu Haram adalah binti Milhan bin Khalid bin Zaid bin Haram bin Jundub bin Amir tersebut. Maka nasab Ummu Haram tidak bertemu dengan nasab Salma kecuali pada Amir bin Ghanam, kakek mereka yang sudah jauh ke atas. Dan hubungan bibi (yang jauh) ini tidak menetapkan kemahraman, sebab ini adalah bibi majazi, seperti perkataan Nabi SAW terhadap Sa’ad bin Abi Waqash, “Ini pamanku” karena Sa’ad dari Bani Zahrah, kerabat ibu beliau Aminah, sedangkan Sa’ad bukan saudara Aminah, baik nasab maupun susuan.”
D. Pendapat Empat Mazhab
Terlepas dari perbedaan dalam urusan dalil-dalil, berikut ini adalah pendapat para ulama 4 (empat) madzhab seputar hukum berjabatan tangan atau salaman antara laki-laki dan wanita bukan mahram (muhrim).
1. Madzhab Hanafi
Ibnu Najim dalam kitab Al-Bahru Ar-Raiq menuliskan sebagai berikut :
ولا يجوز له أن يمس وجهها ولا كفها وإن أمن الشهوة لوجود المحرم ولانعدام الضرورة
Laki-laki tidak boleh menyentuh wajah dan telapak tangan wanita walaupun aman dari syahwat karena itu diharamkan dan tidak adanya hal yang mendesak (darurat)[3]
2. Madzhab Maliki
Muhammad bin Ahmad Ulaisy menuliskan dalam kitab Minah al-Jalil ala Syarh Mukhtasar Khalil sebagai berikut :
ولا يجوز للأجنبي لمس وجه الأجنبية ولا كفيها ، فلا يجوز لهما وضع كفه على كفها بلا حائل
Tidak boleh bagi ajnabi menyentuh wajah wanita ajnabiyah ataupun kedua telapak tanganya. Tidak boleh meletakkan telapak tangannya di telapak telapak tangan wanita tanpa pelapis. [4]
3. Madzhab Syafi'i
An-Nawawi (w. 676 H) menyebutkan bahwa haram hukumnya berjabat tangan dengan wanita bukan mahram.[5]
Imam Waliuddin Al-Iraqi menuliskan di dalam Tarhut Tatsrib sebagai berikut :
أنه عليه الصلاة والسلام لم تمس يده قط يد امرأة غير زوجاته وما ملكت يمينه لا في مبايعة ولا في غيرها وإذا لم يفعل هو ذلك مع عصمته وانتفاء الريبة في حقه : فغيره أولى بذلك
Nabi tidak pernah menyentuh perempuan yang selain istri-istrinya baik saat membaiat atau situasi lain. Apabila Nabi yang sudah terpelihara dari berbagai macam keraguan tidak melakukannya, maka yang lain semestinya lebih tidak boleh lagi.[6]
Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul-Muin mengatakan sebagai berikut :
وَحَيْثُ حُرِّمَ نَظْرُهُ حُرِّمَ مَسُّهُ بِلَا حَائِلٍ لِأَنَّهُ أَبْلَغُ فِيْ اللَّذَّةِ.
Sekiranya haram melihatnya maka haram pula menyentuhnya tanpa pemisah, karena memegang itu lebih menimbulkan ladzah.[7]
4. Madzhab Hanbali
Ibnu Muflih menuliskan di dalam kitabnya Al-Adab Asy-Syar'iyyah sebagai berikut :
وسئل أبو عبد الله – أي الإمام أحمد – عن الرجل يصافح المرأة قال : لا وشدد فيه جداً ، قلت : فيصافحها بثوبه ؟ قال : لا ...
Imam Ahmad ditanya tentang laki-laki yang bersalaman dengan perempuan. Beliau menjawab,”Sangat-sangat tidak boleh”. Ditanya lagi,”Bagaimana kalau ada lapisan baju?”. Beliau menjawab lagi,”Tetap tidak boleh”. [8]
E. Pendapat Para Ulama Kontemporer
Di masa sekarang ini nampak pendapat ulama kontemporer tidak terlalu jauh berbeda pandangan dengan para pendahulunya. Mereka umumnya juga mengharamkan bersalaman dengan lawan jenis yang bukan mahram. Namun satu dua tokoh kadang kita temukan punya pandangan yang agak berbeda.
Dr. Yusuf Qaradawi
Dr. Yusuf Qaradawi mempunyai pandangan yang agak berbeda dalam soal jabat tangan dengan perempuan bukan mahram. Menurut Qardhawi, hukum bersalaman dengan perempuan non-mahram adalah makruh alias tidak haram dengan syarat:
a. Tidak Ada Syahwat
Berarti kalau bersalaman itu menimbulkan syahwat maka hukumnya tetap haram.
b. Aman Dari Fitnah
Apabila dikuatirkan terjadi fitnah dari salah satu pihak atau bangkitnya syahwat, maka hukumnya haram. Bahkan, bersalaman dengan perelpuan mahram pun, kalau membangkitkan syahwat, hukumnya haram. Seperti bersalaman dengan ibu mertua, bibi, istri ayah, dan lain-lain yang termasuk dari perempuan mahram.
c. Bersalaman Dengan Singkat
Yusuf Qardhawi membahas aspek hukum secara mendalam sebelum sampai pada kesimpulan di atas, termasuk dalam menganalisa dasar-dasar dari Quran dan hadits yang sebagian dikutip di catatan kaki di bawah.
Wallahu a'lam bishshawab. Wassalamu 'alaikum wr. wb.
Catatan kaki :
[1] An-Nawawi, Al-Majmu’Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 4 lhm. 635
[2] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, jilid 10 hlm.490
[3] Ibnu Najim, Al-Bahru Ar-Raiq, jilid 8 hal. 219
[4] Muhammad bin Ahmad Ulaisy, Minah al-Jalil ala Syarh Mukhtasar Khalil, jilid 1 hlm. 223
[5] An-Nawawi, Al-Majmu’Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 4 lhm. 515
[6] Tarhut Tatsrib, jilid 7 hlm. 45-46
[7] Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Muin hal. 98
[8] Ibnu Muflih, Al-Adab Asy-Syar'iyyah, jilid 2 hlm. 257
Sumber : https://www.rumahfiqih.com
[1] An-Nawawi, Al-Majmu’Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 4 lhm. 635
[2] Ibnu Hajar Al-Asqalani, Fathul Bari, jilid 10 hlm.490
[3] Ibnu Najim, Al-Bahru Ar-Raiq, jilid 8 hal. 219
[4] Muhammad bin Ahmad Ulaisy, Minah al-Jalil ala Syarh Mukhtasar Khalil, jilid 1 hlm. 223
[5] An-Nawawi, Al-Majmu’Syarah Al-Muhadzdzab, jilid 4 lhm. 515
[6] Tarhut Tatsrib, jilid 7 hlm. 45-46
[7] Zainuddin Al-Malibari dalam kitab Fathul Muin hal. 98
[8] Ibnu Muflih, Al-Adab Asy-Syar'iyyah, jilid 2 hlm. 257
Sumber : https://www.rumahfiqih.com
Komentar
Posting Komentar