Tatacara Shalat Bagi Orang Sakit

Tatacara Shalat Bagi Orang Sakit

Segala puji bagi Allah Tabarakallah wa Ta'ala, Rabb semesta alam. Shalawat dan salam kepada Nabi kita Muhammad shallallahu 'alaihi wa sallam, keluarga dan sahabatnya.

Saat ini kita akan melanjutkan pembahasan bersuci bagi orang sakit dengan pembahasan shalat bagi mereka. Masih dari sumber yang sama kami ambil, yaitu dari pembahasan Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahulla dari Thoharotul Maridh wa Sholatuhu. Semoga bermanfaat.

Bagaimana cara mengerjakan shalat bagi orang yang sakit?

Pertama; wajib bagi orang yang sakit mengerjakan shalat fardhu dalam keadaan berdiri, walaupun tidak bisa berdiri tegak (berdiri miring), atau bersandar pada dinding atau tongkat.

Kedua; jika tidak mampu shalat sambil berdiri, dia diperbolehkan shalat sambil duduk. Ketika shalat sambil duduk, yang paling utama jika ingin melakukan gerakan berdiri (qiyam) dan ruku’ adalah dengan duduk mutarobi’an (duduk dengan kaki bersilang di bawah paha). Sedangkan jika ingin melakukan gerakan sujud, yang lebih utama adalah jika dilakukan dengan duduk muftarisyan (duduk seperti ketika tasyahud awwal).

Ketiga; jika tidak mampu mengerjakan shalat sambil duduk, boleh shalat sambil tidur menyamping (yang paling utama tidur menyamping pada sisi kanan) dan badan mengarah ke arah kiblat. Jika tidak mampu diarahkan ke kiblat, boleh shalat ke arah mana saja. Jika memang terpaksa seperti ini, shalatnya tidak perlu diulangi.

Keempat; jika tidak mampu mengerjakan shalat sambil tidur menyamping, maka dibolehkan tidur terlentang. Caranya adalah: kaki dihadapkan ke arah kiblat dan sangat bagus jika kepala agak sedikit diangkat supaya terlihat menghadap ke kiblat. Jika kakinya tadi tidak mampu dihadapkan ke kiblat, boleh shalat dalam keadaan bagaimanapun. Jika memang terpaksa seperti ini, shalatnya tidak perlu diulangi.

Kelima; wajib bagi orang yang sakit melakukan gerakan ruku’ dan sujud. Jika tidak mampu, boleh dengan memberi isyarat pada dua gerakan tadi dengan kepala. Dan sujud diusahakan lebih rendah daripada ruku’.

Jika mampu ruku’, namun tidak mampu sujud, maka dia melakukan ruku’ sebagaimana ruku’ yang biasa dilakukan dan sujud dilakukan dengan isyarat. Jika dia mampu sujud, namun tidak mampu ruku’, maka dia melakukan sujud sebagaimana yang biasa dilakukan dan ruku’ dilakukan dengan isyarat.

Keenam; jika tidak mampu berisyarat dengan kepala ketika ruku’ dan sujud, boleh berisyarat dengan kedipan mata. Jika ruku’, mata dikedipkan sedikit. Namun ketika sujud, mata lebih dikedipkan lagi.

Adapun isyarat dengan jari sebagaimana yang biasa dilakukan oleh sebagian orang yang sakit, maka ini tidaklah benar. Aku sendiri tidak mengetahui kalau perbuatan semacam ini memiliki landasan dari Al Kitab dan As Sunnah atau perkataan ulama.

Ketujuh; jika tidak mampu berisyarat dengan kepala atau kedipan mata, maka dibolehkan shalat dalam hati. Dia tetap bertakbir dan membaca surat, lalu berniat melakukan ruku’, sujud, berdiri dan duduk dengan dibayangkan dalam hati. Karena setiap orang akan memperoleh yang dia niatkan.

Kedelapan; wajib bagi setiap orang yang sakit untuk mengerjakan shalat di waktunya (tidak boleh sampai keluar waktu), dia mengerjakan sesuai dengan kemampuannya sebagaimana yang telah dijelaskan dan tidak boleh mengakhirkan satu shalat dari waktunya.

Jika memang menyulitkan bagi orang yang sakit untuk mengerjakan shalat di waktunya, maka boleh baginya untuk menjama’ shalat (menggabungkan shalat) yaitu menjama’ shalat Zhuhur dan Ashar atau Maghrib dan Isya. Boleh dilakukan dengan jama’ taqdim atau pun jama’ takhir, terserah mana yang paling mudah. Jika mau, dia boleh mengerjakan shalat Ashar di waktu Zhuhur atau boleh juga mengerjakan shalat Zhuhur di waktu Ashar. Begitu pula boleh mengerjakan shalat Isya’ di waktu Maghrib atau boleh juga mengakhirkan shalat Maghrib di waktu Isya’.

Adapun shalat shubuh, maka tidak perlu dijama’ (digabungkan) dengan shalat yang sebelum atau sesudahnya karena waktu shalat shubuh terpisah dengan waktu shalat sebelum atau sesudahnya.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya),

“Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir sampai gelap malam dan (dirikanlah pula shalat) subuh. Sesungguhnya shalat subuh itu disaksikan (oleh malaikat).” (QS. Al Isro’ [17] : 78)

Kesembilan; jika orang yang sakit tersebut ingin bersafar (melakukan perjalanan jauh) karena harus berobat di negeri lain, dia boleh menqashar shalat yaitu shalat 4 raka’at (Zhuhur, ‘Ashar dan Isya’) diringkas menjadi 2 raka’at. Mengqoshor shalat di sini boleh dilakukan hingga dia kembali ke negerinya, baik safar (perjalanan) yang dilakukan dalam waktu lama atau pun singkat.

Shalat bagi Orang yang Pingsan
   
Ketika ada yang pingsan, apakah ia punya kewajiban untuk shalat ketika ia sadar? Bagaimana jika pingsannya sampai beberapa hari? Begitu pula bagaimana jika seseorang tak sadarkan diri karena pengaruh bius, apakah statusnya sama?

Jika seseorang hilang kesadaran bukan karena pilihannya sendiri seperti karena pingsan atau kecelakaan, lantas ia luput dari beberapa shalat, maka sebagian ulama berpendapat tidak ada qadha’ karena ketika pingsan, ia tidak dalam keadaan mukallaf (dibebani suatu kewajiban).  Alasannya dari hadits ‘Ali, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

رُفِعَ الْقَلَمُ عَنْ ثَلاَثَةٍ عَنِ النَّائِمِ حَتَّى يَسْتَيْقِظَ وَعَنِ الصَّبِىِّ حَتَّى يَشِبَّ وَعَنِ الْمَعْتُوهِ حَتَّى يَعْقِلَ

“Pena diangkat dari tiga orang: orang yang tidur sampai ia bangun, anak kecil sampai ia dewasa dan orang gila sampai ia sadar.” (HR. Tirmidzi no. 1423. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih).

Demikian pendapat madzhab Malikiyah dan Syafi’iyah.

Sebagian lainnya berpendapat bahwa tetap ada qadha’ (kewajiban mengganti shalat yang luput). Pendapat kedua ini dipegang oleh madzhab Hambali. Dalam madzhab Hambali dibedakan antara gila dan pingsan. Orang yang gila tidak ada qadha’ ketika luput dari shalat. Sedangkan bagi orang yang pingsan tetap wajib qadha’ karena umumnya pingsan tidak dalam waktu lama. Ada sebuah riwayat dari ‘Ammar ketika ia pingsan dan tidak sadarkan diri sampai 3 hari. Ketika sadar ia bertanya, “Aku sudah shalat apa belum?” Teman-temannya menjawab, “Engkau tidak shalat selama tiga hari.” Lantas ‘Ammar pun berdiri dan melaksanakan shalat untuk tiga hari yang ia luput. Ada dari riwayat ‘Imran bin Hushain dan Jundub radhiyallahu ‘anhuma yang semisal itu. Dan tidak diketahui ada yang menyelisihi hal ini sehingga seakan-akan sebagai ijma’ (kata sepakat sahabat).

Sedangkan ulama Hanafiyah berpendapat bahwa jika shalat yang luput tidak lebih dari 6 shalat, maka tetap ada qadha’. (Lihat Al Mawsu’ah Al Fiqhiyyah, 11: 110 dan fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 151203)

Syaikh ‘Abdul ‘Aziz bin Baz rahimahullah berkata, “Jika seseorang pingsan selama tiga hari atau kurang dari itu, maka ia harus mengqadha’ shalat yang ia tinggalkan. Jika ia pingsan lebih dari tiga hari, maka tidak ada qodho’.” (Fatwa Syaikh Ibnu Baz dinukil dari fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 10229)

Pendapat yang lebih rinci dalam masalah ini, qadha’ (mengganti) shalat bagi orang yang sebelumnya pingsan dibedakan menjadi dua keadaan:

1. Jika pingsannya dengan sendirinya karena sakit atau kecelakaan, maka ia tidak perlu mengqadha’ shalat karena keadaannya tidak seperti orang ketiduran dan tidak bisa dibangunkan saat itu juga. Jadi beda dengan orang yang tertidur. Sehingga kondisi orang yang pingsan adalah antara hilang akal (gila) dan kondisi tidur. Di sini baik ia meninggalkan shalat tadi dalam waktu lama atau hanya sebentar, tidak ada qadha’.

2. Jika tak sadarkan diri karena pengaruh obat bius -artinya atas pilihan sendiri-, lalu baru tersadar setelah 2 atau 3 hari, maka ia punya kewajiban mengqadha’ shalat. Kondisi kedua ini dikenai kewajiban qadha’ karena ia pingsan atas pilihannya sendiri. (Lihat fatwa Syaikh Ibnu ‘Utsaimin di fatwa Al Islam Sual wal Jawab no. 151203)

Kaedah penting yang diberikan oleh Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin rahimahullah di mana beliau berkata, “Jika seseorang hilang kesadaran atas pilihannya sendiri, maka ada kewajiban qadha’. Jika hilang kesadaran bukan atas pilihan sendiri, maka tidak ada qadha’.” (Syarhul Mumthi’, 2: 19).

Simak video berikut :




Baca : "Panduan Shalat Sesuai Sunnah" lainnya [KLIK DISINI]

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Di Masa Kelam, Masjidil Haram mempunyai 4 Mihrab