Tarekat Alawiyah, Tasawuf Kaum Habib


Tarekat Alawiyah, Tasawuf Kaum Habib

Keterkaitan genealogis dengan Nabi SAW menjadi salah satu kekhasan Alawiyah.

Oleh :  HASANUL RIZQA

Kaum habaib dari Hadramaut memiliki tradisi tasawuf yang disebut Tarekat Alawiyah. Jalan salik itu dipandang sebagai aliran yang moderat dan mu'tabarah.

Sebuah Jalan dari Habaib

Tarekat memiliki berbagai makna. Secara etimologis, istilah itu berasal dari bahasa Arab, tariqah, yang berarti 'jalan'. Secara terminologis, tarekat merujuk pada tradisi sufi atau tasawuf sebagai jalan spiritual yang menuju pada Tuhan.

Setiap salik, yaitu penempuh jalan spiritual, mesti berada di bawah bimbingan seorang guru yang tepercaya. Pemandu itu biasa disebut sebagai syekh atau mursyid. Maka dari itu, sering kali tarekat disamakan dengan bentuk persaudaraan sufi yang terorganisasi.

Tarekat dalam pemahaman demikian cenderung muncul sejak abad ke-12 M. Bagaimanapun, setiap mursyid umumnya ingin menyambungkan mata rantai (sanad) ajarannya kepada Nabi Muhammad SAW.

Sebab, banyak tindakan dan karakteristik Rasulullah SAW yang dinilai menunjukkan sisi kesufian. Umpamanya, khalwat yang beliau lakukan menjelang turunnya wahyu pertama atau zuhud yang menjadi laku kehidupannya hingga tutup usia.

Menurut laman Jam'iyyah Ahlith Thariqah al-Mu'tabarah an-Nahdliyyah (Jatman), tarekat dengan sanad yang tidak terputus hingga Nabi SAW disebut sebagai mu’tabarah. Karena sifat ajarannya yang terus bersambung sampai pada al-Musthafa, tarekat-tarekat yang demikian absah untuk diamalkan kaum Muslimin.

Jatman mendaftar, sekurang-kurangnya ada 43 tarekat yang mu’tabarah. Salah satunya adalah Alawiyah. Jalan salik itu disebut pula sebagai Ba'alawi, Ba'alawiyyah, atau Alawiyyin.

Nama itu bertaut pada sosok Imam Alwi bin Ubaidillah. Ia merupakan cucu dari Ahmad bin Isa al-Muhajir, yakni seorang keturunan Nabi SAW yang hijrah dari Basrah (Irak) ke Hadhramaut (Yaman) pada masa pemerintahan al-Muqtadir Billah --sekira awal abad ke-10 M. Sebab, Irak ketika itu dilanda kerusakan sosial atau fitnah besar, yang di dalamnya antarsesama Muslimin saling berkonflik.

Ahmad al-Muhajir memiliki empat putra, yakni Ali, Hussain, Muhammad, dan Ubaidillah. Sang bungsu itulah yang menyertainya hijrah dari Basrah ke Hadhramaut. Begitu mendewasa, Ubaidillah dikaruniai tiga anak, yaitu Alwi, Jadid, dan Basri.

Dari ketiganya, hanya Alwi yang namanya lebih banyak dicatat dalam pelbagai manuskrip. Dialah sayyid --keturunan Rasul SAW dari jalur Husain bin Ali bin Abi Thalib--pertama yang lahir di Yaman. Seperti bapak dan kakeknya, dirinya pun pada akhirnya memiliki banyak pengikut. Orang-orang memanggilnya Imam Alwi. Semua keturunannya kelak disebut sebagai Ba’alawi atau Alawiyyin.

Beberapa generasi sesudah Imam Alwi, lahirlah peletak dasar Tarekat Alawiyah. Sang perintis itu bernama Sayyid Imam Muhammad al-Faqih al-Muqaddam bin Ali al-Husaini al-Hadhrami. Ia berasal dari Kota Tarim, Hadhramaut, pada 574 H/1176 M. Dua gelar di belakang namanya itu menandakan pengakuan masyarakat setempat terhadap kepakarannya dalam berbagai disiplin ilmu keislaman, baik syariat maupun tasawuf.

Beberapa generasi sesudah Imam Alwi, lahirlah peletak dasar Tarekat Alawiyah.

Sejak berusia anak-anak, Muhammad al-Faqih mendapatkan pola asuh yang sangat baik dari kedua orang tua dan keluarganya. Belum beranjak akil baligh, dirinya sudah mampu menghafal Alquran secara keseluruhan. Saat masih muda, ia pandai dalam banyak ilmu dan memiliki akhlak yang baik. Sebagian ulama menyatakan, Habib Muhammad telah sampai pada level al-ijtihad al-mutlaq.

Di samping belajar kepada ayahandanya, tokoh tersebut juga menimba ilmu dari banyak guru. Di antaranya adalah Imam Salim bin Bashri, Syekh Muhammad bin Ali al-Khatib, dan Sufyan al-Yamani. Ia pun memperoleh ajaran sufi dari Syekh Abu Madyan al-Maghribi yang memiliki sanad keilmuan hingga, Syekh Junaid al-Baghdadi, mursyid Irak dari abad kesembilan. Muhammad al-Faqih juga dibimbing pamannya, yaitu Syekh Alwi bin Muhammad Shahib Mirbath.

Masyarakat Hadhramaut dan para pelaku tasawuf umumnya memandang, Imam Muhammad al-Faqih al-Muqaddam adalah seorang wali Allah (waliyullah). Bahkan, ia diyakini sebagai pemuka para waliyullah. Permulaannya diibaratkan terminal akhir bagi ulama-ulama ahli tarekat. Karena itu, berbagai kisah beredar mengenai keistimewaan atau karamah dirinya.

Misalnya, ia diceritakan pernah tidak sadarkan diri selama 100 malam. Dalam rentang waktu itu, Imam Muhammad al-Muqaddam pun “tenggelam dalam lautan rahasia Illahi.”

Sang pemimpin waliyullah merasa hilang dari apa pun selain Tuhannya. Kemudian, sebentuk suara berkata kepadanya, “Setiap yang bernyawa akan merasakan mati” (QS Ali Imran: 185). Dijawabnya, “Aku tidak memiliki nyawa.”

“Semua yang ada di bumi itu akan binasa” (QS ar-Rahman: 26), kata suara itu lagi.

“Aku tidak di atasnya (bumi),” sahut imam Ba’alawi.

“Segala sesuatu pasti binasa, kecuali Allah” (QS al-Qasas: 88).

“Aku berasal dari cahaya wajah-Nya,” ujar sang mursyid.

Dalam kondisi demikian, ia menggambarkan berbagai peristiwa yang akan terjadi di masa mendatang. Misalnya, kebakaran besar di Baghdad atau terbunuhnya khalifah yang sedang menjabat. Begitu pula dengan banjir besar yang akan melanda kampung halamannya.


Sayed Murtadha dalam artikelnya, “Jaringan Intelektual Tarekat Alawiyah di Aceh” (2019), mengatakan, Tarekat Alawiyah dikembangkan para keturunan Imam Muhammad al-Faqih, terutama sesudah wafatnya sang mursyid pada 653 H/1255 M.

Terkait itu, ada dua orang tokoh keluarga Ba’alawi yang berjasa besar. Keduanya adalah Sayyid Abdullah al-Aydrus bin Abu Bakar as-Sakran (wafat 865 H) dan Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad (wafat 1132 H).

Yang pertama itu merupakan seorang sufi yang prolifik. Banyak buku yang telah dihasilkan Sayyid Abdullah al-Aydrus. Misalnya, Al-Kabirit al-Ahmar wa al-Iksir al-Akbar. Di antara guru-gurunya dalam bidang syariat adalah Syekh Sa’ad bin Ubaidillah bin Abi Ubeid; Syekh Abdullah Bahrawah; Syekh Abdullah Bagasyn; serta Syekh Abdullah bin Muhammad bin Amar.

Di tengah kaumnya, ia pun sangat dihormati. Bahkan, Tarekat Alawiyah pada masanya lebih masyhur dengan sebutan Aydarussiyah. Secara kebahasaan, al-aydrus berarti ‘pemuka orang-orang pelaku tasawuf'.

Adapun Sayyid Abdullah bin Alwi al-Haddad dipandang sebagai tokoh pembaru Tarekat Alawiyah pada masa sesudah al-Aydrus. Seperti pendahulunya, ia pun dikenal produktif dalam berkarya.

Di antara buku-buku tulisannya adalah An-Nashaihud Diniyyah wal Washayal ImaniyyahAd-Da’watut Tammah wat Tadzkiratul ‘Ammah, Risalatul Mu’awanah wal Muzhaharah wal Muazarah, dan Tatsbitul Fuad. Pada masanya, Alawiyah cenderung populer dengan sebutan Tarekat Haddadiyah.

Pada era Sayyid Abdullah, mulai tampak adanya diseminasi Alawiyah ke Nusantara. Misalnya, Sayed Murtadha menjelaskan, isi Tatsbitul Fuad mengungkapkan bahwa sang mursyid pernah menerima hadiah dari seorang alim asal Aceh. Informasi itu pun mengindikasikan, jaringan tasawuf Alawiyah antara Hadhramaut, India, dan Indonesia sangat mungkin sudah eksis jauh sebelum masa Sayyid Abdullah.

Anak Benua India menjadi lokus penting dalam sejarah persebaran tarekat ini. Antara abad ke-17 dan 20 M, mulai terjadi migrasi kaum habaib dari Yaman ke sana. Tonggak pentingnya diawali oleh pindahnya keluarga Sayyid Syekh bin Abdullah al-Aydrus ke Ahmadabad, India. Majelis yang didirikannya di sana menjadi simpul terawal dari jaringan intelektual keluarga Ba’alawi di negeri tersebut.

Saudaranya, Sayyid Husain bin Abdullah al-Aydrus (wafat 990 H), pun ikut hijrah ke India. Para ulama dari masa-masa generasi berikutnya banyak menulis riwayat mengenai kakak beradik tersebut. Misalnya, Syekh Ahmad bin Ali al-Buskari penulis Nuz’atul Ihwan wan Nufus fii Manaqib Syeikh bin Abdullah al-Aydrus.

Dari Ahmadabad, para keturunan keluarga habaib itu lalu hidup menyebar ke berbagai daerah atau kawasan. Di antaranya kemudian menetap di daerah-daerah Nusantara, termasuk Aceh. Di Tanah Rencong, umpamanya, seorang habib al-Aydrus yang cukup terkenal adalah Sayyid Zainal Abidin bin Abdullah alias Syarif Keumala.

Dari segi ajaran, Tarekat Alawiyah tidak jauh berbeda daripada puluhan jalan salik lainnya yang mu’tabarah. Doktrinnya menekankan pentingnya pembersihan hati dari segala kecenderungan hawa nafsu duniawi. Barangkali, yang membuatnya lebih khas ialah tidak adanya khalwat sebagai latihan spiritual (riyadhah) yang dianjurkan untuk para pengikutnya.

Tiap mursyid punya amalan wirid tersendiri yang menjadi tradisi tiap keluarga. Alawiyah lebih meletakkan fokus pada pengajaran dan pengamalan akhlak mulia.

Meskipun demikian, tiap mursyid biasanya mempunyai amalan wirid tersendiri yang menjadi tradisi tiap keluarga atau klan. Akhirnya, Alawiyah lebih meletakkan fokus pada pengajaran dan pengamalan akhlak-akhlak mulia, sebagaimana yang dicontohkan oleh sang teladan paripurna, Rasulullah SAW.

Keterkaitan genealogis dengan Nabi SAW menjadi salah satu kekhasan Alawiyah. Agak berbeda dengan tarekat-tarekat mu'tabarah lainnya, jalan salik ini tidak memutlakkan adanya sanad hanya dari hubungan murid ke guru-guru sebelumnya. Silsilah keilmuan seperti itu memang masih bisa dijumpai, tetapi Alawiyah cenderung menambahkan sandaran pada nasab mereka yang sampai kepada Rasul SAW.

Pengikut atau mursyid Alawiyah pun akrab dengan gelar sayyid atapun syarif. Secara lingual, keduanya berarti ‘tuan.’ Yang pertama melekat pada anak keturunan Fathimah az-Zahra binti Rasulullah SAW dari garis Husain bin Ali bin Abi Thalib.

Sementara, yang kedua ditujukan bagi keturunan Hasan bin Ali. Kaum syarif cenderung menyebar dari Jazirah Arab ke wilayah Afrika Utara dan Asia Barat. Adapun kalangan sayyid condong berpencar ke arah timur, yakni India dan juga Nusantara.

Sebutan lainnya yang juga populer adalah habib (jamak: habaib). Secara maknawi, istilah itu berarti ‘keturunan Rasulullah SAW yang dicintai'. Penyematan gelar tersebut biasanya melalui pengakuan masyarakat tempat seorang tokoh berada.

Mereka bukan hanya jamaah tarekat, tetapi juga kaum Muslimin seluruhnya yang merasa memperoleh keteladanan dari tokoh tersebut. Karena itu, sering kali dikatakan bahwa setiap habib sudah pasti seorang sayyid atau syarif. Namun, belum tentu sayyid atau syarif otomatis dipanggil sebagai habib.

Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?