Bingung memilih ustadz, ambil baiknya buruknya?
Cara memilih guru dalam belajar agama atau memilih seorang ustadz untuk diambil ilmunya adalah dengan memperhatikan tiga hal:
- Aqidah dan manhajnya lurus, sesuai al-Qur’an dan as-Sunnah dengan pemahaman salafus shalih.
- Ilmunya mendalam, layak, dan kompeten untuk mengajarkan ilmu. Bukan orang jahil atau ruwaibidhah, yang bicara masalah agama tanpa ilmu.
- Akhlaknya baik.
Ibrahim an Nakha’i rahimahullah mengatakan:
كَانُوا إِذَا أَتَوْا الرَّجُلَ لِيَأْخُذُوا عَنْهُ، نَظَرُوا إِلَى هديه، وَإِلَى سَمْتِهِ، وَ صلاته, ثم أخذوا عنه
"Para salaf dahulu jika mendatangi seseorang untuk diambil ilmunya, mereka memperhatikan dulu bagaimana aqidahnya, bagaimana akhlaknya, bagaimana shalatnya, baru setelah itu mereka mengambil ilmu darinya” (HR. ad-Darimi dalam Sunan-nya, no.434)
Imam Malik rahimahullah berkata:
لاَ يُؤْخَذُ الْعِِلْمُ عَنْ أَرْبَعَةٍ: سَفِيْهٍ مُعلِنِ السَّفَهِ , وَ صَاحِبِ هَوَى يَدْعُو إِلَيْهِ , وَ رَجُلٍ مَعْرُوْفٍ بِالْكَذِبِ فِيْ أَحاَدِيْثِ النَّاسِ وَإِنْ كَانَ لاَ يَكْذِبُ عَلَى الرَّسُوْل صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ , وَ رَجُلٍ لَهُ فَضْلٌ وَ صَلاَحٌ لاَ يَعْرِفُ مَا يُحَدِّثُ بِهِ
“Ilmu tidak boleh diambil dari empat orang: (1) Orang bodoh yang nyata kebodohannya, (2) Shahibu hawa‘ (ahlul bid’ah) yang mengajak agar mengikuti hawa (kebid’ahan), (3) Orang yang dikenal dustanya dalam pembicaraan-pembicaraannya dengan manusia, walaupun dia tidak pernah berdusta atas (nama) Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, (4) Seorang yang mulia dan shalih yang tidak mengetahui hadis yang dia sampaikan” (At-Tamhid, karya Ibnu Abdil Barr, 1/66).
Maka hendaknya memperhatikan 3 kriteria di atas dan waspadai 4 jenis orang yang disebutkan Imam Malik ini. Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin rahimahullah juga menjelaskan: “Saya sarankan kepada para penuntut ilmu untuk memilih guru yang dipercaya ilmunya, terpercaya amalnya, terpercaya agamanya, lurus aqidahnya, lurus manhajnya. Jika ia diberi taufik untuk belajar kepada guru yang lurus, maka ia juga akan lurus. Namun jika Allah tidak memberi taufik demikian, maka ia juga akan menyimpang sebagaimana gurunya” (Majmu’ al-Fatawa war Rasail Syaikh Muhammad bin Shalih al-Utsaimin, 26/40).
Dan hendaknya tidak tertipu oleh kepiawaian seseorang dalam berbicara, padahal kosong dari 3 kriteria di atas. Orang yang piawai bicara, bahasanya fasih dan menyihir, kata-katanya indah, belum tentu orang yang layak diambil ilmunya. Bahkan dalam hadis dari Umar bin al-Khattab radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:
إن أخوف ما أخاف على أمتي كل منافق عليم اللسان
“Yang paling aku takutkan terhadap umatku adalah setiap orang munafik yang pintar berbicara” (HR. Ahmad [1/22], dishahihkan al-Albani dalam Silsilah ash-Shahihah no.1013)
Maka kepandaian berbicara bukanlah ukuran. Syaikh Shalih al-Fauzan menjelaskan: “Wajib bagi anda wahai kaum Muslimin dan para penuntut ilmu agama, untuk bersungguh-sungguh dalam tatsabbut (cek dan ricek) dan jangan tergesa-gesa dalam menanggapi setiap perkataan yang anda dengar (dalam masalah agama). Dan hendaknya mencari tahu:
- Siapa yang mengatakannya?
- Dari mana datangnya pemikiran tersebut?
- Apa landasannya?
- Adakah dalilnya dari al-Qur’an dan as-Sunnah?
- Orang yang mengatakannya belajar di mana?
- Dari siapa dia mengambil ilmu (siapa gurunya)?
Inilah perkara-perkara yang perlu dicek dan ricek. Terutama di zaman sekarang ini.
Maka tidak semua orang yang berkata-kata dalam masalah agama itu langsung diterima walaupun bahasanya fasih, sangat bagus ungkapannya, dan sangat menggugah. Jangan tertipu dengannya hingga anda mengetahui kadar keilmuan dan fiqihnya” (Ithaful Qari bit Ta’liqat ‘ala Syarhis Sunnah, hal.85).
Kemudian, guru atau ustadz yang bermanhaj salaf akan saling berkumpul dan bermajelis dengan sesama ustadz yang bermanhaj salaf. Sehingga ketika ingin mengambil ilmu dari seorang ustadz, juga perlu melihat dengan siapa ia sering bersama dan bermajelis. Syaikh Muhammad bin Ibrahim al-Mishri mengatakan: “Carilah guru yang memiliki kedudukan yang mulia, memiliki takwa, memiliki akhlak yang indah, memiliki pikiran yang jernih, yang ia telah lama dalam menelaah ilmu-ilmu, dan ia senantiasa bersama dengan para masyaikh yang tsiqah (terpercaya) di zamannya dalam pembahasan-pembahasan ilmu dan dalam kebersamaan” (Mukhtashar al-Mu’lim, 72-73).
Demikian kriteria-kriteria dalam memilih guru dalam menuntut ilmu agama. Andaikan seseorang merasa bingung tentang seorang ulama atau seorang ustadz, apakah ia termasuk yang layak diambil ilmunya ataukah tidak, maka hendaknya ia bertanya kepada ulama atau ustadz yang dipercaya keilmuannya tentang orang tersebut. Allah Jalla wa ‘Ala berfirman:
فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ
“Bertanyalah kepala ahludz dzikr (ahli ilmu) jika engkau tidak mengetahui” (QS. al-Anbiya: 7).
Wallahu a’lam. Semoga Allah ta’ala memberi taufik.
----
Komentar
Posting Komentar