Tiga Tanda Kebodohan


Sejatinya, orang yang bertanya dan menjawab “tidak tahu” atas suatu masalah bukanlah pertanda kebodohan.

Suatu ketika, Nabi Muhammad SAW di hadapan para sahabatnya ditanya oleh Malaikat Jibril, “Kapan hari kiamat terjadi?” Beliau menjawab, “Tidaklah orang yang ditanya tentangnya lebih tahu daripada orang yang bertanya.” (HR Bukhari-Muslim).  

Demikian pula Imam Malik bin Anas ketika ditanya tentang 48 masalah, beliau menjawab “laa adrii” (aku tidak tahu) untuk 32 pertanyaan. Sejatinya, orang yang menjawab “tidak tahu” atas suatu masalah bukanlah pertanda kebodohan.  

Kita sering kali salah memaknai kepandaian dan kebodohan. Ketika seseorang bisa menjelaskan segala persoalan, ia disebut pandai. Sebaliknya, jika hanya mengerti sebagian saja, dianggap tak pandai (bodoh).

Sebenarnya, kebodohan adalah sikap mental yang tidak mengenal eksistensi dirinya dan abai terhadap kebenaran. Oleh karena itulah, orang-orang Arab Jahiliyah dahulu bukan bodoh dalam ilmu pengetahuan, tetapi enggan menerima ajaran tauhid dan tak berkeadaban.

Secara fitrah, manusia dibekali potensi kepandaian, yakni benar, baik, dan indah. Ketika dilahirkan belum tahu apa-apa, kemudian belajar dengan perangkat yang telah disediakan.

Allah SWT berfirman, “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatu pun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan, dan hati agar kamu bersyukur." (QS an-Nahl (16): 78).  

Syekh Ibnu Athaillah as-Sakandari (1250-1309 M), seorang ulama Tarekat Sadziliyah dalam kitab Al-Hikam menjelaskan tiga tanda kebodohan, yakni; Pertama, mujiiban ‘an kulli maa suila (orang yang menjawab setiap pertanyaan). Jika seorang selalu menjawab atau mengometari semua persoalan, merasa tahu segala hal dan tidak bisa menempatkan diri, itulah tanda kebodohannya. Pepatah Arab mengatakan, likulli maqam maqaal, wa likulii maqaal maqaam (pada setiap tempat ada perkataanya dan setiap perkataan ada tempatnya). 

Kedua, zaakiran kulla maa ‘alima (orang yang menyebutkan apa saja yang diketahui). Orang bijak berkata, “Katakan yang engkau ketahui, tapi tidak semua yang engkau ketahui dikatakan”.

Banyak bicara dan tidak pandai memilih dan memilah mana yang penting dan baik untuk dibicarakan adalah tanda kebodohan. Bila semua yang diketahui dikatakan kepada siapa saja, akan menimbulkan masalah atau kesalahpahaman. Pesan Nabi SAW, “Barang siapa beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata yang baik atau diam.” (HR Bukhari). 

Ketiga, mu’abbiran ‘an kulli maa syahida (orang yang menceritakan apa saja yang dilihat). Jika seorang menyebarkan berita dari kejadian yang disaksikan, apalagi belum pasti kebenarannya, itulah tanda kebodohan.

Tidak semua kejadian yang kita lihat perlu diceritakan walau pun itu benar. Sebab, boleh jadi bisa  menimbulkan perselisihan atau permusuhan di tengah masyarakat. Pandailah memilih dan memilah mana kejadian yang perlu diceritakan dan kepada siapa, sehingga mendatangkan kebaikan.  

Walhasil, kebodohan itu bukanlah ketidaktahuan terhadap berbagai persoalan. Namun, kematangan jiwa dalam mengolah rasa dan pikiran dalam menghadapi persoalan. Allahu a’lam bissawab.

OLEH HASAN BASRI TANJUNG
Sumber : https://www.republika.id

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Di Masa Kelam, Masjidil Haram mempunyai 4 Mihrab