Wahai suami, ketahuilah uangmu kepunyaan istrimu tetapi duit istrimu bukan milikmu

[1] Harta istri milik istri, Harta Suami ada hak istri :

Dalam berumah tangga, seorang suami berkewajiban buat menafkahi keluarganya. Sehingga merupakan hal yg lumrah jika suami lebih poly yang bekerja bila dibandingkan dengan wanita. Walau demikian, tidak tutup kemungkinan apabila seorang wanita jua bekerja serta bahkan jadi tulang punggung famili. 

Idealnya seorang suami serta istri saling bahu membahu penuhi kebutuhan tempat tinggal anak istri atau keluarganya. Jika suami memberikan nafkah, jadi sang istri yang mengatur keuangan.

Namun, terkadang nafkah yg diberikan sang suami tidak cukup buat penuhi kebutuhan hayati sehari-hari sampai akhirnya sang istri turut bekerja buat membantu suami. Begitu, sang istri bakal memiliki penghasilannya sendiri. 

Lalu, bagaimanakah hukum penghasilan istri? Berhakkah seseorang suami buat merogoh gaji istrinya? Serta, wajibkah istri memberi sebagian penghasilannya buat penuhi kebutuhan rumah tangganya? Berikut ulasan selengkapnya. 

Berdasarkan fatwa ulama, disepakati kalau bila pendapatan atau gaji suami yang juga jadi hak buat istrinya, jadi nir sama wacana dengan gaji istri berdasarkan pekerjaan yang dilakukannya yaitu punya istri serta tidak terdapat hak buat suaminya sedikitpun. 

Kecuali bila sang istri dengan tulus memberikannya buat membantu atau menopang keuangan keluarga. Jika seseorang suami memakan harta punya istri tanpa terdapat sepengetahuannya, jadi bisa dikatakan jika beliau berdosa. Seperti firman Allah Ta’ala 

“Janganlah mengonsumsi harta orang lain di antara kalian dengan cara batil” (QS. An-Nisa : 83) 

Dikala seorang bertanya kepada syaikh ‘Abdullah bin ‘Abdur Rahman Al-Jibrin tentang hukum suami yang mengambil duit kepunyaan istrinya buat setelah itu digabungkan dengan uangnya. hingga syaikh Al-Jibrin berkata kalau tidak disangsikan lagi kalau istri lebih berhak dengan mahar dan juga harta yang dia miliki, baik lewat usaha yang dikerjakannya, peninggalan, hibah dan juga harta yang dia miliki. hingga itu menggambarkan hartanya dan juga jadi miliknya. sampai – sampai dialah yang amat berhak buat melaksanakan apa aja dengan hartanya tersebut tanpa terdapat campur tangan dari pihak yang lain. 

Seseorang perempuan berhak buat keluarkan hartanya buat kepentingannya ataupun buat sedekah, tanpa wajib memohon izin pada suaminya. dan juga diantara dalilnya merupakan hadist dari Jabir kalau Rasulullah saw berceramah di hadapan jamaah perempuan, dia berkata :

“wahai para perempuan, perbanyaklah sedekah, karena aku memandang kamu menggambarkan kebanyakan penunggu neraka. ” sampai – sampai, para perempuan itupun berlomba – lomba menyedekahkan perhiasan mereka dan juga mereka melemparkannya di baju bilal (hr. muslim) 

Hingga, bila seseorang istri menginginkan bersedekah, jadi orang yang paling krusial memiliki hak terima sedekahnya itu yaitu suaminya sendiri serta bukanlah orang lain. Seperti dijelaskan pada satu hadist dari Abu Sa’id ra :

“Dari Abu Sa’id al Khudri ra mengungkapkan jika, “Zainab, istri Ibnu Mas’ud datang memohon biar buat berjumpa Rasulullah. Beliau ajukan pertanyaan, “Zainab yang mana? ”Lalu ada yang menjawab, “Istrinya Ibnus Mas’ud.”

“Dari Abu Sa’id al Khudri ra mengungkapkan jika, “Zainab, istri Ibnu Mas’ud datang memohon biar buat berjumpa Rasulullah. Beliau ajukan pertanyaan, “Zainab yang mana? ”Lalu ada yang menjawab, “Istrinya Ibnus Mas’ud.”

Serta Rasulullah menyampaikan, “baik, izinkanlah dirinya”.

Jadi zainab juga mengatakan, “Wahai nabi Allah, Hari ini engkau memerintahkan untuk bersedekah. Sedang saya mempunyai perhiasan dan menginginkan bersedekah. Namun, Ibnu Mas’ud menyampaikan jika dianya serta anaknya lebih memiliki hak terima sedekahku.”

Lalu Rasulullah bersabda, “Ibnu Mas’ud mengatakan benar. Suami dan anakmu lebih memiliki hak terima sedekahmu.” (HR. Imam Bukhari) 

Bahkan juga, dalam hadist yang lain dijelaskan jika Rasulullah mengatakan jikalau, “Benar, dia memperoleh dua pahala yakni pahala merajut tali korelasi dan pahala sedekah.

Tentang hadist pada atas, Syaikh Abdul Qadir bin Syaibah al Hamd menyampaikan jikalau pelajaran yang dapat pada ambil yaitu :

Seseorang wanita diijinkan buat bersedekah dalam suaminya yang miskin. Suami adalah orang yg paling krusial buat terima sedekah menurut istrinya dibanding orang lain. Istri diijinkan buat bersedekah pada anak-anaknya dan kaum kerabatnya yang menjadi tanggungannya. Sedekah istri yang demikian merupakan bentuk sedekah yg paling penting.

Dengan demikian mudahan para suami bisa adil memperlakukan pendapatan istri dengan tidak mengambil harta istri tanpa terdapat keridhaannya. Serta telah semestinya seseorang istri berlaku bijak bila mempunyai harta atau pendapatan melebihi suami.

[2] Menafkahi Istri wajib hukumnya :

Seluruh ulama satu kata dalam hal ini/ijma’ bahwa wajib hukumnya suami memberi nafkah kepada istrinya setelah adanya proses pernikahan yang sah. Terlepas bahwa dalam sebagian kondisi justru istri yang “kelihatannya” memberi nafkah untuk suaminya karena suaminya pengangguran.

Maka dalam hal ini patut kiranya kita berikan apresiasi yang sebesarnya untuk sebagian istri yang sudah berlapang dada memberikan kebaikannya untuk keutuhan dan keharmonisan keluarga, walaupun sejatinya bisa saja bagi perempuan untuk menggugat perceraian karena alasan nafkah ini, tapi itu bisanya tidak dilakukannya.

Kewajiban nafkah yang dimaksud disesuaikan dengan kebutuhan standar istri baik sandang, pangan, maupun papan, tanpa harus ada batasan minimal atau maksimal, setidaknya ini adalah pendapat mayoritas ulama fikih dari Hanafiyah, Malikiyah, sebagian dari Syafiiyah dan mayoritas ulama Hanabilah.

Pendapat ini didasarkan pada firman Allah swt dalam surat Al-Baqarah: 233:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu (isteri) dengan cara ma'ruf”

Dalam ayat diatas tidak disebut batasan minimal dan maksimal, justru yang ada hanya penyebutan ma’ruf (baik) dimana standarnya diserahkan kepada tempat dan budaya masing-masing.

Ayat diatas didukung dengan hadits Rasulullah saw terkait pesan beliau kepada Hindun yang mengadu bahwa suaminya tidak memberikan nafkah kepadanya, sehingga Rasulullah saw mengatakan:

خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

“Ambillah apa yang cukup untuk mu dan untuk anakmu dengan ma’ruf’ (HR. Bukhari dan Muslim)

Dalam kaitannya dengan jenis nafkah istri intinya memang sandang, pangan namun sebagian ulama fikih juga nemambahkan kewajiban jenis nafkah lainnya, seperti alat kecantikan, kebersihan, kesehatan, obat-obatan, hingga upah pembantu rumah tangga jika istri adalah bagian dari perempuan yang terbiasa diurus oleh pembantu selama berada bersama orang tuanya dulu.

[3] Menafkahi Orang Tua kewajiban tambahan :

Selain dari istri ternyata ada kewajiban tambahan dalam menafkahi keluarga, ini yang kadang kurang disadari oleh kita semua. Ada perbedaan pendapat dikalangan para ulama fikih terkait siapa keluarga yang dimaksud, sebagian pendapat ada yang cenderung menyempitkan, dan sebagian pendapat lainnya ada yang bahkan sangat meluaskannya.

Namun pada akhirnya ada titik temu antara pendapat para ulama dalam urusan menafkahi keluarga, bahwa setiap ushul (bapak) wajib menafkahi furu (anak) dan kebalikannya juga bahwa setiap furu (anak) wajib menafkahi ushul (bapak).

Dalm kaitannya ushul ke furu Allah swt berfirman:

وَعَلَى الْمَوْلُودِ لَهُ رِزْقُهُنَّ وَكِسْوَتُهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ

“dan kewajiban ayah memberi Makan dan pakaian kepada Para ibu dengan cara ma'ruf”

Pemaknaan ayah dalam ayat di atas diungkap dengan redaksi maulud lahu / anak yang terlahir untuknya, disebut ayah karena ada anak yang dilahirkan oleh istrinya, jika istri yang melahirkan anak ini saja wajib diberi nafkah, maka sudah langsung otomatis anak ini juga wajib dinafkahi.

Ditambah dengan hadits Rasulullah saw kepada Hindun:

خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ

“Ambillah apa yang cukup untuk mu dan untuk anakmu dengan ma’ruf’ (HR. Bukhari dan Muslim)

Dan dalam kaitannya furu (anak) menafkahi ushul (bapak) Allah swt berfirman:

وَقَضَى رَبُّكَ أَلاَّ تَعْبُدُوا إِلاَّ إِيَّاهُ وَبِالْوَالِدَيْنِ إِحْسَانًا

“dan Tuhanmu telah memerintahkan supaya kamu jangan menyembah selain Dia dan hendaklah kamu berbuat baik pada ibu bapakmu dengan sebaik-baiknya” (QS. Al-Isra: 23)

Dan termasuk dalam katagori ihsan/berbuat baik adalah menafkahi keduanya terlebih disaat mereka sudah tidak ada lagi pendapatan karena fisik yang sudah tidak kuat untuk bekerja, atau karena suatu keadaan sehingga mereka tidak mempunyai harta yang cukup.

Ditambah dengan sabda Rasulullah saw:

أَنْتَ وَمَالُكَ لِوَالِدِكِ، إِنَّ أَوْلاَدَكُمْ مَنْ أَطْيَبِ كَسْبِكُمْ، فَكُلُوا مِنْ كَسْبِ أَوْلاَدِكُمْ 

“Kamu dan hartamu adalah milik orang tuamu, sesungguhnya anakmu adalah hasil terbaik usahamu maka makanlah dari hasil usaha anakmu” (HR. Abu Daud)

[4] Menafkahi Istri lebih utama, baru Orang Tua dan keluarga lainnya :

Pada dasarnya menafkahi istri dan orang tua (yang sudah tidak mampu) harus berjalan beriringan, tidak memilih satu dan yang lain ditinggalkan, dan ini harus diusahakan dengan sekuat mungkin, seperti itulah agaman menginginkan, dan tentunya kita semua bercita-cita bahwa istri dan kedua orang tua kita dirumah hidup bahagia.

Namun jika memiliki pemasukan yang cukup atau bahkan kurang, maka para ulama berpendapat bahwa Namun jika memiliki pemasukan yang cukup atau bahkan kurang, maka para ulama berpendapat bahwa nafkah untuk istri dan anak harus lebih diutamakan sebelum nafkah yang lainnya. Hal ini disandarkan ke beberapa teks agama utamanya dari hadits Rasulullah saw, seperti dalam riwayat Imam Muslim:

عَنْ جَابِرٍ أن رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ : ابْدَأْ بِنَفْسِكَ فَتَصَدَّقْ عَلَيْهَا ، فَإِنْ فَضَلَ شَيْءٌ فَلِأَهْلِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ أَهْلِكَ شَيْءٌ فَلِذِي قَرَابَتِكَ ، فَإِنْ فَضَلَ عَنْ ذِي قَرَابَتِكَ شَيْءٌ فَهَكَذَا وَهَكَذَا ، بَيْنَ يَدَيْكَ ، وَعَنْ يَمِينِكَ ، وَعَنْ شِمَالِكَ

Dari Jabir bahwa Rasulullah saw bersabda: “Mulailah (nafkah) dari dirimu, jika berlebih maka nafkah itu untuk ahlimu, jika berlebih maka nafkah berikutnya untuk kerabatmu, jika masih berlebih maka untuk orang-orang diantaramu, sebelah kananmu dan sebelah kirimu” (HR. Muslim)

Lebih lanjut, Rasulullah saw dalam sabda yang lainnya menjelaskan:

وعن أبي هريرة رضي الله عنه قَالَ : قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ : تَصَدَّقُوا. فَقَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ عِنْدِي دِينَارٌ .فَقَالَ : تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى نَفْسِكَ قَالَ : عِنْدِي آخَرُ قَالَ : تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى زَوْجَتِكَ .قَالَ : عِنْدِي آخَرُ .قَالَ : تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى وَلَدِكَ . قَالَ : عِنْدِي آخَرُ .قَالَ : تَصَدَّقْ بِهِ عَلَى خَادِمِكَ. قَالَ : عِنْدِي آخَرُ . قَالَ: أَنْتَ أَبْصَرُ

Dari Abu Hurairah berkata: Rasulullah saw bersabda: “Bersedekahlah kalian”, lalu seseorang berkata: “Ya, Rasulullah saya mempunyai dinar” Rasulullah menjawab: “Sedekahlah dengan dinar itu untuk dirimu sendiri”. Dia berkata lagi: “Saya mempunyai (dinar) yang lainnya”. Rasulullah menjawab: “sedekahlah dengan itu untuk istrimu”. Dia berkata lagi: “Saya mempunyai dinar yang lainnya”, Rasulullah menjawab: “Sedekahlah dengan itu untuk anakmu”. Dia berkata lagi: “Saya mempunyai dinar yang lainnya”. Rasulullah menjawab: “Sedekahlah untuk pembantumu”. Dia berkata lagi: “Saya mempunyai dinar yang lainnya”. Rasulullah menjawab: “Kamu lebih tahu (untuk siapa lagi setelah itu) (HR. Abu Daud dan Nasai).

Dari sini para ulama melihat bahwa Rasulullah saw dalam hadits diatas mengurutkan mulai dari yang paling utama; istri, anak, pembantu. Nafkah pembantu idealnya juga bagian dari nafkah istri, seperti yang sudah dijelaskan pada paragraf diatas. Lebih jelas berikut ini komentar sebagian ulama dalam perkara siapakah yang harus didahulukan jika memang nafkah istri dan orang tua tidak bisa berjalan keduanya:

وقال النووي : " إذا اجتمع على الشخص الواحد محتاجون ممن تلزمه نفقتهم ، نظرَ: إن وفَّى ماله أو كسبه بنفقتهم فعليه نفقة الجميع قريبهم وبعيدهم .وإن لم يفضل عن كفاية نفسه إلا نفقة واحد ، قدَّم نفقة الزوجة على نفقة الأقارب.

Imam An-Nawawi dalam kitab Raudhatu At-Thalibin (jilid 9, hal. 93) menuliskan bahwa jika seseorang dibebani nafkah untuk orang-orang yang membutuhkan lebih dari satu orang, maka jika hartanya cukup untuk keduanya dia wajib menafkahi semuanya, namun jika hartanya tidakmencukupi kecuali untuk satu orang maka nafkah untuk istri lebih diutamakan dibanding nafkah keluarga lainnya.

قال المرداوي : " الصَّحِيحُ مِنْ الْمَذْهَبِ : وُجُوبُ نَفَقَةِ أَبَوَيْهِ وَإِنْ عَلَوَا ، وَأَوْلَادِهِ وَإِنْ سَفَلُوا بِالْمَعْرُوفِ ...إذَا فَضَلَ عَنْ نَفْسِهِ وَامْرَأَتِهِ

Imam Al-Mawardi dalam kitabnya Al-Inshaf (jilid 9, hal. 392) menjelaskan bahwa pendapat yang shahih dalam madzhab Hanbali bahwa wajib hukumnya menafkahi ayah (terus keatas) dan anak (terus kebawah) dengan cara yang ma’ruf… itu semua jika memang masih ada harta lebih setelah menafkahi diri sendiri dan istrinya.

قال الشوكاني: " وقد انعقد الإجماع على وجوب نفقة الزوجة ، ثم إذا فضل عن ذلك شيء فعلى ذوي قرابته "

Imam As-Syaukani dalam kitabnya Nail Al-Authar (jilid 6, hal. 381) menegaskan bahwa kewajiban memberi nafkah istri itu sudah sampai pada tahap ijma’, kemudian jika masih ada kelebihan harta barulah ada kewajiban nafkah untuk keluarga lainnya.

Sekali lagi bahwa sebisa mungkin masalah nafkah istri dan orang tua harusnya berjalan beriringan, tidak memilih satu dan yang lain ditinggalkan, dan ini harus diusahakan dengan sekuat mungkin, seperti itulah agaman menginginkan, dan tentunya kita semua bercita-cita bahwa istri dan kedua orang tua kita dirumah hidup bahagia.

Terlalu memihak kepada istri dalam urusan nafkah terkadang bisa membuat hati kedua orang tua tidak enak, penulis hanya khawatir kalau-kalau yang demikian bisa menjadi dosa durhaka kepada orang tua, lebih khawatir lagi jika kisah Al-Qamah yang durhaka itu terulang kembali, yang pada akhirnya sangat susah sakaratul mautnya. Dan sebaliknya, terlalu memihak kepada orang tua sehingga abai terhadap nafkah istri juga bukan hal yang baik, karena sebaik-baik kalian adalah yang paling baik degan keluarganya (baca:istri), dan saya (tegas Rasulullah saw) adalah yang paling bertanggung jawab dengan keluarga

[5] Pelit di Rumah Royal di Luar :

“Dan kewajiban ayah memberi makan dan pakaian kepada para ibu dengan cara yang ma’ruf” (Al Baqarah : 233)

“Sebaik-baik kalian adalah orang yang paling baik bagi keluarganya. Dan aku orang yang paling baik bagi keluargaku.” (HR. At Tirmidzi no: 3895 dan Ibnu Majah no: 1977 dari sahabat Ibnu ‘Abbas. Dan dishahihkan oleh Al Albani dalam Ash Shahihah no: 285).

“Satu dinar yang engkau belanjakan di jalan Allah subhanahu wa ta’ala, satu dinar yang engkau keluarkan untuk membebaskan budak, satu dinar yang engkau sedekahkan kepada seorang miskin dan satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu, maka yang paling besar pahalanya dari semua nafkah tersebut adalah satu dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu.” (HR. Muslim no. 995)

Seorang isteri diperkenankan mengambil harta suami tanpa sepengetahuannya sebanyak yang ia butuhkan bersama anak-anaknya dengan cara yang baik dan tidak berlebih-lebihan, dengan syarat jika sang suami tersebut memang dikenal pelit atau tidak memberikan nafkah yang cukup kepadanya padahal suaminya mampu.

Hal ini berdasarkan sebuah hadits shahih dari Aisyah ra yang menyatakan bahwa Hindun binti Utbah pernah mengadu kepada Nabi Shallallahu ‘alaihi Wassallam.

“ Wahai Rasulullah, sesungguhnya Abu Sufya (suamiku) tidak memberikan nafkah yang cukup kepadaku dan kepada anak-anakku.”

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda : “Ambillah hartanya dengan cara yang ma’ruf sebanyak yang dibutuhkan olehmu dan anak-anakmu.” (HR. Bukhari dan Muslmi/Muttafaq ‘alaih)

Sadarilah bahwa roda kehidupan itu berputar. Boleh jadi saat ini anak dan istri kita, sangat bergantung pada kita dalam hal materi. Namun siapa yang dapat menjamin bahwa kita akan selamanya sehat, kuat, dan tidak bergantung pada orang lain? 

Sadarilah bahwa anak dan istri adalah amanah dari Allah, dan kita hanya akan menuai apa yang kita tanam. Bagaimana kita memperlakukan istri dan anak-anak kita saat ini, begitulah mereka akan memperlakukan kita kelak.

“Children see, children do. We only reap what we sow. Remember that life is an echo, what we give comes back to us. And what matters the most is your responsibility to Allah. In this world, and in the afterlife. So, ittaqillaah”

“Jika sewaktu anak-anakmu kecil engkau sangat abai dalam memperhatikan kesejahteraan mereka, juga sangat perhitungan dan pelit dalam menafkahi mereka.. Maka jangan heran ketika kelak engkau sudah tua renta dan tak berdaya, mereka akan lebih abai dan perhitungan lagi denganmu”

Sumber : 

 > http://www.islamdetikini.com

 > www.rumahfiqih.com

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Perbedaan Muhammadiyah dengan Wahabi