Dasar Hukum Murattal Sebelum Adzan

Sumber video : https://youtu.be/

Dasar Hukum Murattal Sebelum Adzan

Pada dasarnya, tidak ditemukan riwayat tentang amalan tertentu yang dilakukan sebelum Adzan dikumandangkan, termasuk membaca atau memperdengarkan al-Qur’an baik secara langsung atau pun dengan rekaman murattal dari jam digital. Membaca dan memperdengarkan al-Qur’an merupakan persoalan ibadah, tetapi berkaitan dengan persoalan muamalah jika dikeraskan bacaannya termasuk seperti dengan memutar rekaman murattal. Membaca dan memperdengarkan al-Qur’an sebagai ibadah terdapat dalam QS. al-A‘raf (7) ayat 204 berikut,

وَإِذَا قُرِئَ الْقُرْآنُ فَاسْتَمِعُواْ لَهُ وَأَنصِتُواْ لَعَلَّكُمْ تُرْحَمُونَ.

Apabila dibacakan al–Qur’an, maka dengarkanlah baik-baik, dan perhatikanlah dengan tenang agar kamu mendapat rahmat.

Rahmat Allah akan didapatkan apabila seseorang mendengarkan al-Qur’an dengan baik. Namun, jika kaitannya dengan rekaman murattal sebelum Adzan yang disalurkan melalui pengeras suara, hal tersebut tentu berkaitan dengan persoalan muamalah sehingga harus melihat keadaan sekitar. Di beberapa tempat seperti kota-kota besar, sebelum Adzan dikumandangkan banyak orang yang masih sibuk bekerja ataupun mulai bersiap-siap istirahat sehingga tidak bisa menyimak bacaan murattal dengan tenang. Adapun terkait mengingatkan orang akan waktu salat, sesungguhnya hal tersebut merupakan fungsi Adzan sehingga tidak perlu diputarkan rekaman murattal.

Sekalipun memperdengarkan al-Qur’an itu baik, namun dapat berpotensi mengusik beberapa orang di masyarakat jika disalurkan pada pengeras suara di waktu yang tidak tepat. Misalnya jika diputar jauh sebelum waktu Adzan Subuh ketika orang-orang masih beristirahat. Bahkan sebelum Adzan salat fardu lainnya, biasanya sudah ada jemaah yang hadir dan menunaikan salat tahiyatul masjid atau ibadah lainnya sehingga rekaman murattal dengan pengeras suara tersebut berpotensi mengusik kekhusyukan ibadah lain yang sedang dilakukan pada waktu yang bersamaan. Berhubungan dengan persoalan muamalah tersebut, terdapat hadis sahih sebagaimana berikut,

عَن اَبِي سَعِيدٍ الخُدْرِيِّ قَالَ: اعْتَكَفَ رَسُولُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فِي الْمَسْجِدِ فَسَمِعَهُمْ يَجْهَرُونَ بِالْقِرَاءَةِ فَكَشَفَ السِّتْرَ فَقَالَ: أَلَا إِنَّ كُلَّكُمْ مُنَاجٍ رَبَّهُ فَلَا يُؤْذِيَنَّ بَعْضُكُمْ بَعْضًا وَلَا يَرْفَعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَعْضٍ فِي الْقِرَاءَةِ  أو قَالَ: فِي الصَلَاةِ.

Dari Abu Sai’d al-Khudri ra. (diriwayatkan bahwa) ia berkata: Rasulullah saw sedang melakukan iktikaf di masjid, kemudian beliau mendengar para sahabat mengeraskan bacaannya. Lalu beliau pun membuka tutup tabir (semacam gorden) seraya berkata: Ingatlah, sesungguhnya kamu sekalian itu sedang bermunajat terhadap Tuhannya, maka jangan sampai sebagian darimu mengganggu (menyakiti hati) sebagian yang lain, dan jangan mengeraskan suara yang ditujukan sebagian pada yang lain dalam membaca (al-Qur’an) atau ia (Rasulullah saw) bersabda, di dalam salat [HR. Abu Dawud, No. 1332].

Selain hadis di atas, terdapat hadis riwayat at-Tirmidzi No. 447 sebagai berikut,

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ، أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ لأَبِي بَكْرٍ: مَرَرْتُ بِكَ وَأَنْتَ تَقْرَأُ وَأَنْتَ تَخْفِضُ مِنْ صَوْتِكَ، فَقَالَ: إِنِّي أَسْمَعْتُ مَنْ نَاجَيْتُ، قَالَ: ارْفَعْ قَلِيلاً، وَقَالَ لِعُمَرَ: مَرَرْتُ بِكَ وَأَنْتَ تَقْرَأُ وَأَنْتَ تَرْفَعُ صَوْتَكَ، قَالَ: إِنِّي أُوقِظُ الوَسْنَانَ، وَأَطْرُدُ الشَّيْطَانَ، قَالَ: اخْفِضْ قَلِيلاً.

Dari Abu Qatadah ra (diriwayatkan) bahwa Nabi saw berkata kepada Abu Bakar, Aku melewati (rumah)mu sementara engkau tengah membaca (al-Qur’an) dan mengecilkan suaramu. Kemudian ia (Abu Bakar) menjawab, sesungguhnya Dzat yang aku pinta pasti mendengarku. Nabi bersabda, Naikkanlah suaramu sedikit. Dikatakan kepada ‘Umar, aku melewati rumahmu sementara engkau sedang membaca (al-Qur’an) dan engkau mengeraskan suaramu. ‘Umar menjawab, sesungguhnya, aku membangunkan orang yang mengantuk dan aku mengusir setan. Nabi bersabda, Rendahkanlah suaramu sedikit.

Hadis ini diriwayatkan juga dalam Sunan Abu Dawud No. 1239 dan Musnad Imam Ahmad No. 865 dengan redaksi yang berbeda. Hadis-hadis tersebut erat kaitannya dengan persoalan muamalah. Sekalipun membaca al-Qur’an adalah ibadah, tetapi jika dikeraskan tentu harus memperhatikan keadaan di sekitar sehingga persoalan muamalahnya tetap terjaga. Terlebih jika disalurkan melalui pengeras suara yang telah diatur oleh negara.

Dalam Surat Edaran Kementerian Agama Republik Indonesia Nomor B.3940/DJ.III/Hk.00.7/08/2018 tentang Pelaksanaan Instruksi Direktur Jenderal Bimbingan Masyarakat Islam Nomor: Kep/D/101/1978 tentang Tuntunan Penggunaan Pengeras Suara di Masjid, Langgar dan Musala.

Pada bagian syarat penggunaan pengeras suara butir empat tertulis bahwa untuk menggunakan pengeras suara harus memenuhi syarat-syarat dimana orang yang mendengar berada dalam keadaan siap untuk mendengarnya, bukan pada waktu tidur, istirahat, sedang beribadah atau melakukan upacara. Dalam keadaan demikian (kecuali Adzan) penggunaan pengeras suara dikhawatirkan tidak akan menimbulkan simpati orang, bahkan bisa terjadi sebaliknya.

Berbeda dengan di kampung-kampung yang kesibukan masyarakat masih terbatas, maka suara-suara keagamaan dari dalam masjid, langgar, dan musala selain berarti seruan takwa, juga dapat dianggap hiburan mengisi kesepian sekitar.

Hal ini dikuatkan dengan naskah Kepribadian Muhammadiyah pada Keputusan Muktamar Muhammadiyah ke-35 bahwa di antara sifat Muhammadiyah adalah mengindahkan segala hukum, undang-undang, peraturan, serta dasar dan falsafah negara yang sah.

Dengan demikian, memutar rekaman murattal sebelum Adzan (dengan suara keras maupun pelan) dalam tinjauan syariat adalah perkara yang tidak ada tuntunan dan dasarnya dari Nabi Muhammad saw dan para sahabat. Di samping itu, jika tidak tepat situasi dan kondisinya, memutar rekaman murattal dapat mengganggu aktivitas, ketenangan dan konsentrasi orang, apalagi dengan menggunakan pengeras suara.

Merujuk pada surah al-A‘raf (7) ayat 204 sebagaimana disebutkan di atas, jika dibacakan atau diperdengarkan al-Qur’an, maka orang wajib diam dan mendengarkan bacaan tersebut. Jika hal itu dilakukan di tengah masyarakat yang bermacam-macam aktivitasnya, berarti telah membebani dan memaksa orang-orang untuk mendengarkan al-Qur’an dalam keadaan di mana mereka tidak siap untuk mendengarkan dengan perhatian seperti itu. Kondisi seperti ini justru bukan memuliakan al-Qur’an, tetapi merendahkannya.

Wallahu a’lam bish-shawab.

Sumber: Majalah Suara Muhammadiyah No 18 Tahun 2021

Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?