Penamaan Salafiyyah/Salafy bukan bid’ah (Inovasi baru dalam Dien)
Penamaan Salafiyyah/Salafy bukan bid’ah (Inovasi baru dalam Dien)
Telah banyak dan sering kali tersebar penyebutan nama Salafiyyah dan kata-kata “Salafy”, yang datang dari orang-orang yang jujur, dan memahami berdasarkan pengetahuan/pengalaman mereka. Tapi di waktu lain muncul informasi dari syaithan yang ada dari kebanyakan manusia, yang ingin menyingkirkan dakwah yang benar (Islamiyyah), mengaburkannya, dan menggantinya dengan seruan bid’ah/inovasi baru dan halusinasi dari pikirannya.
Sehingga (hal diatas) menimbulkan prasangka :
1. Penamaan Salafiyyah adalah Bid’ah (atau Inovasi baru dalam Dienul Islam)
Kata “salafiyyah” sebenarnya tidak pernah dipakai selama masa Rasulullah (sallallahu alaihi wasallam) dan Sahabatnya – sebab di jaman mereka faktanya hanya ada satu pemahaman yakni ISLAM dan tidak perlu penyebutan dgn istilah seperti “Salafiyyah) pada waktu itu.
Akan tetapi ketika muncul fitnah/bencana dan sekte-sekte/aliran dalam Islam, sehingga Ummat terpecah-belah, maka muncullah Ulama dari Ummat (Islam) yang tetap teguh di atas kebenaran dan Ulama yang berada di atas kesesatan. Sehingga merekapun (Ulama yang diatas al Haq) disebut sebagai “Ahl ul-Hadits” dan “as-Salaf”.
Imam Abu Hanifah (meninggal tahun 150 H) Rahimahullah berkata:”Ikutilah Atsar (yang telah diriwayatkan) dan jalannya para Salaf (ulama yang terdahulu yg sholih) serta berhati-hatilah pada perkara-perkara yang baru (inovasi baru dalam Dien), sebab hal itu adalah bid’ah” (Diriwayatkan oleh As Suyuthi dalam Saunul Mantiq wal Kalam hal.32)
Berdasarkan hal diatas, bahwa as-Salafiyyah membedakan dari berbagai macam kelompok Islam, yang mana mereka (as salaf) menisbahkan dirinya pada apa yang bisa menjamin mereka pada kebenaran dan Islam yang benar, yaitu dengan mengikuti apa yang Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya berada diatasnya, seperti yang telah disebutkan dalam hadits yang shahih.
Kata salaf sendiri pernah dipakai pula oleh Rasulullah (Shallallahu ‘alaihi wa sallam), yaitu ketika beliau berkata pada Fathimah, “Aku adalah sebaik-baik Salaf untukmu” (HR. Muslim no.2450)
Imam Muslim membawakan perkataan dari muqoddimah Shahihnya (Shahih Muslim hal 16) mengenai Abdullah Ibnul Mubarak yang berkata di depan orang-orang, “Tinggalkan hadits-haditsnya ‘Amr bin Tsabit, yang dia gunakan untuk mencaci-maki para Salaf”.
Syaikh Shalih Al Fauzan berkata:”Bagaimana bisa dikatakan membikin aliran/mahdzab apabila Salaf disebut bid’ah, (apalagi disebut sebagai) bid’ah yang sesat ? Dan bagaimana bisa dikatakan Bid’ah ketika mengikuti madzhab Salaf yang berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah, Al Haq dan Petunjuk ? (Al Bayan hal.156)
Oleh karena itu, (seseorang) menisbahkan diri pada Salaf, dimana Salafiyyahpun bukan termasuk kebid’ahan, malah hal ini adalah merupakan suatu kewajiban bagi kaum muslimin semua untuk menganut pada aqidah dan manhaj Salaf. Maka dapat dikatakan “Kalau penamaan Salafiyyah saja dikatakan bid’ah, maka begitu pula dengan penamaan Ahlus Sunnah wal Jama’ah”. Dan penggunaan istilah Ahlusunnah wal Jama’ahpun tidaklah tersembunyi/diketahui (sama seperti tujuan penamaan Salaf – di jaman Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para shahabatnya)
Sayangnya, Ahlusunah wal Jamaah tidak lagi cukup untuk membedakan antara orang yang sesat dan orang yang mengikuti kebenaran. (karena kini orang yang sesat pun menyebut dirinya Ahlusunnah)
Demikian juga dengan kata-kata “Salafy” tidaklah mampu membedakan Salafi yang tulen, siapa yang benar-benar Salafy dalam aqidah dan manhaj, dan antara hizbi (aliran) yang memakai jubah “Salafiyyah”, dan mengklaim dirinya Salafy.
Jika Aqidahnya Salafi, tetapi pemikirannya berasal dari Qutbi (pemikiran pengikut Qutbiyyah) atau prinsip-prinsip Hizbi, pikirannya dan tingkah lakunya (seperti Hizbi). Lalu dia menunjukkan kebencian terhadap Salafy, mencela Masyayikh, akan tetapi tetap mengklaim diri Salafi. Maka dalam sudut pandang yang mereka pakai dan sikap loyalitas dan kebencian (Al Wala’ dan Al Bara’) menurut cara mereka (hizbi), maka dapat dilihat mereka kebalikannya (bukan Salafy).
Maka inilah Salafy yang sebenarnya dan memberikan pelajaran penting akan pentingnya menuntut ilmu (Dien), sehingga kebenaran akan nyata terlihat, dan tidak mudah orang-orang membodohi mereka (Penuntut ilmu).
2. Allah telah menamai kita muslim, kenapa harus menisbahkan diri kita pada Salaf
Syubhat ini telah dijawab dengan sangat indahnya oleh Al Imam Al Albani dalam diskusinya dengan seseorang (Abdul Halim Abu Syakkah), yang direkam dalam kasetnya yang berjudul “Saya seorang Salafy”, dan inilah sebagian hal yang penting dari diskusi itu:
Syaikh Al Albani berkata : “Jika dikatakan padamu, apa madzhabmu, maka apa jawabanmu?”
Penanya : “Muslim”
Syaikh Al Albani : “Ini tidaklah cukup”
Penanya : “Allah telah menamai kita dengan muslim (kemudian dia membaca firman Allah), ‘Dialah yang telah menamai kalian orang-orang muslim dari dahulu (Al Haj Surat 22 ayat 78)'”
Syaikh Al Albani : “Ini merupakan jawaban yang tepat, jika kita berada disaat Islam itu pertama kali muncul, sebelum firqah-firqah bermunculan dan menyebar. Tapi jika ditanyakan, pada saat ini, pada setiap muslim dari berbagai macam firqah yang berbeda dengan kita dalam masalah aqidah, maka jawabannya tidaklah jauh dari kalimat ini.
Mereka semua, seperti Syi’ah Rafidlah, Khariji, Nusayri Alawi, akan berkata ‘Saya muslim’. Sehingga penyebutan “muslim” (saja) tidak cukup pada saat ini.”
Penanya : “Kalau begitu, (saya akan berkata) saya adalah Muslim berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah”
Syaikh Al Albani : “Ini juga tidak cukup”
Penanya :”Kenapa?”
Syaikh Al Albani : “Apakah kamu menemukan dari mereka yang telah kita sebutkan tadi, akan mengatakan ,’kami adalah adalah muslim yang tidak berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah?’ atau seorang dari mereka berkata “Saya seorang Muslim tetapi tidak berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah?”
Maka selanjutnya Syaikh Al Albani menjelaskan dengan jelas akan pentingnya berada di atas Al Qur’an dan As Sunnah dan memahami di atas cahaya (pemahaman) Salafush Shalih (pendahulu yang sholih).
Penanya : “Kalau begitu, saya akan menyatakan bahwa saya adalah muslim yang berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan mengikuti pemahaman Salafus Shalih”
Syaikh Al Albani : “Jika seseorang bertanya padamu tentang madzhabmu, apakah ini yang akan kamu katakan?”
Penanya : “Ya”
Syaikh Al Albani : “Bagaimana pendapatmu, bila kita menyingkat kalimat ini dalam pembicaran (Muslim yang berdasarkan pada Al Qur’an dan As Sunnah dengan mengikuti pemahaman Salafus Shalih), yang lebih ringkas dan menunjukkan makna dengan ‘Salafi'”. (Selesai penukilan)
Maka intisari dari percakapan itu adalah penamaan muslim atau sunni tidaklah cukup, sebab semua orang akan menyatakan demikian.
Baca juga : Selektif dalam Menuntut Ilmu Agama jangan salah pilih Guru
Dan Imam Al Albani telah menekankan pentingnya Al Haq untuk membedakan diri dari kebathilan, dengan berdasarkan pada aqidah dan manhaj, yang diambil dari Salafus Shalih, yang merupakan lawan dari macam-macam firqah dan hizbi yang memahami Dien ini dengan berdasarkan pada pemikiran guru-guru mereka atau pemimpin-pemimpin mereka dan tidaklah mereka mengambilnya dari Salaf-secara mendasar -.
Sumber : https://salafy.or.id
Komentar
Posting Komentar