JIKA PEMERINTAH SALAH DALAM KEPUTUSAN PENENTUAN HARI RAYA

Pemerintah membuat keputusan hari raya  misalnya dengan menggunakan hisab, atau mengikuti penanggalan di kalender, atau dengan semisalnya yang "tidak ada tuntunannya dalam syari’at", maka –wallahu ‘alam- tidak ada alasan bagi seorang muslim untuk berhari raya sendiri-sendiri. Mereka tetap diharuskan untuk berhari raya bersama kebanyakan kaum muslimin, dalam hal ini "bersama pemerintah demi menjaga persatuan dan tidak jatuh ke dalam jurang perpecahan". Sesuai dengan sabda Rasulullah ﷺ :

الصَّوْمُ يَوْمَ تَصُومُونَ ، وَالْفِطْرُ يَوْمَ تُفْطِرُونَ ، وَالأَضْحَى يَوْمَ تُضَحُّونَ

“Puasa kalian adalah pada hari kalian berpuasa. Dan berbuka kalian, ialah pada hari kalian berbuka. Dan hari penyembelihan kalian, ialah hari ketika kalian (semua) menyembelih”

Ash-Shan’ani, ketika mensyarah hadits ini berkata : “Dalam hadits ini, dalil yang menetapkan hari raya sesuai dengan (kebanyakan) manusia karena orang yang sendirian mengetahui hari raya dengan ru’yah, wajib baginya untuk mengikuti orang lain dan diharuskan shalat, berbuka dan kurban bersama dengan mereka." [Subulus Salam (2/134)]

Dari Abu Umair bin Anas dan paman-pamannya dari kalangan kaum Anshar Radhiyallahu ‘anhum berkata : “Awan menutupi kami pada hilal Syawal. Maka pagi tersebut kami berpuasa. (Kemudian) datanglah kafilah pada sore harinya. Mereka bersaksi kepada Rasulullah, bahwa kemarin mereka melihat hilal. Maka Rasulullah memerintahkan orang-orang untuk berbuka saat itu juga, dan keluar besok paginya untuk shalat Ied”

"[Hadits dengan lafadz ini dikeluarkan oleh Abu Dawud, Kitab Shalat, Bab (Idza Lam Yakhrujil Imam Lil id..) No. 1157]"

Asy-Syaukani menyebutkan, "diperbolehkan shalat Ied pada hari kedua. Tidak ada perbedaan antara adanya keraguan dan yang lainnya karena udzur, baik karena ragu atau alasan lainnya, dengan mengqiaskan dengannya” [Lihat Nalilul Authar (2/295)]

Lebih tegas lagi Syaikhul Islam menyebutkan : Jika dikatakan “Bisa saja pemerintah diserahi untuk menetapkan hilal lalai, karena menolak persaksian orang-orang yang terpercaya. Bisa saja karena kelalaian dalam meneliti amanah mereka. Bisa saja persaksian mereka ditolak, karena adanya permusuhan antara pemerintah dengan mereka. Atau sebab-sebab lain yang tidak disyari’atkan. Atau karena pemerintah bersandarkan dengan perkataan ahli nujum yang menyatakan melihat hilal”.

Maka dikatakan (kepada mereka) : "Hukum yang telah ditetapkan oleh pemerintah (dengan cara apapun, pen) tidak akan berbeda dengan orang yang mengikuti pemerintah dengan melihat ru’yah hilal ; baik sebagai mujtahid yang benar atau (mujtahid) yang salah atau lalai"

Sebagaimana telah disebutkan dalam Shahih al-Bukhari, bahwa Nabi ﷺ bersabda tentang para penguasa :

‎يُصَلُّونَ لَكُمْ فَإِنْ أَصَابُوا فَلَكُمْ وَإِنْ أَخْطَئُوا فَلَكُمْ وَعَلَيْهِمْ

“Shalatlah bersama mereka. Jika mereka benar, maka (pahalanya) untuk kalian dan mereka. Jika mereka salah, maka pahalanya untuk kalian (dan) dosanya untuk mereka.” [Lihat: Majmu’ Fatawa: 23/115-116]

Jadi, kesalahan dan kelalaian pemerintah, tidak ditanggung kaum muslimin yang tidak melakukan kelalaian atau kesalahan. [Majmu’ Fatawa (25/206)]

Wallahu a’lam

Sumber : https://almanhaj.or.id

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Di Masa Kelam, Masjidil Haram mempunyai 4 Mihrab