Menyusuri Jejak Politik Ibadah Haji

Selama ini haji hanya ditunaikan oleh umat Islam sebagai ibadah ritual. Padahal, di balik ibadah haji banyak pelajaran yang bisa diambil, sekaligus mengungkap sisi politik yang mengantarkan umat ini hingga meraih predikat sebagai umat terbaik.

Namun, semuanya itu tentu tidak tampak di permukaan. Karena aspek-aspek politik, terutama perjuangan Nabi dan para sahabat di balik ritual dan simbol haji itu telah terkubur dalam lembaran sejarah. Hanya orang-orang yang diberi akal, kecerdasan, dan pemikiran cemerlanglah yang bisa mengungkap lembaran-lembaran yang sudah terpendam itu.

Ketika kita memasuki kota Makkah, bayangkanlah kota ini adalah kota kelahiran Nabi Muhammad saw.. Di kota inilah Nabi yang mulia dilahirkan, dididik, dan dibesarkan, hingga mendapatkan risalah saat usianya matang. Tempat kelahirannya pun hingga kini masih ada, tertampak pada bangunan tua, dengan nama Maktabah Makkah al-Mukarramah. Di situ, Nabi yang mulia itu lahir, dari rahim wanita mulia, Sayyidah Aminah binti Wahab. Saat kelahirannya, baginda ditolong oleh ibunda Abdurrahman bin Auf, as-Syifa.

Ketika baginda lahir, terdapat sinar yang memancar ke arah Syam. Isyarat, bahwa kelak risalah dan kekuasaannya akan sampai ke sana. Bahkan, api abadi yang tidak pernah padam dan disembah oleh orang Majusi, seketika padam, saat kelahirannya. Begitu juga patung dan arca yang disembah kaum Pagan berjatuhan, entah mengapa, di saat kelahirannya. Bayi manusia mulia itu pun terlahir dengan sujud, sambil jari telunjuknya menengadah ke atas, dengan iringan doa. Tidak ada tangisan yang keluar dari mulut sucinya, layaknya bayi pada umumnya. Semuanya itu isyarat akan kemuliaannya.

Di kota inilah, Nabi bersama ibunda Khadijah dan para sahabatnya memulai dakwah. Allah Taala berfirman, “Telah datang kebenaran (Islam) dan tersungkurlah kebatilan. Sesungguhnya kebatilan pasti akan tersungkur.” (QS Al-Isra’: 81)

Namun, Islam tidak akan menang dengan sendirinya, Islam harus dimenangkan. Begitu pun kebatilan tidak akan kalah dengan sendirinya, tetapi harus dikalahkan.

Maka, Nabi pun berdakwah selama 13 tahun di Makkah untuk memenangkan Islam dan mengalahkan kekufuran. Masjidil Haram, bebukitan, gunung-gunung, dan sekitarnya telah menjadi saksi dakwah dan perjungan baginda bersama para sahabatnya. Ketika kita Tawaf, terbayang di dekat Ka’bah, saat membaca, “Allahu Akbar, Bismillahi Allahu Akbar” itu wajah-wajah para sahabat saat berdakwah. Betapa tidak, dulu mereka tidak boleh mengucapkan kalimat seperti itu. Mereka juga tidak bisa melakukan tawaf dengan leluasa. Jika mereka melakukannya, pasti mereka akan ditangkap dan disiksa. Jadi, kalau sekarang kita bisa melakukannya, itu tidak lepas dari jasa mereka.

Dulu, sebelum hijrah, saat Nabi salat di dekat Ka’bah, baginda tidak bisa menghindari penyiksaan dan penganiayaan. Pernah ‘Uqbah bin Abi Mu’aith memukul tengkuk Nabi dengan tulang unta hingga pingsan. Rumah baginda bersama istri tercinta pun tidak lepas dari serangan teror mereka. Kotoran kambing yang mereka sembelih untuk Latta dan Uzza, mereka lemparkan ke rumah baginda.

Ketika kita melintasi Hijir Ismail, lurus dengan Hijir Ismail itu ada Darun Nadwah, tempat yang menjadi markas kaum Kafir merancang strategi untuk menentang dan mengalahkan dakwah Nabi. Tempat itu memang sudah tidak ada, tetapi bayangan akan tempat itu tidak bisa hilang dari ingatan kita, saat kita tahu betapa besar peranannya. Di situlah, saat Nabi menunaikan Umrah Qada, tahun ke-7 H, orang-orang Kafir berkumpul sambil berharap-harap cemas setelah mereka mendengar berita, bahwa rombongan umrah Nabi telah diserang virus Yatsrib.

Mereka berharap berita itu benar, sembari terus mendoakan keburukan untuk Nabi dan para sahabat. Namun, Nabi yang jenius itu tahu apa yang ada di kepala musuhnya. Nabi pun menginstruksikan kepada para sahabat yang menyertainya dalam Umrah Qada untuk tidak menampakkan sakitnya. Nabi perintahkan mereka untuk memakai pakaian ihram dengan Idhthiba’, di mana selendang atas menutupi pundak dan ketiak sebelah kiri, sedangkan pundak dan ketiak sebelah kanan terbuka. Mereka pun diperintahkan untuk berlari kecil pada putaran pertama hingga ketiga, yang dikenal dengan ar-raml.

Benar saja, begitu instruksi tersebut mereka laksanakan, maka persepsi mereka bahwa kaum muslim yang tengah umrah itu terserang virus Yatsrib buyar seketika. Begitulah, cara Nabi saw. menunjukkan kekuatan kaum muslim dan meruntuhkan mental musuh-musuhnya. Umrah Qada ini sendiri dikerjakan oleh Nabi setelah tahun sebelumnya, rombongan baginda beserta sahabat untuk Umrah Hudaibiah dihalangi pasukan Khalid bin Walid, yang akhirnya hatinya justru tertambat pada Islam.

Meski gagal ditunaikan, tetapi Umrah Hudaibiah telah berhasil mewujudkan misi Nabi dan Negara Islam di Madinah yang luar biasa. Karena misi Nabi yang sesungguhnya di balik umrah yang gagal ini adalah melakukan Perjanjian Damai, yang kemudian dikenal dengan Shulh Hudaibiyyah. Perjanjian ini berhasil mengikat kaki dan tangan kaum Quraisy, sehingga tidak bisa bergerak. Ketika mereka berusaha membangun koalisi dengan Yahudi Khaibar. Nabi, melalui perjanjian Hudaibiah ini berhasil mengikat kaum Kafir Quraisy untuk tidak menyerang kaum muslim, dan sebaliknya.

Melalui perjanjian ini, Nabi juga berhasil membuka pintu Makkah selebar-lebarnya untuk dakwah Islam melalui dua jalur sekaligus. Pertama, penduduk Makkah yang datang ke Madinah harus dikembalikan ke Makkah. Mereka ini bisa menjadi corong propaganda Islam di Makkah dengan menggunakan lisan mereka sendiri. Kedua, orang-orang Islam yang datang dari Madinah ke Makkah tidak boleh kembali lagi ke Madinah. Mereka di Makkah bisa leluasa berdakwah menyebarkan Islam.

Akhirnya, melalui dua pintu ini, Makkah dalam waktu singkat berhasil dikondisikan, sehingga saat Umrah Qada, Nabi dan para sahabat bisa melihat langsung bagaimana sambutan penduduknya. Setelah itu, apa yang dijanjikan oleh Allah dalam QS Al-Fath, yang turun tahun ke-6 itu akhirnya menjadi kenyataan, pada tahun 8H, ketika Makkah benar-benar berhasil ditaklukkan. Saat itu, mereka berbondong-bondong memeluk Islam, kecuali hanya segelintir orang yang masih tetap bertahan.

Perubahan besar ini karena dakwah. Dakwah dengan visi dan misi memenangkan yang hak dan mengalahkan yang batil. Visi dan misi yang dirumuskan dengan jelas, sistematis, dan direalisasikan dengan istikamah oleh Nabi dan para sahabat. Inilah kesadaran politik tingkat tinggi Nabi dan para sahabat. Bukti yang paling nyata adalah, ketika Perjanjian Hudaibiah ditentang sedemikian rupa, termasuk oleh sahabat senior, tetapi Nabi tetap tidak bergeming dengan pendiriannya. Itu karena visi, misi, dan kesadaran politik Nabi yang luar biasa, yang tidak bisa dibaca oleh orang sekelas Umar sekalipun.

Ketika kita melaksanakan Sai dari Shafa ke Marwah, di situ kita bisa menyusuri jejak pembinaan dan pembentukan jemaah dakwah yang pertama kali, di rumah al-Arqam bin Abi al-Arqam. Di Shafa, Nabi pernah mengatakan, “Ya Khalid, najtami’ huna, min haitsu bada’a bihi-Llahu wa Rasuluhu”, ungkapan yang kemudian menjadi doa para jemaah haji dan umrah, saat memulai Sai di atas Bukit Shafa, “Nabda’u bima bada’a-Llahu bihi wa Rasuluhu.” Bahkan, dalam kalimat doa yang dibaca di Shafa dan Marwah pun terselip misi itu, “Lailaha illa-Llahu wahdah, shadaqa wa’dah, wa nashara ‘abdah, wa ‘a’azza jundahu wa hazama al-ahzaba wahdah.”

Shafa dan Marwah telah menjadi saksi perjuangan Nabi dan para sahabat. Bahkan, di sebelah kanan antara Shafa dan Marwah itu ada lembah yang dikenal dengan nama Syi’b Abu Thalib. Di lembah inilah, Nabi bersama istri tercintanya Khadijah, serta Bani Hasyim dan Bani Abdul Muthallib diboikot kaum Kafir Quraisy selama tiga tahun. Mereka semuanya bertahan di sana selama tiga tahun tanpa akses makanan, dengan harapan mereka akan meninggalkan Nabi, bahkan berbalik menyerangnya. Tetapi tidak.

Di atas Bukit Shafa juga, ketika pertama kali diutus oleh Allah, Nabi berpidato kepada kaum Kafir, “Ya Ma’syara Quraisy, inna ar-raida la yakdzibu ahlah.” (Wahai kaum Quraisy, sesungguhnya seorang pemimpin tidak ada membohongi rakyatnya). Deklarasi tentang sikap dan fatsun politik yang agung dan luhur, tentang kejujuran seorang pemimpin.

Ketika kita meninggalkan Makkah menuju ke Mina dan Arafah, kita akan melintasi Jabal Tsur, yang monumental. Karena gunung ini menjadi saksi detik-detik perjalanan hijrah Nabi bersama Abu Bakar. Bahkan, Jabal Tsur telah menjadi saksi bagaimana pengorbanan keluarga Abu Bakar as-Shiddiq yang luar biasa. Ada Asma’, Aisyah, Abdurrahman, dan budak Abu Bakar. Mereka semua menjadi tim yang sukses mengantarkan Nabi hingga sampai ke Madinah dengan selamat. Wajar, jika Umar bersumpah, “Wallahi, lalailatu Abi Bakar, khairun min Umar wa alihi.” (Demi Allah, satu malam Abu Bakar lebih baik ketimbang Umar dan seluruh keluarganya).

Di Mina, Nabi bermalam tanggal 8 Zulhijah untuk melakukan persiapan haji (Tarwiyah). Di Mina pula, tepatnya di Aqabah, ada saksi sejarah yang hingga kini masih ada, Masjid Baiat. Masjid ini dibangun pada masam ‘Abbasiyyah untuk mengabadikan momentum pembaiatan Nabi oleh kaum Anshar. Dua kali mereka memberikan baiat kepada Nabi. Pertama, sebanyak 17 orang saat musim haji. Mereka memberikan baiat untuk memeluk Islam. Kedua, sebanyak 75 orang, 2 di antaranya wanita. Baiat yang kedua ini untuk memberikan kekuasaan (nushrah) kepada Nabi. Masjid ini berada dekat dengan tiang Aqabah di Mina.

Ketika kita ke Arafah, tanggal 9 Zulhijah, kita akan melihat Masjid Namirah yang dibangun untuk mengabadikan tempat Nabi khotbah Wukuf dan salat zuhur dan ashar dengan dijamak taqdim-qashar. Setelah itu, Nabi bergerak melewati Wadi Uranah untuk mengambil wukuf di Arafah. Karena, “al-Hajju ‘Arafah” (Inti haji adalah wukuf di Arafah). Tempat-tempat ini luar biasa. Di Masjid Namirah itu, Nabi khotbah sebagai kepala negara. Pesannya jelas, “Inna dima’akum, wa amwalakum, wa a’radhakum haramun ‘alaikum..” (Darah, harta dan kehormatan kalian haram kalian ciderai, sebagaimana menciderai hari Arafah, di bulan dan tanah haram).

Nabi juga menegaskan pentingnya menghormati wanita dan memperlakukan mereka dengan baik. Bahkan, menjadikan itu sebagai standar baik dan tidaknya seorang pria. Selain itu, dengan tegas, riba diharamkan untuk selamanya. Dalam pidatonya, Nabi selalu mengakhiri dengan persaksian dari para sahabat, “Afala uballigukum risalata rabbi?” (Apakah aku sudah menyampaikan risalah tuhanku?), mereka kompak menjawab, “Bala, syahidna.” (tentu, kami telah menjadi saksi).

Setelah itu, di lereng Jabal Rahmah Nabi mendapatkan wahyu yang menitahkan segera berakhirnya tugas baginda. QS Al-Maidah ayat 3 turun pada hari Arafah. Saat ayat ini turun, seluruh sahabat bergembira kecuali seorang sahabat, yang tidak lain, mertua Nabi sendiri, Abu Bakar. Ia menangis terisak-isak. Para sahabat pun bertanya, “Gerangan apakah yang membuatnya sedih, di saat yang lain menyambutnya dengan sukacita?” Abu Bakar menjawab retoris, “Tidakkah sesuatu setelah sempurna, berarti yang membawanya akan meninggalkan kita?” Artinya, sebentar lagi, orang yang paling mereka cintai akan segera meninggalkan mereka.

Seolah tidak yakin dengan jawaban Abu Bakar, mereka pun datang memastikan kepada Nabi, dan Nabi pun menjawab, “Apa yang dikatakan Abu Bakar itu benar.” Sontak mereka pun menangis. Takut kehilangan manusia yang paling mereka cintai melebihi apa pun yang mereka miliki. 

Begitulah, tepat hari Senin, Rabiulawal 10 H, Nabi dipanggil menghadap kekasihnya. Langit Madinah pun gelap seketika. Umar pun hendak membunuh siapa saja yang mengatakan Muhammad telah tiada. Lagi-lagi, Abu Bakarlah orang yang berhasil menyadarkan Umar, “Siapa saja yang menyembah Muhammad, Muhammad telah tiada. Tetapi, siapa yang menyembah Allah, Allah tidak pernah mati selamanya.”

Jasad mulianya pun dimakamkan di rumah istrinya, Aisyah. Hingga kita, para jemaah haji pun bisa menziarahinya, mengucapkan salam, dan salawat untuknya. “Assalamu’alaika ya Rasulullah, Asyhadu alla ilaha illa-Llah, wa asyhadu annaka rasulullah. 

-------

شوف كيف كانت رحلة الحج سنة 1938.. (Lihat bagaimana perjalanan ber ibadah haji pada tahun 1938)

Sumber video : https://m.facebook.com/

-------

Penulis : K.H. Hafidz Abdurrahman

Sumber : https://www.facebook.com

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Perbedaan Muhammadiyah dengan Wahabi