Shahih, Ibnu Mas’ud Melarang Dzikir Berjamaah
Simak video berikut :
Kisah Bid'ah Pertama Dalam Islam
Al-Imaam Ad-Daarimiy dalam Sunan-nya (no. 210 – tahqiq : Husain Salim Asad) membawakan riwayat sebagai berikut :
أخبرنا الحكم بن المبارك، أنبأنا عمرو بن يحيى قال : سمعت أبي يحدث، عن أبيه قال : كُنَّا نَجْلِسُ عَلَى بَابِ عَبْدِ اللهِ بْنِ مَسْعُودٍ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – قَبْلَ صَلَاةِ الغَدَاةِ، فَإِذَا خَرَجَ، مَشَيْنَا مَعَهُ إِلَى الْمَسْجِدِ، فَجَاءَنَا أَبُوْ مُوْسَى الْأَشْعَرِيُّ – رَضِيَ اللهُ عَنْهُ – فَقَالَ : أَخَرَجَ إِلَيْكُمْ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ قُلْنَا : لَا، بَعْدُ. فَجَلَسَ مَعَنَا حَتَّى خَرَجَ، فَلَمَّا خَرَجَ، قُمْنَا إِلَيْهِ جَمِيْعًا، فَقَالَ لَهُ أَبُو مُوسَى : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، إِنَّي رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ آنِفًا أَمْرًا أَنْكَرْتُهُ وَلَمْ أَرَ – وَالْحَمْدُ للهِ – إِلَّا خَيْرًا. قَالَ : فَمَا هُوَ ؟ فَقَالَ : إِنْ عِشْتَ فَسَتَرَاهُ. قَالَ : رَأَيْتُ فِي الْمَسْجِدِ قَوْمًا حِلَقًا جُلُوْسًا يَنْتَظِرُوْنَ الصَّلَاةَ فِي كُلِّ حَلَقَةٍ رَجُلٌ، وَفِيْ أَيْدِيْهِمْ حَصًا، فَيَقُوْلُ : كَبِّرُوا مِئَةً، فَيُكَبِّرُوْنَ مِئَةً، فَيَقُوْلُ : هَلِّلُوا مِئَةً، فَيُهَلِّلُونَ مِئَةً، فَيَقُولُ : سَبِّحُوا مِئَةً، فَيُسَبِّحُونَ مِئَةً. قَالَ : فَمَاذَا قُلْتَ لَهُمْ ؟ قَالَ : مَا قُلْتُ لَهُمْ شَيْئًا انْتِظَارَ رَأْيِكَ أَوِ انْتِظَارَ أَمْرِكَ. قَالَ : أَفَلَا أَمَرْتَهُمْ أَنْ يَعُدُّوا سَيِّئَاتِهِمْ، وَضَمِنْتَ لَهُمْ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِهِم، ثَمَّ مَضَى وَمَضَيْنَا مَعَهُ حَتَّى أَتَى حَلَقَةً مِنْ تِلْكَ الْحِلَقِ، فَوَقَفَ عَلَيْهِمْ، فَقَالَ : مَا هَذا الَّذِيْ أَرَاكُمْ تَصْنَعُوْنَ ؟ قَالُوا : يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ حَصًا نَعُدَّ بِهِ التَّكْبِيْرَ والتَّهْلِيلَ وَالتَّسْبِيْحَ. قَالَ : فَعُدُّوا سَيِّئَاتِكُمْ، فَأَنَا ضَامِنٌ أَنْ لَا يَضِيْعَ مِنْ حَسَنَاتِكُمْ شَيْءٌ وَيْحَكُمْ يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، مَا أَسْرَعَ هَلَكَتكُمْ ! هَؤُلَاءِ صَحَابَةُ نَبِيِّكُمْ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مُتَوَافِرُوْنَ، وَهَذِهِ ثِيَابُهُ لَمْ تَبْلَ، وَآنِيَتُهُ لَمْ تُكْسَرْ، وَالَّذِي نَفْسِي بِيَدِهِ، إِنَّكُمْ لَعَلَى مِلَّةٍ هِيَ أَهْدَى مِنْ مِلَّةِ مُحَمَّدٍ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَوْ مُفْتَتِحُو بَابِ ضَلَالَةٍ. قَالُوا : وَاللهِ يَا أَبَا عَبْدِ الرَّحْمَنِ، مَا أَرَدْنَا إِلَّا الْخَيْرَ. قَالَ : وَكَمْ مِنْ مُرِيْدٍ لِلْخَيْرِ لَنْ تُصِيْبَهُ، إِنَّ رَسُوْلَ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ حَدَّثَنَا أَنَّ قَوْمًا يَقْرَؤُونَ الْقُرْآنَ لَا يُجَاوِزُ تَرَاقِيَهُمْ، وَايْمُ اللهِ مَا أَدْرِيْ لَعَلَّ أَكْتَرَهُمْ مِنْكُمْ، ثُمَّ تَوَلَّى عَنْهُمْ. فَقَالَ عَمْرُو بْنُ سَلَمَةَ : رَأَيْنَا عَامَّةَ أُولَئِكَ الْحِلَقِ يُطَاعِنُونَا يَوْمَ النَّهْرَوَانِ مَعَ الْخَوَارِجِ.
“Telah memberi khabar kepada kami Al-Hakam bin Al-Mubaarak : Telah memberitakan kepada kami ‘Amru bin Yahya, ia berkata : Aku mendengar ayahku meriwayatkan hadits dari ayahnya, ia berkata : Sebelum shalat shubuh, kami biasa duduk di depan pintu ‘Abdullah bin Mas’ud radliyallaahu ‘anhu. Jika dia sudah keluar rumah, maka kami pun berjalan bersamanya menuju masjid.
Tiba-tiba kami didatangi oleh Abu Musa Al-Asy’ariy radliyallaahu ‘anhu, seraya bertanya : “Apakah Abu ‘Abdirrahman (‘Abdullah bin Mas’ud) sudah keluar menemui kalian ?”. Kami menjawab : “Belum”. Lalu dia pun duduk bersama kami hingga ‘Abdullah bin Mas’ud keluar rumah. Setelah dia keluar, kami pun bangkit menemuinya.
Abu Musa berkata : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, tadi aku melihat kejadian yang aku ingkari di masjid, namun aku menganggap – segala puji bagi Allah – hal itu adalah baik”. Kata Ibnu Mas’ud : “Apakah itu?”.
Abu Musa menjawab : “Jika engkau berumur panjang, engkau akan mengetahui. Ada sekelompok orang di masjid, mereka duduk ber-halaqah sedang menunggu shalat. Setiap kelompok dipimpin oleh seseorang, sedang di tangan mereka terdapat kerikil. Lalu pimpinan halaqah tadi berkata: ‘Bertakbirlah seratus kali’, maka mereka pun bertakbir seratus kali. ‘Bertahlillah seratus kali’, maka mereka pun bertahlil seratus kali. ‘Bertasbihlah seratus kali’, maka mereka pun bertasbih seratus kali”.
Ibnu Mas’ud bertanya : “Lalu apa yang engkau katakan kepada mereka?”. Abu Musa menjawab : “Aku tidak berkata apa-apa hingga aku menunggu apa yang akan engkau katakan atau perintahkan”.
Ibnu Mas’ud berkata: “Tidakkah engkau katakan kepada mereka agar mereka menghitung kesalahan mereka dan kamu jamin bahwa kebaikan mereka tidak akan disia-siakan”.
Lalu Ibnu Mas’ud berlalu menuju masjid tersebut dan kami pun mengikuti di belakangnya hingga sampai di tempat itu.
Ibnu Mas’ud bertanya kepada mereka: “Benda apa yang kalian pergunakan ini?”. Mereka menjawab: “Kerikil wahai Abu ‘Abdirrahman. Kami bertakbir, bertahlil, dan bertasbih dengan mempergunakannya”.
Ibnu Mas’ud berkata : “Hitunglah kesalahan-kesalahan kalian, aku jamin kebaikan-kebaikan kalian tidak akan disia-siakan sedikitpun. Celaka kalian wahai umat Muhammad! Betapa cepat kebinasaan/penyimpangan yang kalian lakukan. Para shahabat Nabi kalian masih banyak yang hidup. Sementara baju beliau shallallaahu ‘alaihi wa sallam juga belum lagi usang, bejana beliau belum juga retak.
Demi Dzat yang diriku berada di tangan-Nya! Apakah kalian merasa berada di atas agama yang lebih benar daripada agama Muhammad shallallaahu ‘alaihi wa sallam, ataukah kalian akan menjadi pembuka pintu kesesatan?”.
Mereka menjawab : “Wahai Abu ‘Abdirrahman, kami tidaklah menghendaki kecuali kebaikan”.
Ibnu Mas’ud menjawab : “Betapa banyak orang yang menghendaki kebaikan namun ia tidak mendapatkannya. Sesungguhnya Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam pernah berkata kepada kami : ‘Akan ada segolongan orang yang membaca Al-Qur’an, namun apa yang dibacanya itu tidak melewati kerongkongannya’. Demi Allah, aku tidak tahu, boleh jadi kebanyakan dari mereka adalah sebagian di antara kalian”.
‘Amr bin Salamah berkata : “Kami melihat mayoritas di antara orang-orang yang ikut dalam halaqah itu adalah orang yang menyerang kami dalam Perang Nahrawaan yang bergabung bersama orang-orang Khawarij.” [selesai]
Berikut penjelasan para perawi yang membawakan atsar tersebut :
1. Al-Hakam bin Al-Mubaarak Al-Khaasyitiy Al-Balkhiy, Abu Shaalih.
Ia telah ditsiqahkan oleh Ahmad bin Hanbal, Ibnu Hibbaan, Ibnu Mandah, dan As-Sam’aaniy. Ibnu ‘Adiy saat menyebutkan dalam biografi Ahmad bin ‘Abdirrahman Al-Wahbiy mengatakan ia termasuk orang yang mencuri hadits. Namun dalam hal ini, Ibnu ‘Ady bersendirian dalam penyebutannya. Adz-Dzahabiy mengatakan bahwa ia seorang yang jujur (shaduuq). Di lain tempat, ia (Adz-Dzahabiy) mengatakan tsiqah. Ibnu Hajar mengatakan bahwa ia seorang yang jujur terkadang salah (shaduuq rubamaa wahm). [Mizaanul-I’tidaal 1/579 no. 2196, Al-Kaasyif 1/345 no. 1189, Tahdziibul-Kamaal 7/131-133 no. 1442, Tahdziibut-Tahdziib 1/469, Taqriibut-Tahdziib hal. 264 no. 1466, Al-Kaamil 1/304, dan Al-Ansaab 5/21].
Yang nampak di sini bahwa Al-Hakam adalah seorang yang tsiqah, sebagaimana pendapat mayoritas ahli hadits. Adapun tuduhan mencuri hadits sebagaimana dikatakan Ibnu ‘Adiy, maka ini tidak benar.
2. ‘Amru bin Yahyaa bin ‘Amr bin Salamah Al-Hamdaaniy.
Yahyaa bin Ma’iin berkata : “Haditsnya tidak ada nilainya”, sebagaimana dibawakan Adz-Dzahabiy [Miizaanul-I’tidaal 3/293 no. 6474 – dan dari nukilan Ibnu Ma’iin inilah Adz-Dzahabiy menempatkan ‘Amr bin Yahyaa dalam kitab Al-Mughniy fidl-Dlu’afaa’ 2/156 no. 4730]. Namun dalam Al-Jarh wat-Ta’diil, Ibnu Abi Haatim mengatakan : “Telah mengkhabarkan kepadaku ‘Abdurrahman, ia berkata : Ayahku menyebutkan dari Ishaaq bin Manshuur, dari Yahyaa bin Ma’iin, bahwasannya ia berkata : ‘’Amru bin Yahyaa bin Salamah tsiqah” [6/269 no. 1487]. Tarjih atas perkataan Ibnu Ma’iin terhadap ‘Amru bin Yahyaa adalah bahwasannya ia tsiqah, karena ta’dil ini dibawakan oleh ulama mutaqaddimiin dengan membawakan sanadnya. Adapun nukilan Adz-Dzahabiy; maka sependek pengetahuan saya tidak terdapat dalam Taariikh Ibnu Ma’iin ataupun sumber-sumber lain yang bersanad sampai Ibnu Ma’iin.
Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat (8/480). Ibnu Khiraasy berkata : “Ia bukan seorang yang diridlai” [Liisaanul-Miizaan 6/232 no. 5852]. Al-Haitsamiy dalam Majma’uz-Zawaaid (3/84) melemahkannya.
Perkataan yang benar tentang diri ‘Amr bin Yahyaa bin ‘Amr adalah ia seorang yang tsiqah. Apalagi tautsiq ini salah satunya diberikan oleh Ibnu Ma’iin yang terkenal sebagai ulama mutasyaddid dalam jarh. Ta’dil lebih didahulukan daripada jarh, kecuali jarh tersebut dijelaskan sebabnya – sebagaimana ma’ruf dalam ilmu hadits. Di sini, jarh yang diberikan tidak disebutkan alasannya. Selain itu, Ibnu Abi Haatim juga menyebutkan sekelompok perawi tsiqat telah meriwayatkan darinya sehingga lebih menguatkan lagi pen-tautsiq-an terhadapnya.
3. Yahyaa bin ‘Amr bin Salamah Al-Hamdaaniy.
Al-‘Ijilliy berkata : “Orang Kuffah yang tsiqah” [Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/356 no. 1990]. Ibnu Abi Haatim menyebutkannya dalam Al-Jarh wat-Ta’diil (9/176) tanpa menyertakan adanya jarh maupun ta’dil-nya. Sejumlah perawi meriwayatkan darinya di antaranya : Syu’bah, Ats-Tsauriy, Al-Mas’uudiy, Qais bin Ar-Rabii’, dan anaknya (‘Amr bin Yahyaa). Yang menguatkan tautsiq atas diri Yahyaa adalah periwayatan Syu’bah darinya (dimana telah dikenal bahwa Syu’bah tidak meriwayatkan dari seseorang melainkan ia adalah tsiqah menurut penilaiannya).
Yahyaa bin ‘Amr ini diikuti oleh Mujaalid bin Sa’iid sebagaimana yang diriwayatkan oleh Ath-Thabaraaniy dalam Al-Kabiir (9/136). Mujaalid ini seorang perawi dla’iif (dalam hapalan), namun bisa dijadikan i’tibaar.
4. ‘Amru bin Salamah
Al-‘Ijiliiy berkata : “Orang Kuufah, taabi’iy tsiqah” [Ma’rifatuts-Tsiqaat 2/356 no. 1990]. Ibnu Hibbaan menyebutkannya dalam Ats-Tsiqaat (5/172). Ibnu Sa’d berkata : “Tsiqah, namun mempunyai sedikit hadits” [Ath-Thabaqaat 6/171]. Ibnu Hajar berkata : “Orang Kufah, tsiqah” [At-Taqriib hal. 737 no. 5076].
Dari data di atas, terlihat bahwa atsar ini adalah SHAHIH. Bukan dla’iif . Apalagi, atsar ini dibawakan dalam banyak jalan yang saling menguatkan satu dengan lainnya sehingga tidak ada kata lain selain mengatakan atas keshahihannya. Silakan lihat selengkapnya dalam Silsilah Ash-Shahiihah no. 2005 oleh Asy-Syaikh Al-Albani, Takhrij Al-I’tisham lisy-Syaathibi oleh Asy-Syaikh Masyhuur bin Hasan Alu Salmaan 2/323-325, dan Tahqiq Sunan Ad-Daarimiy 1/287-288 oleh Husain Saliim Asad.
Tambahan :
Jika ada ember yang berisi dengan air secara penuh sempurna, kemudian ada seseorang yang meneteskan air ke dalam ember tersebut, apa yang akan terjadi? Sudah pasti air yang ada tersebut akan tumpah, diteteskan lagi maka akan tumpah lagi, diteteskan lagi akan tumpah lagi. Air yang diteteskan tersebut akan tertolak karena air yang di dalam ember sudah penuh.
Begitulah hakikatnya bid’ah. Tidak ada satu kebid’ahan pun yang dilakukan seseorang melainkan akan tertolak. Seberapa banyak tetesan amalan-amalan bid’ah tersebut kecuali akan ditumpahkan kembali karena islam telah sempurna. Islam tidak membutuhkan bid’ah. Tidak ada satu tetes pun ditambahkan kecuali akan ditumpahkan, tidak ada satu amalan bid’ah yang dikerjakan kecuali ada sunnah yang ditinggalkan.
“Barangsiapa membuat suatu perkara baru dalam agama kami ini yang tidak ada asalnya, maka perkara tersebut tertolak.” [HR. Bukhari no. 20 dan Muslim no. 1718]
Allah Ta’ala berfirman:
“Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu dan telah Ku-cukupkan nikmat-Ku kepadamu, dan telah Ku-ridhai Islam menjadi agamamu.” [QS. al-Maidah: 3]
Rasulullah bersabda:
“Tidaklah aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allah perintahkan kepada kamu kecuali aku telah memerintahkannya, dan tidak pula aku meninggalkan sesuatu dari apa yang Allah Ta’ala larang kepada kamu kecuali aku telah melarangnya.”
[Hadits Shahih dengan seluruh jalur riwayatnya. Riwayat Syafi’i, al-Baihaqi, al-Khathib al-Baghdadi, dan lainnya. Dishahihkan oleh Syaikh al-Albani di dalam Silsilah ash-Shahihah 4/416-417 dan Syaikh Ahmad Syakir dalam Ta’liqur-Risalah, hlm. 93-103. Dinukil dari Al-Bid’ah Wa Atsaruha As-Sayyi’ Fil Ummah, hlm 25
Imam Malik bin Anas rahimahullah berkata:
“Barangsiapa membuat bid’ah (perkara baru) di dalam Islam dan dia memandangnya sebagai suatu kebaikan, maka, sungguh dia telah menyangka bahwa Nabi Muhammad mengkhianati risalah (tugas menyampaikan agama) ini, karena Allâh telah berfirman: “Pada hari ini telah Ku-sempurnakan untuk kamu agamamu, telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam sebagai agamamu.” (QS. al-Maidah: 3). Oleh karena itu, segala sesuatu yang pada hari itu bukan dari agama, pada hari ini pun juga bukan dari agama”.
[Kitab Al-I’tisham, juz: 2, hal: 64, karya Imam Asy-Syatibi]
Dalam rangka pendidikan di bolehkan zikir di jaharkan, simak uraian Ust. Mujiman (da'i Muhammadiyah) di video berikut :
Sumber : https://elmuntaqa.wordpress.com/
Komentar
Posting Komentar