Pagang Gadai Dalam Tinjauan Islam dan Hukum Waris Harta Pusaka di Minangkabau

Simak video ilustrasi berikut :

Sumber video : https://fb.watch/oXHn

Pagang Gadai Dalam Tinjauan Islam

Pagang Gadai  merupakan suatu yang sdh mendarah daging bagi masyarakat kita..
Muamalah ini kadang menjadi mata pencarian seseorang. Sampai sekarang ini transaksi ini masih berjalan dimasyarakat..

Praktek Pagang Gadai ini Membantu atau Membunuh..?

Sawah di pagang masa nenek dulu
Sampai hari ini, sawah nya sudah di pegang cucunya, Neneknya sudah tiada.

Disamping itu, pihak pemegang gadai dengan bebas dapat memanfaatkan barang gadaian sampai utang dilunasi pihak penggadai. Akan tetapi, menurut Buya Hamka, ulama besar Indonesia yang berasal dari Minangkabau, dalam praktik pagang gadai di Minangkabau, banyak barang yang digadaikan tersebut tidak ditebus kembali oleh pemilik barang ketika jatuh tempo, sehingga persetujuan yang ditetapkan bersama ketika transaksi dilaksanakan tidak berjalan dengan baik.

Untuk menyelesaikan kasus ini belum terlihat ada penyelesaian yang tuntas, sehingga pagang gadai yang sejak semula dimaksudkan sebagai sarana tolong-menolong sering tidak mencapai sasarannya.

Baa kadigadang kan juo anak jo Praktek RIBA ko..? 

Baca "Gadai dalam Hukum Islam" :


Pendapat Ahmad Khatib tentang Hukum Waris Harta Pusaka di Minangkabau

Sebagai ahli di bidang fiqih dan hukum Islam, Ahmad Khatib banyak menulis buku tentang masalah yang sedang dihadapi. Khusus untuk Minangkabau, salah satu yang menjadi perhatiannya adalah soal pembagian harta pusaka dan sistem keturunan matrilineal. Dalam buku "Al Manhaj Al Masyru" yang diterjemahkan ke dalam Bahasa Melayu pada 1893, Ahmad Khatib menilai sitem waris dalam adat Minangkabau menyalahi hukum faraidh (waris Islam).

Pendapat Ahmad Khatib ini mendapat tentangan dari kampung halaman. Bukan saja dari kaum adat, tetapi juga beberapa ulama. Antara lain, Datuk Sutan Maharajo yang menulis di Pelita Kecil (1894) dan Syekh Muhammad Sa'ad Mungkar dalam buku "Tanbih al-Awam".

Meski ditentang, Ahmad Khatib tak bosan-bosan mengingatkan. Melalui murid dan orang Minang yang berjumpa dengannya saat naik haji, ia selalu mengingatkan soal hukum waris tersebut.

Karena nasehat dari ulama besar sekaligus guru yang sangat dihormati, kemudian muncul kesepakatan para ulama dan tokoh adat dengan membedakan antara harta pusaka dengan harta pencaharian.

Kongres Badan Permusyawartaan Alim Ulama, Ninik Mamak dan Cerdik Pandai Minangkabau pada 4-5 Mei 1952 menyepakati, bahwa untuk harta pusaka tinggi (turun temurun) berlaku hukum adat. Sementara terhadap harta pencaharian berlaku hukum faraidh (waris Islam).

Berdasar pendapat beberapa ulama, harta pusaka dinilai berbeda dengan harta pencarian. Harta pusaka dinilai sama dengan harta wakaf atau harta musabalah yang di Zaman Khalifah Umar bin Khatab, dimanfaatkan untuk kepentingan umum.

Kesepakatan ini kemudian diperkuat dengan Seminar Hukum Tanah dan Hukum Waris Minangkabau di Padang yang diprakarsai Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) pada 21-25 Juli 1968. Seminar terakhir ini, membuat kesepakatan itu bisa diimplementasikan dalam hukum formal di pengadilan.

Baca selengkapnya @ klik :
----
Simak video berikut :

Debat Adat Minangkabau, "Pusako Tinggi di Minang itu haram", beginilah jawaban Datuak Parpatiah :

Sumber video : https://youtu.be/Fv_5B

"Psako Tinggi dalam kajian Adat Alam Minagkabau"
Oleh : Buya H. Gusrizal Gazahar, Lc., MA.

Sumber video : https://youtu.be/Y-VTq

"Hukum Pembagian Waris Pusako Tinggi dan Pusako Randah di Minangkabau"
Oleh : Buya Muhammad Elvi Syam., Lc. MA.

Sumber video : https://youtu.be/sw

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Di Masa Kelam, Masjidil Haram mempunyai 4 Mihrab