Kesalahan Ustadz Abdul Somad Menurut Ulama

Kesalahan Ustadz Abdul Somad Menurut Ulama

Ustadz Abdul Somad memiliki kesalahan fatal yang tidak bisa dianggap enteng. Alasannya, ini terkait dengan masalah prinsip keyakinan yang tidak bisa ditawar lagi. Padahal, pendapat Ustadz Abdul Somad jelas bertentangan dengan Al-Qur'an, Hadits, dan ijma seluruh ulama Ahlus Sunnah wal Jamaah.

Masalah keyakinan bukanlah masalah kecil. Padahal, inilah penentu diterimanya amal ibadah kita. Apalagi ini menyangkut keyakinan kita kepada Sang Pencipta, Tuhan Yang Maha Tinggi di atas Arsy. Oleh karena itu, Ustadz Johan Saputra Halim, M.HI. dan Ustadz Dr. Firanda Andirja (Doktor Pascasarjana Masjid Madinah/Pengurus Masjid Nabawi) mengkritik pendapat Ustadz Abdul Somad berikut ini.

Ustad Somad

FAKTA 7: USTADZ FIRANDA KRITIK USTADZ ABDUL SOMAD

Pada suatu kesempatan, sebagaimana terekam dalam video di tautan ini; https://youtu.be/iLrYf59yzcw, Ust. H. Abdul Somad, Lc., MA., -semoga Allah melindunginya- ditanya; "Di mana Tuhan, Pak Ustadz...??". Jawaban Ustadz Somad Hafizhahullah yang dipaparkan kemudian, begitu gamblang menggambarkan peta keyakinannya dalam masalah Nama-nama dan Sifat-sifat Tuhan.

Mengawali jawabannya, Ustadz Abdul Somad membagi pemahaman masyarakat tentang pertanyaan besar itu menjadi dua kelompok. Pertama; sekelompok orang yang mengatakan bahwa Tuhan ada di bumi dengan makhluk-Nya. Kedua; sekelompok orang yang menganggap Tuhan di atas, " duduk di kursi” (menit: 0,42). Begitulah klasifikasinya. Kami sepakat bahwa kedua kelompok tersebut adalah kelompok yang sesat.

Selanjutnya Ustadz Abdul Somad hafizhahullah mulai mengomentari ketidakabsahan kedua kelompok tersebut yang berujung pada kesimpulan bahwa ada kelompok ketiga yang paling tepat dalam menjawab pertanyaan “Di mana Tuhan..?”—menurut Ust. Somad Hafizhahullah—. Yaitu golongan Asy’ari (Abul Hasan al-Asy’ary) yang mengatakan; "Allah ada tanpa tempat. Bukan pada 'Arsy-Nya, dan arti Istawai adalah Istaulaa, yaitu sakti."

Entah, apa yang menyebabkan Ust. Somad Hafizhahullah tidak menyebutkan keyakinan kelompok keempat dalam masalah ini, kelompok yang dihuni oleh Nabi ﷺ dan para sahabatnya, serta para imam Salaf yang hidup lebih awal dari Abul Hasan al-Ash'ary, semoga Allah merahmati pada dia.

Bahkan, jika merujuk pada perkataan Abul Hasan al-Ash'ary rahimahullah dalam kitabnya, beliau dengan tegas menyebutkan bahwa takwilan Istaulaa adalah pendapat yang menyimpang dari sekte Mu'tazilah, sebagaimana kutipan ilmiahnya akan Anda temukan di artikel ini.

Nantinya, dalam artikel ini Anda juga akan menemukan beberapa kutipan ilmiah dari ucapan Abul Hasan al-Ash'ary dan pemimpin Madzhab Asy'ari (mutaqaddimin) sebelumnya yang sebenarnya bertolak belakang 180 derajat dari apa yang diklaim oleh Ust. Somad Hafizhahullah. Karena Abul Hasan al-Ash'ary dan al-Baqillani yang merupakan tokoh salaf di kalangan Asya'iroh justru menetapkan bahwa Tuhan berada di atas 'Arsy-Nya.

Tn. Somad juga mengutip dalam video itu ungkapan Imam at-Tahawi yang disalahartikan olehnya. Padahal jika merujuk pada sumber aslinya (al-'Aqidah at-Tahawiyyah), ternyata maksud Imam at-Tahawiyyah jauh berbeda dengan apa yang diinginkan Ust. Sangat marah. Imam at-Tahawi sebenarnya menempatkan Tuhan di atas. Anda akan membaca bukti ilmiah dalam artikel ini—Insya Allah—.

Selain itu, Ust. Somad pun mengutip sebuah kisah yang konon pernah disampaikan oleh Sayyidina 'Ali radhiallahu'anhu. Namun sayangnya ternyata sejarah ini palsu, tidak dapat dipertanggungjawabkan legitimasi dan validitasnya.

Tn. Somad Hafizhahullah juga berpendapat bahwa menegakkan sifat istiwaa' bagi Tuhan berarti mengadakan tasybih (simulasi) antara Tuhan dengan makhluk yang duduk di atas kursi, sehingga firman Tuhan yang menegaskan dirinya istiwaa' harus diterjemahkan menjadi Istaulaa (berkuasa). Sedangkan dalam kitab al-Jawahir al-Kalamiyyah, kitab karya Syekh Tahir al-Jazairi yang biasa dijadikan buku pegangan keyakinan Asy’ari di pesantren-pesantren di nusantara, secara tegas dinyatakan bahwa penetapan kehadiran Tuhan atas Singgasananya tanpa taqif adalah Madhhab Salafnya, sedangkan takwil Istiwaa' menjadi Istaulaa adalah Mazhab Khalaf (orang kemudian, setelah generasi Salaf). Dan berpegang teguh pada madzhab salaf dalam hal ini—kata Syekh Thahir—lebih aman.

Oke, mari luangkan waktu sejenak untuk melafalkan kalimat demi kalimat yang Ust sampaikan. Somad hafizhahullah dalam video tersebut. Berharap pertolongan Allah, selanjutnya saya akan mencoba memberikan beberapa komentar dan catatan berdasarkan dalil-dalil syar'i dan penjelasan ulama salaf atas beberapa kejanggalan ucapannya dalam video tersebut.

* * *


MENIT 00.52 , Ust. Somad Hafizhahullah mengutip ungkapan—yang konon berasal dari—Sayyidina 'Ali;

الذه اين الاين لا يقال انه اين

Tn. Somad hafizhahullah artinya; "Dia yang ada sebelum waktu dan tempat ada, jadi tidak layak untuk ditanyakan di mana Dia berada."

* * *

TANGGAPAN:

Sisi 1 : Tuan yang terhormat Somad Hafizhahullah tidak memberikan referensi sumber pidato tersebut. Sehingga kita bisa mengecek sanad dan validitas atribusi kepada 'Ali radhiallahu'anhu. Namun dari hasil kajian, kalimat tersebut justru banyak beredar di forum diskusi kelompok Syiah. Seperti di Shi'ah Online Library (shiahonlinelibrary.com), ungkapan serupa kalimat tersebut tertulis dalam Sharh Ushul al-Kafi (3/215) namun atribusinya bukan kepada 'Ali radhiallahu'anhu, melainkan kepada Abu 'Abdillah (Husein bi 'Ali bin Abi Thalib (ra dengan dia). Seperti yang sudah umum dipahami, Ushul al-Kafi merupakan salah satu kitab rujukan utama agama Syi'ah.

Uniknya, kalimat tersebut banyak muncul di media Ahbasy. Salah satu tokoh mereka bernama Nabil as-Syarif (https://youtu.be/OqA59hRYox8), menyebut tuturan 'Ali, namun tanpa referensi atau sanad apapun. Para editor tersebut adalah:

إن الذهي اين الأين لا اين له, وذن ذهي كيف الكيف لا كيف له

Dia yang menciptakan "di mana", maka tidak bisa ditanya "di mana dia..?". Dia yang menciptakan "bagaimana", maka tidak bisa ditanya "Bagaimana dia..?".

Pidato 'Ali radhiallahu'anhu ini disebutkan dan diriwayatkan dalam kitab at-Tabshir fid-Din karya Abu al-Muzhaffar al-Isfirayini (wafat: 471-H). Setelah penulis melakukan crosscheck, kalimat tersebut ditulis pada hal. 161-162 (Cet.-1 'Alamul Kutub – Beirut, tahun 1403-H, diverifikasi oleh: Kamal Yusuf al-Huut). Namun lagi-lagi riwayat tersebut ditulis tanpa sanad.

Akibatnya, kalimat yang dikaitkan dengan 'Ali radhiallahu'anhu ini adalah riwayat yang tidak jelas asal usulnya. Dari segi ilmu narasi, tentu tidak bisa dipertanggungjawabkan keabsahannya. Bahkan Ibnu Taimiyyah dalam at-Tis'iniyyah (1/957, Tahqiq: Dr. Muhammad Ibrahim al-'Ajlan) dengan tegas menyebutkan kepalsuan mengkaitkan riwayat dengan 'Ali, semoga Allah meridhoi dia, berdasarkan kesepakatan para ulama. . Dia melangkah lebih jauh dengan mengatakan bahwa riwayat ini tidak memiliki sanad sama sekali.

* * *

Sisi 2 : Kepalsuan menghubungkan ucapan dengan 'Ali radhiallahu'anhu bahkan lebih jelas dengan riwayat Sahih Muslim (no. 537) berikut dari Mu'awiyah bin al-Hakam as-Sulami radhiallahu'anhu:

وَكَانَتْ لِي جَارِيَةٌ تَرْعَى غَنَمًا لِي قِبَلَ أُحُدٍ وَالْجَوَّانِيَّةِ، فَاطَّلَعْتُ ذَاتَ يَوْمٍ، فَإِذَا الذِّيبُ قَدْ ذَهَبَ بِشَاةٍ مِنْ غَنَمِهَا، وَأَنَا رَجُلٌ مِنْ بَنِي آدَمَ آسَفُ كَمَا يَأْسَفُونَ، لَكِنِّي صَكَكْتُهَا صَكَّةً، فَأَتَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ، فَعَظَّمَ ذَلِكَ عَلَيَّ. قُلْتُ : يَا رَسُولَ اللَّهِ, أَفَلَا أُعْتِقُهَا ? قَالَ : ” ائْتِنِي بِهَا “, فَأَتَيْتُهُ بِهَا. فَقَالَ لَهَا : ” أَيْنَ اللَّهُ ? ” قَالَتْ : فِي السَّمَاءِ. قَالَ : ” مَنْ أَنَا ? ” قَالَتْ : أَنْتَ رَسُولُ اللَّهِ. قَالَ : ” أَعْتِقْهَا, فَإِنَّهَا مُؤْمِنَةٌ “.
Diceritakan bahwa Mu'awiyah bin al-Hakam as-Sulami, semoga Allah memberkati dia dan memberinya kedamaian, pernah menampar wanita Jariyahnya karena kecerobohannya. Rasulullah ﷺ tidak menyukai perilaku Mu'awiyah. Mu'awiyah yang merasa kasihan kemudian berkata; "Wahai Rasulullah, kenapa tidak saya bebaskan saja dia...?". Rasulullah kemudian meminta wanita itu untuk dibawa.

Nabi kemudian menguji keimanan wanita tersebut dengan bertanya; Di mana Tuhan...? ”, jawab wanita itu; di atas langit ". Lebih lanjut Nabi bertanya; "siapa saya…?". Wanita itu menjawab; "Engkau adalah Rasulullah". Saat itu Nabi bersabda; "Bebaskan dia, karena dia adalah wanita yang beriman."


Lihatlah bagaimana Rasulullah sendiri mencontohkan bertanya; "di mana Tuhan...?". Lantas, kenapa justru ada orang yang melarang bertanya "di mana Tuhan"...?? Dan justru menganggapnya sebagai bentuk tasybih (menyerupakan) Tuhan dengan makhluk..?? Karena substansi makna pertanyaan “di mana Tuhan” dalam hadits Jariyah ini tidak mungkin direproduksi, mereka pun berusaha melemahkan dan menjatuhkan hadits Jariyah ini (sebagaimana dilakukan oleh as-Saqqaf, al-Ghumari, dan al-Kautsari). , padahal hadits tersebut ditulis dalam Sahih Muslim, kitab paling Sahih di muka bumi ini setelah Al-Qur'an dan Sahih al-Bukhari.

Tidak ada satu pun ahli hadits besar yang menolak keabsahan hadits Jariyah dalam Sahih Muslim. Imam Syafi'i berpendapat menggunakan hadits ini dalam kitabnya ar-Risalah (hal. 75) dan al-Umm (5/298), juga dikutip oleh al-Baihaqi dalam Manaqib as-Syafi'i (1/394). Bahkan, al-Baihaqi -yang sering disebut para peramal di zaman ini- mengotentikasi hadits ini dalam al-Asma' was-Shifat (hal. 533). Ibnu Hajar juga menegaskan keasliannya dalam Fathul Bari (13/359). Begitu juga dengan al-Baghawi dalam Syarhu as-Sunnah (3/43).

* * *

Sisi 3 : Sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah di mana Tuhan sebelum Dia menciptakan makhluk. Abu Razin semoga Allah meridhoi dia berkata:

يَا رَسُولَ اللَّهِ أَيْنَ كَانَ رَبُّنَا عَزَّ وَجَلَّ قَبْلَ أَنْ يَخْلُقَ خَلْقَهُ ? قَالَ: (كَانَ فِي عَمَاءٍ مَا تَحْتَهُ هَوَاءٌ وَمَا فَوْقَهُ هَوَاءٌ , ثُمَّ خَالَقَ عَرْشَهُ عِ َ)

“Wahai Rasulullah, di manakah Rabb kami —azza wa jalla—sebelum Dia menciptakan makhluk-makhluk-Nya? Rasullullah menjawab: “Ia berada dalam ‘amaa’ (keadaan di mana tidak ada yang lain selain Diri-Nya), tidak ada yang di bawah maupun di atas-Nya. Kemudian Dia menciptakan 'Arsy-Nya di atas air. [SDM. at-Tirmidzi: 3109, Ibnu Majah: 182, Ahmad: 15755, disahkan oleh at-Tabari, direkomendasikan oleh at-Tirmidzi, ad-Dzahabi dan Ibnu Taimiyyah, dilemahkan oleh al-Albani, lihat. islamqa.info/ar/184797]

Lihat, Rasulullah tidak menyangkal pertanyaan itu. Menunjukkan bahwa pertanyaan "di manakah Tuhan?" tidak dilarang oleh syar'i.

Sisi ke-4 : Ketika memberikan kesimpulan tentang hadits tentang wanita jariyah Mu'awiyah bin al-Hakam di atas, Imam adz-Dzahabi as-Syafi'i (wafat: 748-H) mengatakan:

ففي الخبر مساقلتان: إحداحما: شريعة قول المسلم: اين الله?. 
Kedua: قول المحمد: في السماء, فين انكر هاتين المساقلتين فنّما يُُنُعلى المصلفى

“Ada dua hal (yang dapat dikutip dari) hadis tersebut: pertama, menanyakan “di manakah Allah” adalah sesuatu yang disyariatkan. Kedua, jawaban (untuk) yang ditanyakan adalah: "di atas langit". Barangsiapa mengingkari dua hal ini, maka ia telah mengingkari al-Mushtafa (Rasulullah).” [Mukhtashar al-'Uluw, hal. 81]

Dengan demikian mematahkan dalil Ust. Somad hafizhahullah dengan tuturan yang katanya bersumber dari Sayyidina 'Ali radhiallahu'anhu di atas, baik dari sisi sanad karena tidak jelas asal usulnya, maupun dari sisi matan (redaksi) karena maknanya bertentangan dengan redaksi hadits shahih. Tak heran jika 'Abdul Ghani al-Maqdisi (wafat: 600-H) mengatakan—setelah membawa hadits Jariyah di atas—:

ومن أجهل جهلاً واذقف عقلاً واضل سبيلاً ممن يقول: إنه لا حصل أن يقل: اين الله!! 
Setelah pernyataan Syekh al-Syariah mengatakan: ((أين الله?)

“Siapakah yang lebih jahil, lemah akalnya, dan lebih sesat, daripada orang yang mengatakan: ‘tidak bisa bertanya di mana Allah’, setelah Rasulullah, sebagai pengemban syariat, justru bertanya: Di manakah Allah...??" [dikutip dari Aqaidu Aimmati as-Salaf, hal. 75, Fawwaz Ahmad Zumarli] Sebagai penutup

Ungkapan Ust. Somad Hafizhahullah; “Dia tidak layak untuk ditanya dimana”, jelas salah. Namun sayang bagi ribuan orang, dia justru menggunakan ungkapan itu sebagai kata pengantar untuk mengingkari keberadaan Tuhan di 'Arsy'-Nya. Dan ini akan menjadi lebih jelas dalam pidato berikutnya.

* * *


MENIT 01.30 : Ust. Somad hafizhahullah berkata: "...Allaahu munazzahun 'anil jihat as-sitt, kata syahadat Thaawiyah. Tuhan itu suci dari enam arah..."

MENIT 01.43 : Lalu Ust. Somad hafizhahullah berkata: "Dia tidak di atas, Dia tidak di bawah"

* * *

RESPON:

Sisi 1: Ust. Somad Hafizhahullah sepertinya kurang tepat mengutip perkataan Imam at-Tahawi (wafat: 321-H). Berikut ungkapannya—semoga Tuhan memberkatinya—sebenarnya:

لا تحويه هذا الست كساير المبتدعات

Itu berarti; "Allah tidak tercakup oleh enam penjuru seperti dalam hal makhluk." [Syarh al-'Aqidah at-Tahawiyyah: 1/267, Cet. Mu-assasah ar-Risalah, 1417-H]

Sisi 2 : Selain kurang tepat mengutip perkataan Imam at-Tahawi, Ust. Somad Hafizhahullah juga melakukan kesalahan fatal dengan salah mengartikan arti at-Tahawi. Artinya Ust. Somad adalah; menepis anggapan bahwa Tuhan itu di atas. Hal ini terlihat dari tuturan Ust. Somad sendiri pada MENIT 01.43 ; "Dia tidak di atas, Dia tidak di bawah". Sedangkan at-Tahawi tidak bermaksud demikian.

Untuk memahami maksud dari ungkapan at-Tahawi di atas, kita juga harus melihat ucapannya setelah itu. Dalam teks kitab yang sama (al-'Aqidah at-Tahawiyyah), Imam Abu Ja'far at-Tahawi, semoga Allah merahmatinya, mengatakan:

“Al-‘Arsy dan al-Kursi itu nyata. Tapi Allah tidak membutuhkan Arsy dan apa pun di bawahnya. Tuhan menutupi segalanya dan berada di atasnya . Sungguh Dia telah membuat makhluk-Nya tidak mampu menutupi (kebenaran-Nya).”

Dari ungkapan—yang dirindukan Ust. Somad ini – nampaknya sangat jelas bahwa at-Tahawi tidak bermaksud seperti yang dimaksud oleh Ust. Sangat marah. Tidak nyambung sama sekali, antara penjelasan Ust. Somad hafizhahullah dengan makna yang diinginkan oleh at-Tahawi rahimahullah.

Sisi 3 : Untuk lebih memperjelas apa maksud dari ucapan at-Tahawi, mari kita simak komentar Ibnu 'Abil' Izz al-Hanafi (wafat: 792-H) sebagai penceramah Aqidah Thahawiyyah berikut ini :

وَقَوْلُ الشَّيْخِ رَحِمَهُ اللَّهُ: (لَا تَحْوِيهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ) هُوَ حَقٌّ، بِاعْتِبَارِ أَنَّهُ لَا يُحِيطُ بِهِ شَيْءٌ مِنْ مَخْلُوقَاتِهِ، بَلْ هُوَ مُحِيطٌ بِكُلِّ شَيْءٍ وَفَوْقَهُ. وَهَذَا الْمَعْنَى هُوَ الَّذِي أَرَادَهُ الشَّْخُ رَحِمَهُ اللَّهُ, mengapa itu datang dalam kata-katanya: Aku dikelilingi oleh segala sesuatu dan jalannya. فَإِذَا جُمِعَ بَيْنَ كَلَامَيْهِ، وَهُوَ قَوْلُهُ: (لَا تَحْوِيهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ) وَقَوْلُهُ: (مُحِيطٌ بِكُلِّ شَيْءٍ وَفَوْقَهُ) عُلِمَ أَنَّ مُرَادَهُ أَنَّ اللَّهَ تَعَالَى لَا يَحْوِيهِ شَيْءٌ، وَلَا يُحِيطُ بِهِ شَيْءٌ، كَمَا يَكُونُ لِغَيْرِهِ مِنَ الْمَخْلُوقَاتِ، وَأَنَّهُ تَعَالَى هُوَ الْمُحِيطُ بِكُلِّ شَيْءٍ, الْعَالِي عَنْ كُلِّ شَيْءٍ.

لَكِنْ بَقِيَ فِي كَلَامِهِ شَيْئَانِ:

أَحَدُهُمَا : أَنَّ إِطْلَاقَ مِثْلَ هَذَا اللَّفْظِ – مَعَ مَا فِيهِ مِنَ الْإِجْمَالِ وَالِاحْتِمَالِ – كَانَ تَرْكُهُ أَوْلَى، وَإِلَّا تَسَلَّطَ عَلَيْهِ، وَأَلْزَمَ بِالتَّنَاقُضِ فِي إِثْبَاتِ الْإِحَاطَةِ وَالْفَوْقِيَّةِ وَنَفْيِ جِهَةِ الْعُلُوِّ، وَإِنْ أُجِيبَ عَنْهُ بِمَا تَقَدَّمَ، مِنْ أَنَّهُ إِنَّمَا نَفَى أَنْ يَحْوِيَهُ شَيْءٌ مِنْ مَخْلُوقَاتِهِ، فَالِاعْتِصَامُ بِالْأَلْفَاظِ الشَّرْعِيَّةِ أَوْلَى.

“Perkataan Syekh (at-Tahawi), semoga Allah merahmatinya; (لَا تَحْوِيهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ كَسَائِرِ الْمُبْتَدَعَاتِ), adalah benar jika dilihat dari samping; Allah tidak ditutupi oleh apapun dari makhluk-Nya. Faktanya, Tuhanlah yang meliputi segala sesuatu, dan pada saat yang sama Dia berada di atas segalanya. Inilah makna yang diinginkan oleh Syekh (at-Tahawi) rahimahullah, dengan indikasi ucapannya; (أَنَّهُ تَعَالَى مُحِيطٌ بِكُلِّ شَيْءٍ وَفَوْقَهُ), "Dia Tinggi, menutupi segala sesuatu, dan Dia di atas segalanya". Jika kedua tuturan beliau ini, yaitu tuturan (لَا تَحْوِيهِ الْجِهَاتُ السِّتُّ) dan (مُحِيتٌ بِكُلِّ شَيْءٍ وَفَوْقَهُ) maka dapat diketahui maknanya adalah; tidak ada yang meliputi Tuhan dan tidak ada yang menutupi Dia, tidak seperti makhluk (yang dapat dilingkupi dan ditutupi oleh sesuatu). Dialah Yang Maha Tinggi, Dialah yang meliputi segala sesuatu, Yang Maha Tinggi di atas segala sesuatu.

Namun dalam pidatonya (at-Tahawi), tetap ada dua masalah. Salah satunya adalah; bahwa ungkapan semacam ini dilepaskan begitu saja tanpa penjelasan dan detail—sekalipun masih berarti global dan multitafsir—harus ditinggalkan. Karena kalau tidak, ekspresi seperti ini bisa dieksploitasi. Sehingga memunculkan makna yang kontradiktif; antara negasi jiha (arah) dan tekad bahwa Dia di atas. Kalaupun bisa dijawab dengan jawaban di atas (maksudnya Tuhan tidak ditutupi oleh apapun), tapi tetap berpegang pada kata-kata syar'i itu jauh lebih baik." Selesai kutipan dari penjelasan Ibnu Abil 'Izz. [lih. Sharh al-'Aqidah at-Tahawiyyah: 1/267-268, Cet. Mu-assasah ar-Risalah, 1417-H]

Adapun Syekh Bin Baz, semoga Allah merahmatinya, dia berkomentar sebagai berikut:

“Itu adalah maksud dari dunia yang diciptakan, dan itu bukan maksud dari peninggian Allah, dan Dia berada di singgasana-Nya, karena itu tidak ada di dalam dunia, tetapi di atas dunia dan sekelilingnya, dan Allah telah menetapkannya. beriman kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan itu menuju kepada Yang Maha Tinggi.”

“Yang dia (at-Tahawi) maksudkan adalah; makhluk dalam bentuk enam arah (yaitu; atas, bawah, kanan, kiri, depan, belakang). Dia tidak bermaksud mengingkari ketinggian Allah dan Istiwaa'-Nya di atas Singgasana. Karena ketinggian Tuhan dan Istiwaa'-Nya tidak termasuk dalam ruang lingkup enam penjuru. Bahkan Tuhan berada di atas alam, dan Dia menutupinya. Allah telah menanamkan sifat hamba-Nya atas keimanan kepada keagungan-Nya. Bahwa Dia di atas.” [at-Ta'liqat al-Atsariyyah 'ala al-'Aqidah at-Tahawiyyah, hal. 16. Berdasarkan penomoran Syamilah]

Jika Ust. Somad Hafizhahullah hendak merenungkan jawaban Ibnu Taimiyyah rahimahullah berikut ini (wafat: 728-H), tentunya persoalannya akan semakin jelas, bahwa pengingkaran “jihah” terhadap adanya Tuhan tidak dapat ditolak dan juga tidak dapat ditolak. diterima mentah, detail diperlukan. Ibnu Taimiyyah, semoga Allah mengasihani dia, berkata:

” يُقَالُ لِمَنْ نَفَى الْجِهَةَ: أَتُرِيدُ بِالْجِهَةِ أَنَّهَا شَيْءٌ مَوْجُودٌ مَخْلُوقٌ? فَاَلَّهُ لَيْسَ دَاخِلًا فِي الْمَخْلُوقَاتِ. أَمْ تُرِيدُ بِالْجِهَةِ مَا وَرَاءَ الْعَالَمِ? فَلَا رَيْبَ أَنَّ اللَّهَ فَوْقَ الْعَالَمِ مُبَايِنٌ لِلْمَخْلُوقَاتِ .

وَكَذَلِكَ يُقَالُ لِمَنْ قَالََ: Allah berkuasa: أَتُرِيدُ بِذَلِكَ أَنَّ اللَّهَ فَوْقَ الْعَالَمِ? أَوْ تُرِيدُ بِهِ أَنَّ اللَّهَ دَاخِلٌ فِي شَيْءٍ مِنْ الْمَخْلُوقَاتِ? فَإِنْ أَرَدْت الْأَوَّلَ فَهُوَ حَقٌّ , وَإِنْ أَرَدْت الثانِيَ فَهُوَ بَاطِلٌ.

“Kepada mereka yang menolak jihah (petunjuk), kami katakan: ‘apa maksudmu dengan jihah? Apakah itu sesuatu yang ada dalam bentuk makhluk? (Jika demikian), maka Tuhan tidak berada di dalam (atau dikelilingi oleh) makhluk-Nya. Atau jika yang Anda maksud dengan Jiha adalah apa yang ada di balik alam? Maka tidak diragukan lagi bahwa Tuhan berada di atas alam (bukan di alam), terpisah dari semua makhluk-Nya.

Hal yang sama dikatakan kepada mereka yang mengatakan, 'Allah berada di suatu arah'; maksud Anda (dengan kata-kata itu) bahwa Tuhan berada di atas alam? Atau apakah maksud Anda bahwa Tuhan berada di dalam (atau ditutupi oleh) makhluk-makhluk-Nya? Jika yang Anda maksud adalah yang pertama, maka itu benar. Tetapi jika yang Anda maksud adalah yang kedua, maka itu tidak sah.” [Majmu' al-Fatawa: 3/42]

Garis bawah; Apa yang dimaksud at-Tahawi jauh berbeda dengan apa yang dimaksud Ust. Somad Hafizhahullah. Fatal, tepatnya Ust. Somad Hafizhahullah menarik ucapan at-Tahawi ke arah yang berlawanan dengan niat at-Tahawi sendiri.

* * *

MENIT 02.05 : Ust. Somad Hafizhahullah berkata; "Jika Dia dapat ditunjukkan, 'di mana Allah'. Tuhan di atas, jadi ayatnya batal;

ولم يكان له كفوا احد

Dan tidak ada yang setara dengan Dia.

Jika Dia bisa ditunjuk, Tuhan di atas, artinya sama dengan pelita di atas.

* * * 
TANGGAPAN :

Sisi 1: Ketika di Haji Wada', Nabi berdakwah di 'Arafah. Setelah menyampaikan khotbahnya, disebutkan bahwa:

Dan dia berkata dengan jari telunjuknya bahwa dia mengangkatnya ke langit dan menyentuhkannya kepada orang-orang: Tuhan adalah saksi, Tuhan adalah saksi.

“Nabi mengangkat jari telunjuknya ke arah langit dan mengarahkannya ke orang-orang (di depannya) sambil berkata: 'Ya Allah saksikan, ya Allah saksikan,..' [Abu Dawud: 1/358, no. 1905, lihat Sahih Sunan Abi Dawud no. 1905]

Sisi 2: Dalam Sahih al-Bukhari (3/873, no. 1739) disebutkan bahwa Nabi mengangkat kepalanya ke langit sambil berkata; "Ya Tuhan, bukankah aku sudah mengantarkan?, Ya Tuhan, bukankah aku sudah mengantarkan?"

Kisah ini digunakan sebagai bukti oleh para sarjana bahwa Allah di atas [lih. Al-'Aqidatu Fillah, hal. 192, Cet.-12 Darun Nafais, 1419-H, Dr. Sulaiman 'Umar al-Ashqar]

Nabi menetapkan bahwa Tuhan itu di atas, dia bahkan menunjuk dengan jari telunjuk dan kepalanya ke atas. Dengan sikap Nabi ini, apakah kita akan mengatakan bahwa Nabi telah menyamakan Tuhan dengan awan yang juga di atas...?? Tentu saja tidak. Kemuliaan bagi Tuhan.

Sisi ke-3 : Sahabat mulia 'Umar bin al-Kaththab radhiallahu'anhu juga pernah mengisyaratkan Allah dengan menunjuk ke langit. Sebagaimana riwayat Ibnu Abi Shaibah (wafat: 235-H) berikut ini:

Ketika Umar datang ke malam hari, orang-orang menyapanya dan dia berada di atas keledai, dan mereka berkata: Wahai pangeran orang-orang beriman, jika Anda berkendara dengan kami, Anda akan bertemu dengan orang-orang hebat dan wajah mereka, Umar berkata: Saya tidak sampai jumpa di sini, tapi perintahnya dari sini - dia mengarahkan tangannya ke langit

Ketika 'Umar datang ke negeri Syam, orang-orang menemuinya. Saat itu dia sedang berada di atas untanya. Orang-orang berkata: "Wahai Amirul-Mukminin, jika kamu menunggang kuda yang kuat dan kuat, maka para pembesar dan pemimpin akan menemuimu". Lalu 'Umar menjawab: "Aku tidak memperhatikan perintahmu. Perintah itu baru saja datang dari sana—menunjukkan tangannya ke langit” [lih. Al-Mushannaf Ibnu Abi Syaibah, volume 19/no. 36111, tahqiq: Syekh Prof. dr. Sa'ad ash-Syatsri, Dar Kunuz Isybilia, Cet. 1/1436-H, dan peninjau menyatakan riwayat ini otentik]

Imam adz-Dzahabi ash-Syafi'i dalam kitabnya al-'Uluw (hlm. 62) menyebutkan sanad riwayat ini dengan ungkapan "isnaduhu kasy-shams" (sanadnya sebening matahari). Syaikh al-Albani dalam Mukhtashar al-'Uluw (no. 46 hal. 102-103) menyebutkan bahwa riwayat ini shahih berdasarkan kriteria al-Bukhari dan Muslim. [lih. Itsbat Shifatil 'Uluw, hal. 149, Ibnu Qudamah al-Maqdisi, tahqiq: Dr. Ahmad 'Athiyyah al-Ghamidi, Maktabah al-'Ulum wal Hikam, Cet. 1/1409-H]

Riwayat dari 'Umar ini dengan sangat jelas menunjukkan bahwa menunjuk ke langit untuk menunjukkan adanya Tuhan Yang Maha Tinggi, bukanlah hal yang terlarang di mata para Sahabat, tidak seperti anggapan Ust. Somad Hafizhahullah.

Sisi ke-4 : Adanya kesamaan dalam penyebutan sifat tidak berarti adanya kesamaan dalam hakikat sifat. Realitas keberadaan Tuhan Yang Maha Tinggi di atas makhluk-Nya, tentu jauh berbeda dengan pelita di atas yang dijadikan perumpamaan oleh Ust. Sangat marah. Lagi pula, untuk bisa berada di atas, lampu harus menempel atau bergantung pada benda lain. Sedangkan tidak ada satu pun ulama salaf (yang menetapkan Tuhan di atas) yang berpendapat bahwa Tuhan itu perlu di langit atau melekat pada Arsy-Nya.

Jadi, siapa sebenarnya yang melakukan tasybih...??

* * *

MENIT 02.48 : Ust. Somad hafizhahullah berkata: “lalu apa artinya; 'Allah duduk di kursi'..??”

MENIT 02.53:Tn. Somad lebih lanjut mengatakan; "Artinya adalah 'kekuatan'. Itulah arti dari 'ar-Rahmaanu 'alal 'Arsys-tawaa', (demikian kata keyakinan Asy'ari, Abul Hasan al-Ash'ary)."

* * *

TANGGAPAN

Sisi 1: Tidak ada ulama Salaf yang menetapkan Tuhan di atas, yang kemudian menafsirkan ayat (الرحمن على العرش استوى) dengan ekspresi; "Tuhan duduk di kursi". Namun sebenarnya Ust. Somad yang mengartikan seperti itu. Lagi-lagi hal ini menimbulkan pertanyaan:

Siapa sebenarnya yang melakukan tasybih...??

Siapa diantara ulama salaf yang mengartikan “ar-Rahmaanu ‘alal ‘Arsys-tawaa” dengan ungkapan ; "Tuhan duduk di kursi"…?? Jika ada, di manakah kita bisa menemukan tafsir dalam tiang turatsiyyah (kitab-kitab terdahulu) para imam Ahlussunnah...?? Di manakah kita dapat menemukan tafsir dari kitab-kitab Ibnu Taimiyyah, Ibnul Qayyim, dan Muhammad bin 'Abdil Wahhab rahimahumullahu jami'an...?? Jika tidak ada, maka mungkin tafsirnya hanya ungkapan Ust. Somad sendiri menggiring pendapat orang bahwa menyetel Tuhan di atas 'Arsy adalah kebiasaan membayangkan Tuhan duduk di kursi...??

Sisi ke-2 : Melalui takwilnya (istawaa menjadi istaulaa) di atas, terlihat jelas bagaimana Ust. Somad telah melakukan tahrif atau mengubah makna tanpa dalil atau qarinah yang kuat. Ini adalah jenis ramalan terlarang. Bukan hanya tanpa qarinah yang kuat, produk takwil justru bertentangan dengan banyak dalil qath'i yang ada.

Bukankah Pak Somad menyadari panutannya dalam soal akidah, Abul Hasan al-Ash'ary, semoga Allah merahmatinya, justru menyebut takwil Istiwaa' (tinggi di atas) menjadi Istaulaa (kuat) sebagai produk takwil Mu 'sekte tazilah...??

Dalam kitabnya, Maqalatul Islamiyyin, Imam Abul Hasan al-Ash'ary rahimahullah (wafat: 324/330-H) mengatakan:

وائر المعطزلة أن الله استوى على عرشه artinya ستولي

“Para Mu'tazilah mengatakan bahwa yang dimaksud dengan 'Allah itu beristiwaa' di atas 'Arsy-Nya' adalah; Istaulaa (kuat).” [lih. Maqalatul-Islamiyyin: 1/261, tahqiq: M. Muhyiddin 'Abdul Hamid].

Dalam bukunya yang lain, Risalatun Ila Ahli ats-Tsagar, Abul Hasan al-Ash'ary juga mengatakan:

وليس استواوه على العرش استيلاا كم قال القدر على القدر

Istiwaa-nya pada 'Arsh tidak berarti Istaulaa (kuat), seperti yang dikatakan Ahlul Qadr (Mu'tazilah). Karena Tuhan selalu berkuasa atas segalanya." [lih. Risalatun Ila Ahli at-Tsagar, hal. 234, tahqiq: tahqiq : 'Abdullah bin Syakir Al-Junaidy; Maktabah al-'Ulum wal Hikam, Cet. 2/1422-H]

Sedangkan dalam buku terakhirnya, al-Ibanah' an Ushul ad-Diyanah (hlm. 83-84), Abul Hasan al-Ash'ary menjelaskan bahwa takwil Istiwaa' menjadi Istaulaa akan menghapus keistimewaan 'Arsy. Sehingga tidak ada perbedaan antara 'Arsy dan bumi, jika Istaawaa 'alal 'Arsy berarti Istaulaa 'alal 'Arsy (kekuasaan atas 'Arsy). Tidak ada perbedaan antara 'Arsy dan tempat kotor. Karena Tuhan juga memiliki "kuasa" atas semua tempat di muka bumi, termasuk tempat-tempat yang kotor. [lih. Tabshiru Dzawil 'Uqul bi-Haqiqati Madzhabil Asya'irah fil Istidlal bi-Kalamillahi perang-Rasul, hal. 101-102, dr. Ahmad Muhammad an-Najjar, Cet. 1/1431-H]

Begini, justru menurut Imam Mazhab Asy'ari, ramalan Istiwaa' menjadi Istaulaa (kekuatan)—sebagaimana ramalan yang dilakukan Ust. Somad—adalah pendapat sekte Mu'tazilah. Namun sebenarnya Ust. Somad Hafizhahullah salah alamat dengan mengatakan bahwa ini adalah keyakinan Abul Hasan al-'Ash'ary. Meskipun tokoh-tokoh Asy'ariyyah mengaku berpendapat demikian (yaitu: mendirikan Tuhan di atas 'Arsy), seperti ar-Razy (bdk. Muhashshilu Afkar al-Mutaqaddimin wal Muta-akhkhirin, hlm: 437), dan al-Amidy ( lihat Abkarul Afkar: 1/461). Namun sayangnya keduanya tidak setuju dengan pendapat guru tersebut.

Sisi ke-3 : Lihat juga perkataan al-Baqillani rahimahullah (wafat: 402-H), seorang pemimpin besar Mazhab Asy'ari, berikut ini:

dan: استواوه لا استواوه الخلق

"Kami katakan: 'Istiwaa'-nya tidak sama dengan istiwaa' makhluk." [lihat bukunya; al-Inshaf fima Yajibu I'tiqaduhu, hal. 64]

Lihatlah bagaimana al-Baqillani menegakkan sifat Istiwaa' karena Allah tanpa tasybih. Juga, dia tidak menyatakannya sebagai Istaulaa.

Jadi sebenarnya, bahkan di sekte Asy'ary, Ust. Somad tidak mengikuti Salaf 'Asya'irah-nya. Yang diikuti oleh Ust. Somad dalam masalah ini bukanlah Abul Hasan al-Ash'ary dan para pemimpin Asya'iroh (mutaqaddimin) sebelumnya, melainkan tokoh-tokoh Asya'iroh yang hidup belakangan (muta-akhkhirin) seperti ar-Razy yang wafat pada tahun 606-H. (bdk. Basis at-Taqdis: 202-203).

* * * 

Sisi ke-4:

Mari luangkan waktu sejenak untuk membaca kisah menakjubkan berikut ini. Sehingga kesalahan fatal orang yang berpura-pura istawaa menjadi istaulaa bisa lebih jelas terlihat.

Abu Sulaiman bin Dawud, semoga Allah merahmatinya, berkata:

“Dahulu kami bersama Ibnul A’rabi (wafat: 231-H). Tiba-tiba seorang laki-laki datang dan bertanya: 'apa maksud dari firman Allah ini...??:

ٱلرَّحْمَـٰنُ عَلَى ٱلْعَرْشِ ٱسْتَوَىٰ

(Yaitu) Tuhan Yang Maha Penyayang. Yang bersemayam di Tahta. [QS. Thaha: 5]

Ibnul A'rabi, semoga Allah merahmatinya, menjawab:

ini adalah salah satu cara terbaik dan terbaik.

"Itu berarti; Dia berada di 'Arsh-Nya sebagaimana Dia telah—'azza wa jalla—diumumkan.”

Pria itu lalu menyela:

YA ABA عبد الله ليس هذا مناناه, إنما منانه استولي

"Wahai Abu 'Abdillah (Ibnul A'rabi), bukan itu maksudnya. Tapi artinya adalah Istaulaa (Dia berkuasa).”

Ibnul A'rabi menjawab:

Saya minta maaf! Siapa Anda dan ini bukan masalahnya:
استولي على الشيء إلا أن يكبان له إطاء فائو دولون دوليها قيل: استولي

"Diam kamu! Apa yang kamu ketahui tentang masalah ini..?! Tidak dikatakan bahwa seseorang 'istaulaa' (menguasai) sesuatu kecuali ia memiliki lawan (perselisihan). Jika salah satu dari keduanya berhasil mengalahkan yang lain, maka dia dikatakan 'istaulaa' (telah menguasai).

Kisah tersebut shahih, diriwayatkan oleh al-Lalika-i dalam Syarh Ushuli I'tiqad Ahlis Sunnah wal Jama'ah (3/399, no. 666, tahqiq: Ahmad bin Mas'ud Hamdan).

Berdasarkan penjelasan Imam Ibnul A'rabi, maka secara linguistik kita tidak mungkin menerjemahkan istiwaa' dengan arti istaulaa. Karena akan melahirkan akibat dari pemaknaan yang salah, bahwa Allah sebelumnya tidak berkuasa atas Arsy. Dia hanya memiliki kekuasaan (istaulaa) atas 'Arsy setelah Dia merebutnya dari selain-Nya. Maha Suci Allah dari sifat seperti itu.

* * *

Sisi 5 : Adapun pidato-pidato para Imam Salaf sebelum Abul Hasan al-Ash'ary tentang penentuan sifat istiwaa' kepada Tuhan, maka jumlahnya sangat banyak. Semuanya menetapkan bahwa Allah itu tinggi di atas 'Arsy tanpa takyif (cara melakukannya), tanpa tasybih dan tamtsil (menyiripkan atau mensimulasikannya dengan istiwaa' makhluk), tanpa tahrif (mengubah lafal atau makna dengan takwil). Mereka menolak ta'thil Mu'tazilah dan Jahmiyyah yang berujung pada penolakan bahwa Tuhan berada di atas Arsy.


Diantaranya ada nama-nama besar seperti;

1. Imamul Maghazi Muhammad bin Ishaq (wafat: 150-H). Lihat pidatonya dalam buku: al-'Azhamah (2/460), oleh Abu-Shaikh al-Ashbahani.

2. Imam Abu Hanifah (wafat: 150-H). Lihat pidatonya dalam buku: Syarh al-Fiqh al-Akbar (hal. 25), karya Abu Manshur al-Maturidi. Muraja'ah: Abdullah bin Ibrahim al-Anshari. Melukis. India – 1321-H.

3. Imam Malik bin Anas (wafat: 179-H). Lihat kutipan pidatonya dalam buku: al-Asma was-Shifat (2/305-306), karya al-Baihaqi. Juga dalam As-Sunnah (1/280), oleh Abdullah bin Ahmad bin Hanbal.

4. Imam Hammad bin Zaid(wafat: 179-H). Lihat pidatonya dalam buku: Siyar A'lamin Nubala (7/461), karya adz-Dzahabi. Al-'Uluw li 'Aliyyil Ghaffar (hal. 143), juga oleh adz-Dzahabi.

5. Imam Ibnul Mubarak (wafat: 181-H). Lihat kutipan pidatonya dalam kitab: as-Sunnah (1/111), karya Abdullah bin Ahmad bin Hanbal. Juga dalam buku: ar-Radd 'ala al-Jahmiyyah (hal. 40), karya ad-Darimi.

6. Imam Abu Yusuf al-Qadhi (wafat: 182-H). Dia adalah murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah. Lihat kutipan pidatonya dalam buku: Syarh al-Fiqh al-Akbar (hal. 25), karya Abu Manshur al-Maturidi.

7. Imam bin al-Hasan ash-Syaibani(wafat: 189-H). Ia juga murid sekaligus sahabat Imam Abu Hanifah. Lihat kutipan pidatonya dalam buku: Syarh al-Fiqh al-Akbar (hal. 25), karya Abu Manshur al-Maturidi.

8. Imam asy-Syafi'i (wafat: 204-H). Lihat kutipan pendapatnya dalam buku: 'Aqidatus Salaf wa Ashhabul Hadits (hlm. 118 dan 189), karya ash-Shabuni.

9. Imam Sa'id bin 'Amir ad-Dhaba'i (wafat: 208-H). Dia adalah salah satu guru Imam al-Bukhari. Lihat kutipan pendapatnya dalam buku: Khalqu Af'alil 'Ibad (17/2), karya Imam al-Bukhari.

10. Imam Muhammad bin Yusuf al-Firyabi(meninggal: 212-H). Ia juga salah satu guru Imam al-Bukhari. Dia bahkan melangkah lebih jauh dengan menganggap mereka yang menolak Allah di 'Arsy' sebagai kafir. Lihat buku: Khalqu Af'alil 'Ibad (2/39), oleh Imam al-Bukhari.

Termasuk nama-nama besar ini; Imam Qutaibah bin Sa'id (wafat: 240-H), Imam Ahmad bin Hanbal (wafat: 241-H), Imam Muhammad bin Yahya adz-Dzuhli (wafat: 258-H), Imam Zur'ah ar-Razi (wafat : 264-H), Imam al-Muzani ash-Syafi'i (wafat: 264-H), Imam Abu Hatim ar-Razi (wafat: 277-H), Imam 'Isa at-Tirmidzi (wafat: 279-H) , Imam al-Kirmani (wafat: 280-H), Imam 'Utsman ad-Darimi (wafat: 280-H),Imam Bakr bin Abi 'Ashim (wafat: 287-H), Imam Ja'far bin Abi Shaibah (wafat: 297-H), dan masih banyak lagi.

Di antara para murid Imam asy-Syafi'i—selain al-Muzani yang telah disebutkan di atas—terdapat nama-nama besar seperti; Imam Bakr al-Humaidi ash-Syafi'i (wafat: 219-H), Imam Ya'qub al-Buwaithi ash-Syafi'i (wafat: 231-H), Imam bin Suraij ash-Syafi'i (wafat: 306 -H), Imam Ibnu Khuzaimah asy-Syafi'i (wafat: 312-H), dan lainnya (lihat Ta'liqah 'ala Syarhis Sunnah lil Imam al-Muzani, hal. 10-19, Prof. Dr. Abdurrazzaq al- Badar).

Mereka semua mengikuti jejak sang guru (Imam asy-Syafi'i) dalam menetapkan ketinggian Tuhan di atas Arsy-Nya.

* * *

RENUNGAN

Al-Qur'an memuat banyak sekali ayat-ayat yang maknanya semuanya bermuara pada satu titik kesimpulan; bahwa Tuhan itu di atas, Wujud Tertinggi dan sifat-sifat-Nya. Terkadang Al-Qur'an mengisyaratkan adanya Tuhan di atas dengan menyebutkan sifat-sifat-Nya yang Maha Tinggi, seperti dalam ayat-ayat berikut:

وَهُوَ ٱلْعَلِىُّ ٱلْعَظِيمُ

“Dia Maha Tinggi dan Maha Besar” [QS. al-Baqarah: 255]

سَبِّحِ ٱسْمَ رَبِّكَ ٱلْأَعْلَى

"Kuduskan nama Tuhanmu Yang Mahatinggi." [QS. al-A'la: 1]

Terkadang Al-Qur'an secara eksplisit berbicara tentang "al-Fauqiyyah" yang mengatakan bahwa Tuhan adalah "fauq", yaitu di atas. Seperti dalam ayat ini:

يَخَافُونَ رَبَّهُم مِّن فَوْقِهِمْ وَيَفْعَلُونَ مَا يُؤْمَرُونَ

“Mereka (para malaikat) takut kepada Tuhan mereka yang di atas mereka.” [QS. an-Nahl: 50]

Terkadang Al-Qur'an mengungkapkannya dalam konteks ayat-ayat Allah yang diturunkan-Nya, dan urusan-urusan-Nya yang diatur dari langit ke bumi. Seperti pada kalimat:

يُدَبِّرُ ٱلْأَمْرَ مِنَ السَّسَمَآءِ إِلَى ٱلْأَرْضِ ثُمّ يَعْرُجُ إِرُجُ انَ ا ا 
p ا… ا ا ا uatu secara

“Dia mengatur urusan dari langit ke bumi, kemudian (urusan) itu naik kepada-Nya dalam satu hari yang kadarnya seribu tahun menurut perhitunganmu.” [QS. sujud: 5]

إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا ٱلذِّكْرَ

“Sesungguhnya Kamilah yang menurunkan Al-Qur’an.” [QS. al-Hijr: 9]

Terkadang Al-Qur'an menyebutkan bahwa perbuatan baik naik kepada-Nya, sama seperti Malaikat naik ke Tuhan. Seperti pada kalimat:

إِلَيْهِ يَصْعَدُ ٱلْكَلِمُ ٱلطَّيِّبُ وَٱلْعَمَلُ ٱلصَّـلِحُ يَرْفَعُهُ

“Kepada-Nya naik kata-kata yang baik dan amal saleh…” [QS. Fathir: 10]

Λَعْرُجُ ٱلْمَلedit secara

"Malaikat dan Jibril naik (menghadap) Tuhan dalam satu hari yang lima puluh ribu tahun." [QS. al-Ma'arij: 4]

Semua ayat ini - dan banyak lagi - meskipun dalam konteks yang berbeda, begitu konsisten dalam memberikan kesimpulan makna yang sama, yaitu; Tuhan di atas . Belum lagi jika kita berbicara tentang hadits-hadits yang begitu banyak jumlahnya, yang secara tegas dan lugas menyebut Allah di atas langit, ber istiwaa di atas 'Arsy'-Nya.

Jika sifat Tuhan yang satu ini harus ditolak, maka akibatnya akan banyak ayat dan hadits shahih yang harus ditolak atau maknanya harus ditolak. Akan muncul juga anggapan yang salah bahwa Tuhan berbicara berbeda, tetapi berarti lain. Sedangkan tidak ada satu pun riwayat yang menyebutkan bahwa Nabi pernah menjelaskan atau menafsirkan ayat-ayat tersebut dengan makna lain.

* * *

Kami hanya menetapkan bahwa Allah di atas, Yang Maha Tinggi di atas 'Arsy-Nya, hanya karena Allah sendiri mengumumkan hal ini di banyak ayat Al-Qur'an. Pantaskah bila Allah berkata tentang diri-Nya:

Aku takut padamu di surga

“Apakah kamu merasa aman bersama Yang di atas langit…” [QS. al-Mulk: 16]

lalu dengan lancang kita menolak keberadaan Tuhan di atas langit...??

mengatakan

"Katakan, siapa yang lebih tahu, Tuhan atau kamu...??" [QS. Al-Baqarah: 140]

Rasulullah juga demikian. Dia menetapkan kehadiran Tuhan di Tahta dalam banyak hadits otentik. Kisah Mi'rajnya merupakan bukti besar akan adanya Tuhan yang Maha Tinggi di atas segala makhluk-Nya.

Jadi apakah kita akan mengatakan bahwa Tuhan itu tidak di atas, sedangkan menurut Ibnu 'Abil 'Izz al-Hanafi (wafat: 792-H) dalam Syarah Aqidah at-Tahawiyyah (1/312, 2/191); ada lebih dari 1000 dalil yang mengatakan Allah Maha Tinggi dan di atas...?? Apakah kita akan menolak keberadaan Tuhan di langit hanya karena akal kita yang lemah dan kerdil...?? Inilah keyakinan ahlussunah yang benar tentang sifat-sifat Tuhan.

* * *

Pertanyaan “di mana Tuhan”, dan jawabannya “Tuhan di atas langit”, tidak berarti menyamakan Tuhan dengan makhluk, tidak berarti menyamakan sifat Tuhan dengan sifat makhluk yang biasanya menempati ruang. Juga tidak berarti bahwa Tuhan membutuhkan tempat, atau dikelilingi oleh ciptaan-Nya berupa tempat atau ruang. Hal tersebut tidak seperti yang diungkapkan oleh Ust. Somad di MIN 02.38: “Kalau Tuhan duduk di atas kursi (baca: 'Arsy'), berarti kursi itu lebih besar dari-Nya.”

Padahal—sekali lagi—menyatakan bahwa Allah berada di atas 'Arsy tidak berarti bahwa Allah diperlukan untuk 'Arsy, juga tidak berarti bahwa 'Arsy lebih besar dari Allah. Bukankah langit—yang berada di atas bumi—jauh lebih besar dari bumi…?? Namun, langit tidak membutuhkan bumi sebagai tumpuan untuk tetap eksis. Meskipun langit adalah makhluk. Lalu bagaimana dengan al-Khaliq…??

* * *

Dalam kitab keyakinan Asy'ari yang terkenal dan umum digunakan di pesantren Nusantara, al-Jawahir al-Kalamiyyah, karya Syekh Thahir al-Jazairi (wafat: 1338-H/1920-M), seorang pertanyaan ditulis sebagai berikut:

Apa arti عستواء dalam pidatonya Subhanahu wa ta'alay: Rahman على العرش استوى

"Apa arti 'istiwaa' dalam firman Allah subhanahu wata'ala: 'Ar-Rahman ber istiwaa pada 'Arsy"?..??

Syekh Tahir al-Jazairi, semoga Allah merahmatinya, lalu menulis jawabannya:

1000000000000 فالاستوا diketahui dan كيف tidak diketahui. استوائه على العرش ليس كاستواء الحسون على سبيكة و الدابة و سريد في جميع. Jika dia berimajinasi seperti itu, maka dia diliputi khayalan karena mirip penciptaan dengan makhluk, padahal sudah mapan dalam akal dan riwayat bahwa tidak seperti itu, begitu pula dirinya tidak seperti itu. menyerupai apapun dari makhluk, demikian pula apa yang disifatkan kepadanya Subhanahu wa ta'ala tidak menyerupai apapun yang dia sifatkan padanya.

Artinya adalah; Istiwaa' yang layak untuk keagungan ar-Rahman yang Maha Mulia dan Maha Tinggi. Makna Istiwaa' sudah diketahui (yaitu; tinggi di atas), sedangkan bagaimana (kebenarannya) adalah hal yang belum diketahui. Istiwaa'nya di 'Arsy' tidak seperti Istiwaa' manusia di atas perahu atau di atas hewan, atau di atas ranjang misalnya. Barangsiapa memiliki gambaran (pada dirinya) yang demikian, maka ia keliru karena telah menyamakan Tuhan Pencipta dengan makhluk. Padahal akal dan naql (al-Quran & as-Sunnah) telah menetapkan bahwa tidak ada yang seperti Dia.

Sebagaimana hakikat-Nya tidak sama dengan hakikat makhluk, demikian pula dengan (sifat-sifat-Nya) yang disematkan kepada-Nya (jelas tidak sama dengan sifat makhluk). [lih. al-Jawahir al-Kalamiyyah, hal. 11-12]

Syekh Tahir al-Jazairi, semoga Allah merahmatinya, menetapkan sifat istiwaa' untuk Tuhan, dan dia tidak memuliakan Istiwaa' Tuhan dengan Istiwaa' makhluk. Karena memang kesamaan nama atau arti suatu sifat tidak berarti kesamaan sifat sifat itu. Keyakinan Asy'ari mengakui bahwa Tuhan memiliki sifat mendengar dan melihat (sami'un bashir), makhluk juga memiliki sifat yang sama. Lantas, bagaimana konsep teologi Asy'ari menyikapi "kesetaraan" tersebut? Masih dalam kitab al-Jawahir, Syekh Tahir memberikan jawabannya:

لكن سمعه سبحانه وتعالى ليس كسمعنا... بسره سبحانه وتعالى ليس كبسرنا

"tetapi pendengarannya subhanahu wata'ala tidak seperti pendengaran kita... Penglihatannya juga tidak seperti penglihatan kita." [lih. al-Jawahir al-Kalamiyyah, hal. 9]

Jika konsep teologi Asy'ariyyah dapat menerima bahwa Tuhan mendengar dan melihat tanpa harus sama dengan makhluk mendengar dan melihat, lalu mengapa Ust. Somad hafizhahullah tidak bisa menerima Allah itu istiwaa' pada 'Arsy tanpa harus sama dengan istiwaa' makhluk...??

Jadi, menetapkan sifat-sifat Tuhan yang secara lahiriah mirip dengan sifat makhluk, tidak berarti menetapkan bahwa hakikat sifat Tuhan itu sama dengan sifat makhluk. Konsep ini sepertinya luput dari perhatian Ust. Somad Hafizhahullah, sehingga menganggap bahwa orang yang mendahulukan Tuhan berarti telah menyamakan Tuhan dengan makhluk.

Sebagaimana hakikat Tuhan ada tetapi tidak sama dengan wujud makhluk, maka sifat-sifat Tuhan yang melekat pada hakikat-Nya tentu tidak sama dengan hakikat makhluk. Makhluk memiliki sifat hidup, Tuhan juga memiliki sifat hidup. Tetapi kita sepakat bahwa ini tidak berarti bahwa hakikat kehidupan Tuhan Yang Maha Sempurna sama dengan hakikat kehidupan makhluk. Begitu pula sifat Tuhan yang ada di atas 'Arsy-Nya, tentu tidak bisa dibayangkan sama dengan Raja (baca: makhluk) yang ada di singgasananya. Maha Suci Allah dari rupa makhluk-Nya.

Mereka yang menolak hakikat Istiwaa' Tuhan, tanpa sadar telah terpenjara oleh labirin pemikirannya sendiri; bahwa “jika Allah berada di atas Singgasana, berarti Tuhan menempati ruang, atau dikelilingi oleh ruang, atau Singgasana lebih besar dari Tuhan, atau Tuhan perlu duduk di Singgasana.” Pemikiran seperti ini didahului oleh petualangan intelektual yang terlalu lancang dan berani. Apa hak akal untuk berpikir tentang sifat dan kaifiyyah (bagaimana) sifat Tuhan..?? Berpikir tentang realitas "roh" saja, pikiran tidak mampu melakukannya. Meskipun "roh" adalah makhluk. Lalu bagaimana dengan sifat Tuhan, Pencipta jiwa itu sendiri...?? Akhirnya pikiran yang kurang ajar ini terjerumus ke dalam lubang tasybih (identifikasi sifat Tuhan dengan sifat makhluk), lalu dia berusaha membersihkan diri dari lubang itu tetapi malah dengan menyelam ke dalam lubang ta'thil (penolakan terhadap sifat Tuhan).

Renungkan ucapan Ibnu Taimiyyah rahimahullah (wafat: 728-H) berikut ini, kita akan dapat memahami bahwa ungkapan Allah fis-Samaa' bukan berarti Allah berada di ruang angkasa (melainkan di atasnya). Sekaligus kita juga akan mengetahui bahwa tudingan musyabbihah yang sering ditujukan kepadanya adalah tudingan yang tidak berdasar:

Para Salaf, Imam, dan ulama sunnah lainnya, jika mereka mengatakan "Dia di atas Arsy, dan Dia di langit di atas segala sesuatu," mereka tidak mengatakan bahwa ada sesuatu yang mengandung, atau membatasi, atau merupakan suatu tempat untuk-Nya, atau bejana dan bejana, Maha Suci Dia, tetapi Dia di atas segalanya, dan Dia Dia bebas dari segala sesuatu, dan segala sesuatu bergantung padanya, dan dia lebih tinggi dari segala sesuatu, dan dia adalah pembawa takhta dan pembawa takhta dengan kekuatan dan kekuasaannya, dan semua makhluk dicabut darinya, dan dia bebas dari takhta dan dari semua makhluk.

“Para salaf, imam dan ulama sunnah, sementara mereka menyatakan; 'Allah di atas 'Arsy', dan Dia di langit di atas segala sesuatu', maka mereka tidak bermaksud—dengan ungkapan itu—bahwa ada sesuatu yang menutupi-Nya, atau membatasi-Nya, atau menjadi tempat bagi-Nya dan menampung-Nya. - Nah, Maha Suci Tuhan dari sifat seperti itu. Namun Dia di atas segalanya. Dia tidak membutuhkan segalanya. Segala sesuatu diperlukan bagi-Nya. Dia Tinggi di atas segalanya. Dialah yang—sebenarnya—menopang Arsy dan para malaikat yang membawa Arsy dengan kekuatan dan kemampuan-Nya. Semua makhluk membutuhkan Dia. Dia tidak membutuhkan 'Arsy, tidak juga semua makhluk. [Majmu' al-Fatawa: 16/100-101]

Inilah keyakinan Ahlussunnah yang sebenarnya. Adapun Aqidah Asy'ariyyah - terutama generasi selanjutnya -, mereka justru menolak hakikat Tuhan atau mengaitkannya dengan makna lain tanpa dalil atau dalil yang kuat. Dan sayang sekali, Ust. Somad Hafizhahullah justru mengkampanyekan keyakinan semacam ini. Bukankah Pak Somad Hafizhahullah menyadari bahwa para ulama Asy'ariyyah mutaqaddimin (yang terdahulu) justru mengakui bahwa Tuhan berada di atas 'Arsy...?? Seperti yang diakui oleh para pemimpin sekte Asy'ary di masa lalu; Abu Bakar al-Baqillani (wafat: 402-H) dalam kitabnya at-Tamhid..?? [lih. Sabilu ar-Rasyad: 5/241, Muhammad Taqiyuddin al-Hilali, Ta'liq: Masyhur Hasan Salman]

Dalam al-Jawahir al-Kalamiyyah (hal. 13), Syekh Thahir, semoga Allah merahmatinya, dengan tegas mengakui bahwa makna Istiwaa' sebagaimana disampaikannya (tanpa tasybih, takyif dan takwil), adalah pemahaman salaf. . Dia berkata:

Hal ini dikaitkan dengan mayoritas Salaf. Dan untuk yang terakhir, mereka lebih cenderung menjelaskan perluasan bastila...

Pemahaman seperti itu (tentang Istiwaa') dikaitkan dengan mayoritas Salaf. Adapun generasi (kemudian) khalifah, sebagian besar menafsirkan Istiwaa' dengan makna Istaulaa (kuat)..."

Kemudian beliau (Syekh Thahir al-Jazairi, semoga Allah merahmatinya) menegaskan:

محبد السلف أرجح عرجح عسلم واحكم

“Sekte Salaf dalam hal ini lebih kuat, karena lebih aman dan akurat.” [al-Jawahir al-Kalamiyyah, hal. 14]

Meskipun sayang, Syaikh Thahir, semoga Allah merahmatinya, akhirnya mengizinkan sekolah takwil dalam masalah ini dalam kondisi darurat, sementara dikhawatirkan sebagian orang akan berpikir bahwa ada tasybih jika (sifat Istiwaa') bukan takwil. [hal. 14-15]. Namun paling tidak, apa yang diungkapkan oleh Syekh Thahir al-Jazairi al-Ash'ary, dapat menjelaskan kesalahpahaman orang-orang yang menafsirkan makna Istiwaa' hanya karena mereka beranggapan bahwa membaca tasybih itu perlu.

* * *

Terakhir, artikel ini hanya ingin mengungkap fakta sebenarnya tentang model keyakinan Asy'ari yang diusung oleh Ust. Somad hafizhahullah, bahwa pendapat Ust. Somad justru berkebalikan dengan tokoh Asya'iroh sebelumnya, termasuk Imam Abul Hasan al-Ash'ary yang disalahartikan sebagai kepercayaan takwil oleh Ust. Sangat marah. Pendapat Ust. Somad dalam masalah Istiwaa', bertentangan dengan prinsip Rasulullah dan para sahabatnya, tidak sesuai dengan pendapat Salaf as-Salih, pendapat para Imam dari empat sekte, dan para imam lainnya. Ahlussunnah. Selain itu, artikel ini juga berharap agar para pembaca tidak mengikuti kesalahan seorang tokoh yang terjerumus dalam masalah aqidah. Karena galau dalam masalah akidah sangat fatal, apalagi jika menyangkut akidah kita tentang Tuhan.

Semoga kita tidak termasuk orang-orang yang berbicara tentang Allah tanpa ilmu. Karena dosanya sangat mengerikan, bahkan lebih buruk dari dosa kemusyrikan. Seperti yang Tuhan katakan:

قُلْ إِنَّمَا حَرَّمَ رَبِّىَ ٱلْفَوَٰحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ وَٱلْإِثْمَ وَٱلْبَغْىَ بِغَيْرِ ٱلْحَقِّ وَأَن تُشْرِكُوا۟ بِٱللَّهِ مَا لَمْ يُنَزِّلْ بِهِۦ سُلْطَـٰنًۭا وَأَن تَقُولُوا۟ عَلَى ٱللَّهِ مَا لَا تَعْلَمُونَ

Katakanlah: “Tuhanku hanya melarang perbuatan-perbuatan yang keji, baik yang tampak maupun yang tersembunyi, dan perbuatan-perbuatan yang berdosa, melanggar hak asasi manusia tanpa alasan yang sah, (mengharamkan) mempersekutukan Allah dengan sesuatu yang Allah tidak turunkan dalilnya dan (larangan) mengada-adakan terhadap Allah apa yang tidak kamu ketahui”. [QS. Al-A'raf: 33].

Wallahu a'lam bish-shawab. Selain kesalahan di atas, Ustadz Abdul Somad memiliki beberapa kesalahan lain yang juga telah diperbaiki, silahkan baca pada link selanjutnya.

Komentar

Kajian Populer

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?

Di Masa Kelam, Masjidil Haram mempunyai 4 Mihrab