Durarus Saniyyah, kitab kumpulan risalah, surat dan makalah yang ditulis Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab
Durarus Saniyyah adalah kumpulan risalah, kitab, surat & makalah yang ditulis oleh Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan keturunannya serta ulama-ulama Nejed lainnya, yang oleh sebagian kalangan dikenal sebagai Ulama-Ulama Wahabi.
Usaha pengumpulannya ini dikerjakan oleh Syaikh Abdurrahman bin Qasim dan diterbitkan dalam belasan jilid. Risalah dan kutub yang ada di Durarus Saniyyah sudah banyak ulama yang mengkajinya dari masa lampau maupun masa sekarang.
Perkenalan Nusantara dengan risalah/kutub ulama-ulama Wahabi Nejed sendiri juga sudah berlangsung lama. Kurang lebih seabad yang lalu.
Teungku Haji Ahmad Hasballah dari Aceh pada era 1920-an sudah mengajarkan Kitabut Tauhid karya "muassis"nya Wahabi Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab kepada santri-santrinya di Dayah Indrapuri. Insight yang mereka ambil dari Kitabut Tauhid menjadi salah satu bahan bakar mereka untuk terus berjuang & berjihad melawan Penjajahan Kolonial Belanda.
Pada tahun 1925, terbit di Nusantara kitab berjudul "Utusan Wahabi", yang merupakan saduran atas kitab Hadiyyah Saniyyah karya ulama Wahabi Nejed Syaikh Sulaiman bin Sahman. Kitab ini terdiri atas 5 risalah. Secara umum berisi penjelasan dan pembelaan terhadap dakwah Ulama-Ulama Wahhabi. Beberapa risalah dalam kitab ini juga termaktub dalam Durarus Saniyyah.
Kitab "Utusan Wahabi" dikerjakan dan diterbitkan oleh Ahmad Syukri dan Ali Harharah, keduanya adalah murid-murid Syaikh Ahmad Syurkati, pendiri organisasi Al Irsyad yang masyhur itu.
Kitab "Utusan Wahabi" ini sangat terkenal saat itu, sampai-sampai seorang Bung Karno meminta tolong kepada Tuan A. Hassan untuk mengirimkan kitab tersebut kepadanya, dimana saat itu Bung Karno sedang menjalani pengasingan di Endeh.
Pada dekade 1950-1960-an, Madrasah Wathoniyyah Islamiyyah pimpinan KH. Asyifuddin Zawawi di Jawa Tengah dan Pesantren Maskumambang pimpinan KH. Nadjih Ahjad di Jawa Timur mulai mengajarkan kitab Fathul Majid syarah Kitabut Tauhid kepada santri-santrinya. Bahkan pada tahun 1980-an, KH. Nadjih Ahjad sempat diundang ke Saudi untuk memberikan makalah pada acara seminar yang membahas dakwah Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab, yang kemudian makalah tersebut diterjemahkan dan diterbitkan di Indonesia dengan judul "Pengaruh Wahabi di Indonesia".
Lanjut pada dekade 1970-an, dua Imam Tentara - Kolonel Bey Arifin dan Kapten Dja'far Soedjarwo - memulai inisiatifnya mengajarkan Kitabut Tauhid di kalangan tentara Angkatan Darat, tepatnya di Kodam Brawijaya, Malang.
Ya, anda tidak salah baca. Keduanya saat itu mengajarkan Kitabut Tauhid di barak-barak tentara. Atau dengan kata lain : barak tentara pernah menjadi salah satu basis pengajaran kitab-kitab Ulama Wahabi di Indonesia.
Inisiatif mereka ini berlanjut dengan penerjemahan kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab secara massif pada sekitar era 1970 dan 1980-an. Boleh dikatakan hampir semua terjemahan pertama kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah lahir dari tangan mereka berdua.
Bey Arifin dan Dja'far Soedjarwo tercatat merupakan ulama-ulama Muhammadiyah. Bey Arifin sendiri bahkan sempat menjadi Ketua MUI Jawa Timur.
Ulama Muhammadiyah lainnya - Moehammad Thahir Badrie - pada dekade 1980-an bahkan menulis syarah atas Kitabut Tauhid dalam 4 jilid (baru selesai 2 jilid), yang boleh jadi merupakan syarah pertama karya ulama Indonesia atas Kitabut Tauhid.
Dari perjalanan sejarah diatas : adakah diantara nama-nama dan pondok pesantren yang disebut di atas yang menjadi "gembong teroris"?
Apakah Teungku Haji Ahmad Hasballah menjadi teroris karena mengajar Kitabut Tauhid?
Apakah Syaikh Ahmad Syurkati dan murid-muridnya di Al Irsyad merupakan teroris karena membela dan menerjemahkan karya-karya Ulama Wahabi Nejed ?
Apakah Madrasah Wathoniyah Islamiyah dan Pesantren Maskumambang menjadi Pusat Pengkaderan Teroris karena di sana dipelajari kitab Fathul Majid ?
Apakah Bey Arifin, Djafar Soedjarwo, Moehammad Thahir Badrie, dan ulama-ulama Muhammadiyah lainnya menjadi teroris karena membela, menerjemahkan dan mengkaji kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab ?
Saya yakin tak ada yang berani menuduh mereka teroris.
Perkenalan Nusantara dengan kitab-kitab Ulama Wahabi Nejed sudah berlangsung hampir seabad, dan anehnya baru akhir-akhir ini kitab-kitab mereka dianggap sumber terorisme.
Kalau betul argumen mereka, bahwa kitab-kitab Ulama Wahabi merupakan sumber inspirasi aksi teroris ISIS, maka adakah mereka berpikir ulang :
1. Kitab apa yang menginspirasi NII-nya Kartosuwiryo yang membuatnya nekad menjadi "teroris & pemberontak" (minimal menurut versi mereka yang tidak sepaham dengan Kartosuwiryo") ? Apakah Kartosuwiryo terinspirasi dari kitab-kitab Ulama Wahabi? Apakah Kartosuwiryo berguru kepada ulama-ulama yang terpapar paham Wahabi ?
2. Kitab-kitab apa yang dipelajari oleh syabab-syabab HTI dan tokoh-tokoh FPI yang membuat mereka akhirnya dinyatakan oleh Pemerintah sebagai organisasi terlarang versi Pemerintah ? Adakah HTI dan FPI terinspirasi oleh kitab-kitab Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan ulama-ulama Wahabi lainnya? Bagaimana pandangan HTI dan FPI (terutama HRS) terhadap dakwah Wahabi ?
Saya pikir pertanyaan-pertanyaan tersebut sudah jelas jawabannya bagi orang-orang yang mau meneliti.
Tulisan ini hanya sebagai pengingat, jangan sampai isu "terorisme" hanya dijadikan "alat untuk menggebuk" saudara sesama muslim yang kebetulan tidak satu pemahaman.
Komentar
Posting Komentar