PEKUBURAN SYAR'I dan Bangunan Kuburan Bersejarah di Sekitar Makkah dan Madinah, yang di salahgunakan dimusnahkan Pemerintah Arab Saudi

PEKUBURAN SYAR'I :

Syari'at Islam telah mengatur batasan bentuk kuburan; kuburan cukup ditinggikan sejengkal dengan batu di bagian kepala dan tidak lebih dari itu. 

Dari Abu Al-Hayyaj Al-Asadi dia berkata: Ali bin Abu Thalib berkata kepadaku:

أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ

“Maukah kamu aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutusku? Hendaklah kamu jangan meninggalkan gambar-gambar kecuali kamu hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan kecuali kamu ratakan,” (HR Muslim No. 969).

Fadhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا

“Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk meratakannya (kuburan),” (HR Muslim No. 968).

Dari Abu Al-Hayyaj Al-Asadi dia berkata: Ali bin Abu Thalib berkata kepadaku:

أَلَا أَبْعَثُكَ عَلَى مَا بَعَثَنِي عَلَيْهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ لَا تَدَعَ تِمْثَالًا إِلَّا طَمَسْتَهُ وَلَا قَبْرًا مُشْرِفًا إِلَّا سَوَّيْتَهُ

“Maukah kamu aku utus sebagaimana Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam telah mengutusku? Hendaklah kamu jangan meninggalkan gambar-gambar kecuali kamu hapus dan jangan pula kamu meninggalkan kuburan kecuali kamu ratakan,” (HR Muslim No. 969).

Fadhalah bin Ubaid radhiallahu ‘anhu berkata:

سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَأْمُرُ بِتَسْوِيَتِهَا

“Saya telah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memerintahkan untuk meratakannya (kuburan),” (HR Muslim No. 968).

Dari Jabir bin Abdillah radhiallahu ‘anhuma dia berkata:

نَهَى رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يُجَصَّصَ الْقَبْرُ وَأَنْ يُقْعَدَ عَلَيْهِ وَأَنْ يُبْنَى عَلَيْهِ

“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melarang mengapur kuburan, duduk di atasnya, dan membuat bangunan di atasnya,” (HR Muslim No. 970).

Dari Muthalib (diriwayatkan) ia berkata :

عَنِ الْمُطَّلِبِ قَالَ لَمَّا مَاتَ عُثْمَانُ بْنُ مَظْعُونٍ أُخْرِجَ بِجَنَازَتِهِ فَدُفِنَ أَمَرَ النَّبِىُّ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- رَجُلاً أَنْ يَأْتِيَهُ بِحَجَرٍ فَلَمْ يَسْتَطِعْ حَمْلَهُ فَقَامَ إِلَيْهَا رَسُولُ اللهِ -صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ- وَحَسَرَ عَنْ ذِرَاعَيْهِ – قَالَ كَثِيرٌ قَالَ الْمُطَّلِبُ قَالَ الَّذِى يُخْبِرُنِى ذَلِكَ عَنْ رَسُولِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – قَالَ – كَأَنِّى أَنْظُرُ إِلَى بَيَاضِ ذِرَاعَىْ رَسُولِ اللهِ – صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ – حِينَ حَسَرَ عَنْهُمَا ثُمَّ حَمَلَهَا فَوَضَعَهَا عِنْدَ رَأْسِهِ وَقَالَ أَتَعَلَّمُ بِهَا قَبْرَ أَخِى وَأَدْفِنُ إِلَيْهِ مَنْ مَاتَ مِنْ أَهْلِى  [رَوَاهُ أَبُوْ دَاوُدَ: 3206].

Dari Muthalib (diriwayatkan) ia berkata: Tatkala Utsman bin Madz’un meninggal, jenazahnya dikeluarkan untuk dikuburkan, kemudian Nabi Muhammad saw memerintahkan seorang laki-laki untuk meletakkan batu di atas kuburannya, namun ternyata lelaki itu tidak mampu untuk membawanya, maka Nabi beranjak untuk meletakkannya –Nabi mengukurnya dengan panjang dua kali tulang hastanya- Berkatalah kebanyakan bahwa al-Muthallib mengatakan telah mengabarkanlah kepadaku seseorang tentang yang demikian itu dari Rasulullah saw, seseorang itu berkata ‘Seakan-akan aku melihat putihnya kedua tulang hasta Rasulullah ketika beliau sedang merenggangkan keduanya kemudian membawanya dengan meletakkan di atas kepalanya dan beliau bersabda “Aku memberi tanda pada kuburan saudaraku dengan batu ini, dan aku kuburkan di dekatnya orang yang wafat dari keluargaku” [HR. Abu Dawud: 3206]

Bangunan Kuburan Bersejarah di Sekitar Makkah, yang di salahgunakan dihancurkan :

Al-Fasi al-Maliki (w. 832 H), menyatakan bahwa di Makkah banyak gedung (bangunan) yang dari segi bentuk fisik dan fungsinya telah merupakan masjid. Tetapi dari segi asal usul dan penamaannya oleh masyarakat tidak disebut sebagai masjid, tetapi sebagai dar (rumah, gedung atau bangunan). Al-Fasi menguraikannya dalam bukunya bab 21 berjudul "Fi Dzikr al-Amakin al-Mubarakah Allati Yanbagi Ziyaratuha al-Ka’inah bi Makkah al-Musyarrafah" (Uraian tentang Tempat-tempat yang Diberkati yang Dianjurkan untuk Diziarahi yang Berada di Kota Makkah yang Dimuliakan). Bab ini berisi uraian tentang tempat-tempat yang dianjurkan untuk diziarahi selain dari Masjid Haram. Baik yang sudah diberi nama masjid (Masjid `Aisyah, Masjid Jin dan Masjid Ja`ranah), atau yang masih diberi nama dar (rumah-rumah), ada juga gunung-gunung dan kuburan-kuburan, yang seluruhnya berjumlah lebih duapuluhan buah. Empat yang terpenting dari tempat-tempat tersebut akan diuraikan dalam tulisan ini yaitu rumah tempat Rasulullah lahir, rumah tempat Rasulullah tinggal, rumah tempat Rasulullah mengajar dan membimbing kaum muslimin yang juga sering digunakan oleh Rasulullah untuk bersembunyi dari kejaran orang Qureisy, serta kuburan Khadijah di Pekuburan Ma`la tempat banyak Sahabat dikuburkan termasuk anak-anak Rasulullah radhiyalahu `anhum.

Rumah tempat lahir Rasulullah terkenal dengan sebutan Mawlid al-Nabi Shallallahu `alayhi wa sallam. Tempat ini terletak beberapa puluh meter dari tempat Sa`i, dekat ke Shafa, di daerah yang sering disebut sebagai Suq al-Layl. Sekiranya kita berjalan dari Shafa ke arah Marwa maka rumah ini terletak di sebelah kanan kita. Al-Khaizuran—Ibu dari Khalifah Harun al-Rasyid membeli rumah ini dari pemiliknya, lantas membangunnya menjadi sebuah masjid dan sejak itu ramai diziarahi. Menurut al-Fasi tempat ini dianggap mempunyai kelebihan karena orang yang pernah tinggal (menetap) di dalamnya mengaku tidak mengalami kesulitan hidup (La Wallahi ma ashabana fihi ja’ihah wa la hajah). Pada masa sekarang (2013 Miladiah) tempat ini masih dapat dikenali dengan mudah, karena di atasnya terletak bangunan yang diberi papan nama Maktabah Makkah al-Mukaraamah (Perpustakaan Makkah al-Mukarramah), yang terlihat dengan mudah dari arah Shafa. Pada masa sekarang tempat ini hampir selalu terkunci dan sepi, tidak ada tanda sedikit pun yang menunjukkan sering diziarahi dan digunakan sebagai mushalla apalagi masjid.

Selanjutnya rumah tempat tinggal Rasulullah setelah beliau menikah, yaitu rumah Khadijah yang terletak antara Masjid Haram dengan tempat Sa`i, di sebuah lokasi yang terkenal dengan sebutan Zuqaq (lorong, gang) al-`Aththarin atau Zuqaq al-Hijr. Rumah ini sering juga diidentifikasi sebagai Mawlid Fathimah. Sekiranya kita berjalan dari Shafa ke Marwa maka rumah ini terletak di sebelah kanan kita, sesudah Mawlid al-Nabi di atas. Sekiranya ditarik garis lurus dari Ka`bah melewati Bab al-Salam terus ke tempat Sa`i, terus ke luar sampai setentang dengan  rumah Mawlid Nabi maka itulah kira-kira letak rumah tersebut, (jalan lurus yang biasa di tempuh Rasululah ketika keluar dari rumahnya menuju Ka`bah). Dengan demikian tempat itu sudah menjadi halaman Masjid Haram pada masa sekarang. Rumah ini dianggap mulia karena menjadi tempat Rasulullah menerima banyak wahyu, ada yang menyatakan sampai lebih separuh Al-qur’an, tempat tinggal beliau sampai hijrah ke Madinah, tempat beliau berlindung ketika dikerjar orang Qureisy, dan tempat kelahiran anak-anak beliau. Mu`awiyah ketika menjabat khalifah, membeli rumah ini dan lantas mengubahnya menjadi masjid yang dia pisah-pisahkan menjadi beberapa ruangan dan masing-masingnya diberi mihrab. Masjid ini direnovasi dan dipercantik secara terus menerus oleh banyak penguasa dan orang kaya dari berbagai daerah dan dan dinasti, sehingga terlihat anggun dan mewah dengan berbagai ornamen. Tempat utama dalam masjid (gedung) ini yang biasa diziarahi dan digunakan untuk i`tikaf dan shalat sunat ada tiga buah yaitu: ruangan yang dianggap sebagai tempat lahir Fathimah (Maulid Fathimah); ruangan yang disebut Qubbah al-Wahy, kamar Rasulullah yang konon di tempat inilah wahyu paling banyak turun, dan ruangan yang disebut al-Mukhtaba’, ruangan tempat Rasulullah pernah bersembunyi ketika beliau dikejar oleh orang-orang Qureisy. Omar Hasyem yang mengutip Ibnu Zhahirah, dan al-Fasi yang mengutip dari Muhib al-Thabari menyatakan bahwa banyak orang menganggap tempat ini merupakan tempat paling suci di kota Makkah setelah Masjid Haram karena di samping sebagai tempat tinggal Nabi, disinilah Nabi paling banyak menerima wahyu. Al-Fasi menambahkan, ada riwayat tentang orang yang sering bermimpi melihat Nabi mengunjungi rumahnya ini. 

Rumah ketiga yang dianggap mulia adalah rumah Arqam bin Abu al-Arqam (Dar al-Arqam al-Makhzumi) yang terletak berdekatan dengan rumah tempat lahir Rasulullah dekat Shafa yang di atas tadi sudah disebutkan. Tidak diketahui pasti kapan rumah ini diubah menjadi masjid dan siapa orang pertama yang mengubahnya. Al-Fasi menyebutkan bahwa masjid ini sudah direnovasi beberapa kali dan ketika dia mengunjunginya pada dindingnya tertulis surat al-Nur ayat 36. Menurut al-Fasi sangat boleh jadi rumah ini merupakan tempat paling mulia di Makkah setelah rumah Khadijah yang di atas tadi sudah diuraikan (wa la`alla hadza al-mawdha` afdhal al-amakin bi-Makkah ba`da Dar Khadijah binti Khuwaylid radhiyallahu `anha). Tempat ini dianggap mulia karena merupakan tempat yang paling banyak digunakan Rasulullah setelah rumah Rumah Khaidjah di atas, yang menjadi tempat tinggal beliau. Alasan lainnya di rumah inilah Rasulullah mengajarkan Islam  kepada para pemeluk baru tersebut, dan dari rumah inilah Rasulullah mengajak orang-orang masuk Islam secara diam-diam. Di rumah ini pulalah Rasulullah sering bersembunyi ketika di kejar oleh orang-orang Qureisy yang ingin menyakitinya.[18]  Tetapi sayang buku yang penulis baca tidak satupun menyandarkan riwayat tentang kelebihan dan keutamaan serta anjuran untuk mengunjungi rumah-rumah ini kepada Hadis Nabi.

Sedang Ma`ala, merupakan pekuburan umum kota Makkah. Di tempat ini ditemukan makam Siti Khadijah ra., isteri Rasulullah yang mendampingi beliau dengan kesetiaan penuh, yang menghabiskan hampir seluruh hartanya untuk perjuangan menegakkan Islam. Kuburan beberapa orang Sahabat besar pun, seperti Ibnu `Abbas dan Asma` binti Abubakar, juga terletak di tempat ini. Pembunuhan Abdullah ibnu Zubeir secara sadis oleh al-Hajjaj juga dilakukan di tempat ini, dan diberi tanda berupa bangunan oleh para orang kaya dan penguasa sebagai penghormatan atasnya.  Namun harus kita ingat, beberapa orang petinggi Quraisy yang belum Islam pun seperti Abu Thalib (Ayahwa, Pakde Rasulullah) dan Abdul Muthallib (Kakek Nabi) berkubur disini. Bahkan mereka yang menjadi musuh besar Islam pun, ada yang berkubur ditempat ini seperti Abu Jahal, Mughirah bin Syu`bah dan Utbah bin Rabi`ah.

Ketika Dinasti Sa`udiah Wahhabiah merebut kota Makkah dari Dinasti Hasyimiah,  di tempat ini telah berdiri bangunan yang  megah bahkan mewah di atas kuburan beberapa orang Sahabat yang dianggap penting dan berjasa untuk Islam, yang sebagiannya berlapis emas dan perak. Kuat dugaan semuanya dibangun secara berangsur-angsur oleh para penguasa muslim dari berbagai belahan dunia dan mungkin juga oleh beberapa orang kaya untuk menunjukkan rasa cinta dan penghargaan mereka, dan mungkin dengan harapan akan memperoleh pahala dan barakah dari Allah Swt. Pada tahun 1934 seorang antropolog Mesir meneliti batu nisan yang ada di sana, mengambil foto dan menginventarisasikannya dengan baik. Dari foto dan catatan inilah diketahui bagaimana kira-kira keadaan dan kemewahan kubah, bangunan dan batu nisan yang ada di pekuburan Ma`ala tersebut. Dari satu segi itu merupakan capaian tinggi budaya serta kehalusan seni. Tetapi dari segi yang lain merupakan penyimpangan dan penyelewengan atas ajaran Rasulullah tentang anjuran untuk menyederhanakan kubur dan tidak membangunnya secara mewah apalagi berlebih-lebihan.

Dalam hubungan dengan ulama Indonesia, dalam catatan yang berisi ribuan nama dan foto yang direkam oleh Hassan Muhammad al-Hawari, pegawai Museum Seni Arab di Kairo yang sudah disinggung di atas, ditemukan nama Hamzah bin `Abdullah al-Fanshuri, sehingga menimbulkan spekulasi kuat bahwa sastrawan sufi yang dikenal juga sebagai seorang ulama besar abad ke enam belas Miladiah asal Aceh ini berkubur di Ma`ala. Kalau catatan ini benar maka pendapat yang selama ini berkembang bahwa Hamzah Fansuri berkubur di Oboh, Kabupaten Singkil menjadi terbantah.

Pada masa sekarang semua batu nisan dan kubah atau bangunan yang ada di atas pekuburan Ma`la, pekubuan Ba`qi’ di Madinah dan beberapa kuburan lainnya, sudah dihancurkan dan diratakan oleh penguasa Dinasti Sa`udiah Wahhabiah, sehingga tidak ada lagi tanda untuk membedakannya satu sama lain, apalagi untuk membayangkan kemewahannya pada masa lalu. Penulis tidak mengetahui kapan persisnya bangunan ini dihancurkan.  Tetapi melihat catatan di atas, bahwa pada tahun 1934 seorang antropolog Mesir masih menemukan banyak kubah dan batu nisan, kuat dugaan penghancuran ini dilakukan secara berangsur-angsur sehingga tidak terlalu mendapat perlawanan.

Dalam berbagai catatan disebutkan bahwa Ziarah ke rumah Rasulullah atau ziarah ke pekuburan Ma`ala, serta tempat lain yang dimuliakan, dilakukan secara sangat berlebih-lebihan. Konon ada yang sampai tidur dan mengaji sampai berhari-hari disana. Ada yang berdo`a sambil menangis dan ada juga yang mengirim “surat” meminta agar ruh orang yang terkubur di sana (yang dikirimi surat tersebut) mau mendoakannya, bahkan ada jamaah yang tidak lagi menjadikan ruh yang terkubur itu sebagai wasilah, tetapi langsung meminta kepada ruh tersebut agar memenuhi hajat dan doanya. Konon menurut sebagian riwayat waktu yang dihabiskan jamaah untuk berziarah ke tempat-tempat bersejarah yang cenderung dikeramatkan ini, adalah lebih banyak dari waktu yang mereka gunakan untuk beri`tikaf ataupun thawaf di Masjid Haram.

Di luar kegiatan berziarah, praktek yang mengarah kepada khurafat dan syirik pun terjadi secara relatif luas. Penjualan benda-benda dan tulisan-tulisan sebagai jimat dilakukan secara relatif bebas, bahkan disertai ceramah dan penjelasan mengenai perlindungan yang akan diberikan oleh jimat tersebut. Kain kiswah yang setiap musim haji diturunkan untuk diganti dengan yang baru, dipotong kecil-kecil lalu dijual sebagai jimat oleh para syeikh dan pengurus masjid, konon secara terbuka di dalam Masjid Haram sendiri. Banyak jamaah yang membeli potongan kiswah ini untuk memperoleh berkahnya, misalnya untuk diselipkan ke dalam kain kafan ketika mereka akan dikuburkan nanti. Air hujan yang turun dari atap Ka`bah melalui Pancuran Emas, ditampung oleh sebagian jamaah dan oknum pengurus masjid, dimasukkan ke dalam botol-botol dan setelah itu dijual kepada jamaah haji untuk menyembuhkan berbagai penyakit. Surat “pengampunan dosapun” ada yang memperjual belikannya. Jamaah datang kepada syeikh yang dia hormati lalu meminta syeikh untuk berdo`a baginya atau bagi orang lain yang ada di tanah air. Setelah itu dia diberi surat keterangan yang biasanya ditulis dengan khat yang indah, bahwa Syeikh sudah mendo`akan orang tersebut dan “mudah-mudahan Allah swt. sudah mengampuni dosanya”. Mungkin mereka menganggapnya sebagai perpanjangan dari praktek ”Badal Haji” yang memang diizinkan oleh jumhur ulama. Semua ini pada umumnya dilakukan dengan memberikan sejumlah uang sebagai bayaran atau upahnya. Ada juga riwayat bahwa pada akhir abad kesembilan belas Miladiah itu air Zamzam pun dikomersilkan oleh oknum peguasa dengan cara memonopoli penjualan botol atau jerigen yang akan digunakan jemaah haji untuk membawa pulang airnya.

Beberapa buku kisah perjalanan juga menceritakan keadaan masyarakat yang tidak aman, perampokan, pencurian dan perkelahian serta perjudian yang sering terjadi. Bukan saja dalam perjalanan antar kota seperti Mekkah, Madinah dan Jeddah, tetapi juga di dalam kota Mekkah, baik dimusim haji ataupun di luar musim haji. Sedang penegakan hukumnya cenderung lemah, sehingga orang yang menjadi korban kejahatan cenderung dianggap sebagai sedang ”sial.” Hukum yang berlakupun tidaklah sama untuk semua penduduk, tetapi dibedakan berdasarkan mazhab. Sehingga ketika terjadi sengketa antar orang yang berbeda mazhab maka penyelesaiannya dilakukan secara antar golongan, setelah terlebih dahulu ada kesepakatan antara para hakim, aturan dari mazhab mana yang akan diberlakukan kepada mereka.

Keadaan ini menyebabkan kejengkelan banyak ulama, lebih-lebih lagi para ulama Wahhabiah. Mereka sangat anti kepada khurafat dan takhayul termasuk segala macam jimat. Menurut mereka Nabi menyuruh kita ziarah kubur adalah untuk ingat kepada mati, bukan karena menghormati orang yang terkubur di bawahnya. Karena itu menziarahi kuburan orang yang kita kenal atau orang yang tidak kita kenal sama saja pahalanya. Menurut Hadis, kuburan yang sunat diziarahi secara khusus hanyalah kuburan Rasulullah. Tidur di kuburan dengan harapan memperoleh pahala adalah perbuatan sesat yang dapat membawa kepada syirik. Berbagai tempat bersejarah yang ada di Makkah menurut ulama Wahhabiah tidak ada yang sunat diziarahi, karena menurut hadis sahih, tempat yang sunat diziarahi hanyalah Masjid Haram, Masjid Nabawi dan Masjid Aqsha.

Untuk menghindari syirik dan khurafat, mereka menghancurkan semua bangunan yang oleh para jamaah haji cenderung diberi pengagungan atau kemuliaan yang cenderung sangat berlebih-lebihan. Mereka membumi hanguskan bangunan di atas kuburan Khadijah ra. dan semua bangunan yang ada di Ma`ala, sampai kepada membongkar batu nisan, sehingga semua kuburan ini menjadi tanpa identitas. Bangunan di atas kuburan ibu Rasulullah di Abwa’ yang konon sangatlah indah, mewah dan megah mereka hancurkan juga sehingga rata dengan tanah. Tidak diketahui kemana emas, permata dan berlian yang ada di sana mereka bawa.  Rumah Khadijah pun mereka gusur sehingga tidak diketahui lagi jejaknya; tetapi kuat dugaan, sekarang ini sudah menjadi bagian dari Masjid Haram.

Penguasa Bani Sa`ud dan kaum Wahhabiah sangat kaku memahami makna tauhid, sehingga banyak hal yang menurut ulama lain adalah biasa, oleh mereka dianggap sebagai  khurafat bahkan syirik. Untuk banyak ulama Wahhabiah, foto sama dengan lukisan, keduanya dianggap sama dengan berhala, sesuatu yang dapat membawa kepada syirik dan karena itu harus dimusnahkan. Sampai tahun tujuhpuluhan banyak cerita mengenai tustel jamaah yang secara paksa dibanting dan dihancurkan petugas keamanan Saudi. Lebih dari itu, buku, majalah dan kitab yang tidak mereka kenal pun cenderung dicurigai dan tidak boleh dibawa masuk ke wilayah Saudi. Banyak diktat kuliah atau kitab yang dibawa oleh mahasiswa Indonesia dari Kairo, yang ditahan oleh bea cukai Saudi tanpa alasan yang jelas.

Banyak umat dan bahkan ulama yang kecewa, jengkel, tidak setuju bahkan menentang berbagai kekakuan dan kekerasan yang berlebih-lebihan yang dilakukan oleh penguasa Bani Sa`ud dan para ulama pengikut paham Wahhabiah ini. Di Indonesia kekuatiran akan pengurangan bahkan penghapusan tatacara mazhab dalam beribadat dan pemahaman agama oleh para penguasa Bani Sa`ud dan ulama Wahhabiah telah mendorong sekelompok ulama di Jawa Timur dan Jawa Tengah untuk membentuk ”Komite Hijaz” yang antara lain akan mengirim utusan untuk bertemu dengan Raja Ibnu Sa`ud di Mekkah guna mengupayakan adanya jaminan pelaksanaan peribadatan dan pemahaman keagamaan berdasarkan mazhab seperti periode sebelumnya.

Kelihatannya sebagian dari kekecewaan ini dilampiaskan dengan mencela dan menjelekkan ulama dan mazhab Wahhabiah secara tidak benar dan berlebih-lebihan, dan tanpa melihat sisi positif yang telah mereka lakukan. Sebagian ulama ketika mencela perilaku dan kekerasan ini ada yang sampai ke tingkat melemparkan fitnah, bahwa Wahhabiah tidak termasuk ke dalam kelompok ahlussunnah wal jamaah. Bahkan ada yang berfatwa untuk tidak boleh membaca buku-buku karangan ulama Wahhabiah, haram hukumnya; berbahaya karena mengandung banyak kesesatan yang dapat merusak akidah dan ibadah. Sedang sebenarnya, walaupun mengaku tidak bermazhab bahkan menolak pengkotak-kotakan jamaah berdasar mazhab di Masjid Haram, Wahhabiah menurut Jumhur ulama masuk ke dalam mazhab Hanabilah dalam fiqih, serta pengikut Ibnu Taymiyyah dalam akidah, dan karena itu termasuk juga sebagai pengikut ahlussunnah wal jamaah. Penulis yakin bahwa semua ulama yang mau membaca dan memahami sejarah secara terbuka, akan sepakat bahwa Wahhabiah masuk ke dalam kelompok salafiah, yaitu umat Islam yang dalam pemahaman dan pengamalan keagamaan mengikuti para Sahabat ra; yaitu kelompok yang mengikuti pemikiran dan pendapat-pendapat para ulama sebelum mazhab empat lahir.

Sedang sebagian saudara kita yang berafiliasi kepada salah satu mazhab empat ada yang tidak ragu bahkan mungkin dengan bangga mengaku juga sebagai pengikut salafiah (ada psantren yang berafiliasi kepada salah satu mazhab empat mengaku sebagai salafiah), dan itu tidaklah salah. Tetapi pengakuan mereka ini tentu harus dipahami sebagai pengikut salafiah yang bermazhab. Kalau pengakuan ini dapat diterima, maka salafiah akan terbagi dua; ada salafiah yang tidak menjadi pengikut mazhab empat dan ada salafiah yang menjadi pengikut mazhab empat. Sedang salafiah adalah bagian dari ahlussunnah wal jamaah. Dengan demikian Wahhabiah termasuk juga ke dalam ahlussunnah wal jamaah, sebagaimana pengikut mazhab empatpun termasuk ke dalam ahlussunnah wal jamaah. Mempersempit isi ahlussunnah wal jamaah sehingga hanya terbatas pada mazhab atau kelompoknya sendiri, dan menyalahkan semua kelompok lain yang berbeda, walaupun menurut jumhur masuk juga ke dalam ahlussunnah wal jamaah adalah kekeliruan fatal dan ketidak-benaran, yang seharusnsya tidak dilakukan oleh ulama yang luas ilmu dan bertanggung jawab.

Setelah berupaya menghancurkan apa yang mereka anggap sebagai syirik dan khurafat, penguasa Bani Sa`ud dan ulama Wahhabiah berupaya menegakkan syari`at (fiqih) secara menyeluruh dan konsisten. Mereka mendorong umat dan anggotanya untuk menundukkan diri secara penuh dan menyeluruh kepada syari`at dan berupaya untuk menegakkan syari`at secara total dan sungguh-sungguh. Satu hukum (fiqih) untuk seluruh penduduk yang beragama Islam. Para penguasa Bani Sa`ud dan ulama Wahhabiah secara resmi menjadikan fiqih mazhab Hanabilah sebagai hukum negara dan menjalankannya secara tegas dan konsisten. Mungkin setelah era Khulafa’ur Rasyidin, atau paling kurang di zaman modern sekarang, diantara semua negara muslim hanya Negara Arab Saudilah yang menjalankan fiqih (syari`at) secara relatif menyeluruh dan konsisten. Merekalah yang menjadikan hukum negara baik perdata dan pidana berdasarkan ketentuan yang ada dalam fiqih, tanpa ada upaya untuk mengubah ataupun menukarnya dengan hukum Barat. Dengan kata lain mereka mejadikan fiqih sebagai hukum positif di negara mereka. Tindakan tegas dan sungguh-sungguh ini menjadikan Arab Saudi sebagai salah satu negara yang paling aman dan paling rendah tingkat kejahatannya. Setelah bani Sa`ud merebut kekuasaan dan menjalankan hukum fiqih secara ketat, penunaian ibadah haji menjadi lebih aman dan nyaman, tidak ada lagi perampokan dan pemerasan di tengah jalan antara Jeddah, Mekkah dan Madinah atau sebaliknya.

Dalam hubungan ini Dinasti Sa`udiah juga menghapuskan sistem peradilan berdasar mazhab. Sebelum kehadiran penguasa Bani Sa`ud dan ulama Wahhabiah di Makkah dan Madinah ada empat pengadilan berdasar mazhab, Hanafiah, Malikiah, Syafi`iah dan Hanabilah. Masing-masing orang akan mencari dan datang ke pengadilan berdasarkan mazhabnya. Sehingga ketika ada sengketa antara orang yang berbeda mazhab, maka mereka akan diperlakukan seolah-olah dari golongan yang berbeda, sehingga hukum yang diberlakukan adalah hukum antar mazhab (hukum antar golongan). Sebuah kebijakan yang secara langsung atau tidak telah melesatarikan pengelompokan dan bahkan perpecahan umat berdasarkan mazhab. Sering terjadi pertengkaran baru untuk menentukan ke pengadilan mazhab mana mereka harus pergi, sebelum pengadilan memeriksa dan memutus perkara yang terjadi diantara mereka.

Foto-foto:

1. Bangunan diatas kubur Sayidah Khadijah 


Pandam pekuburan Jannatul Mu'alla di waktu Makkah dikuasi ahli kuburiyun (Kuburan Sayidah Khadijah didalam foto ini adalah kubah yang paling besar)

Jannatul Mualla adalah pemakaman Islam bersejarah yang terletak di Mekah, Arab Saudi. Ma’la sendiri merupakan satu dari dua tempat pemakaman bersejarah bagi umat Islam selain Al Baqi di Madinah. Banyak sahabat, kakek dan juga Istri pertama Rasulullah yakni Sayidah Khadijah, dimakamkan di sana.

Dalam pemakaman Jannatul Mualla, terdapat batu nisan milik Sayidah Khadijah yang dibangun dengan kubah tinggi pada abad ke-8 H. Makam Sayidah Khadijah direnovasi dan dibuatkan kubah tinggi atas perintah Sultan Sulaiman al-Qanuni seorang khalifah Utsmani sesuai dengan arsitektur makam-makam di Mesir jaman dulu.

Sebelum direnovasi, makam Sayidah Khadijah hanya berupa makam dari kotak berbahan kayu. Pada abad ke-13 H makam Sayidah Khadijah mengalami renovasi kembali dan dihiasi oleh kain beludru dan juga diberikan penjagaan disekitar makam tersebut.

Karena kedekatannya dengan ka’bah, Jannatul Mualla atau di sebut dengan Ma’la dianggap sebagai tempat yang sangat sakral oleh masyarakat di sekitarnya bahkan sebelum Muhammad ﷺ diangkat menjadi Nabi oleh Allah. Ma’la terbentang di dataran tinggi bukit Jabal As-Sayyidah, perkampungan Al-Hujun yang letaknya hanya berjarak sekitar 1,1 kilometer dari Masjidil Haram.

Pada abad keenam, suku Quraish mengambil alih Mekah dan menetapkan Ma’la sebagai tanah pemakaman pribadi mereka. Banyak anggota klan Bani Hasyim, dimakamkan di pemakaman ini beberapa dekade menjelang kelahiran Nabi Muhammad ﷺ

2. Pandam pekuburan Jannatul Mu'alla saat ini yang sesuai dengan sunnah

Dulunya, bentuk pemakaman di sini sama seperti di belahan dunia lain, yakni terdapat bangunan megah ataupun kubah besar yang ada di dalam pemakaman ini. Namun sejak 1925 bangunan makam di sini dihancurkan. Tidak ada lagi bentuk makam dan batu nisan. Yang tersisa hanyalah tanah yang rata dan jejeran batu sebagai penanda makam.

Pemakaman Ma’la merupakan salah satu destinasi wisata ziarah atau religi para jamaah haji dan umrah di Mekah. Tempat ini juga menjadi salah satu tempat pemakaman bagi para jamaah haji dan umrah yang meninggal.


Saat ini komplek pemakaman dikelilingi oleh dinding pembatas yang meluas ke lereng Gunung al-Hajun. Selain itu, pemakaman dibagi menjadi dua bagian: utara, yang meliputi kuburan Bani Hasyim dan keturunan Nabi Muhammad saw, dan bagian selatan.

3. Pandam pekuburan Baqi' dimasa kuburiyun :

Keterangan :

1. Bayt al-Aḥzān (Arabic: بَيْت ٱلْأَحْزَان), House of the sorrow of Fatimah bint Muhammad
2. Mausoleum of four Shia Imams
3. Daughters of the Prophet
4. Wives of the Prophet
5. 'Aqil and 'Abdullah ibn Ja'far
6. Malik and Nafi'
7. Ibrahim, the little son of the Prophet
8. Halimah al-Sa'diyyah
9. Fatimah bint Asad
10. Uthman, the third Caliph.

4. Pandam pekuburan Baqi' di Madinah saat ini

5. Kubur Hasan bin Ali (cucu nabi)

Pada 1925, Raja Abdul Aziz bin Saudi menghancurkan makam Hasan bin Ali terletak di kompleks pemakaman Jannatul Baqi. Kuburan Hasan yang terdiri dari bangunan putih, dratakan dengan tanah. Kejadian ini menimbulkan protes dari masyarakat Muslim dunia (Syiah)

Imam Hasan bin Ali merupakan salah satu cucu Rasulullah. Beliau anak dari sepupu nabi, Ali bin Abi Thalib yang menikahi anak perempuan nabi, Fatima Az Zahra.5. 

Makam Raja-Raja Saudi

Ini adalah komplek pemakaman Al-Oud, Riyadh. Pemakaman paling terkenal nomor 3 di Arab Saudi setelah pemakaman Baqi' di Madinah dan pemakaman Ma'la di Makkah.

Di Pemakaman Al-Oud inilah seluruh raja Saudi disemayamkan. 

Sama seperti kuburan rakyat biasa, tak ada yang istimewa, hanya gundukan tanah dan sebongkah batu sebagai tandanya. 

Jasa mereka cukup dibalas dengan menguburkan sesuai perintah rosul serta mendoakan dan memohonkan ampunan atas dosa-dosanya.

-----

Berikut komentar miring serta fitnah dan reaksi "ahli kubur, sufi dan syiah" yang merasa prihatin pada pada tindakkan pemerintahan Kerajaan Arab Saudi yang mereka sebut "wahabi", karena kuburan sebagai salah satu tempat ibadahnya dihancurkan, simak video berikut :


Sumber : 

Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?