Terjaganya Kota Madinah dari Bid'ah
مَنْ أَحْدَثَ فِيهَا حَدَثًا أَوْ آوَى مُحْدِثًا فَعَلَيْهِ لَعْنَةُ اللَّهِ وَالْمَلَائِكَةِ وَالنَّاسِ أَجْمَعِينَ (متفق عليه)
“Barangsiapa berbuat bid’ah di dalamnya (Madinah), atau melindungi pelaku bid’ah, maka baginya laknat Allah, para malaikat, dan manusia seluruhnya” (Muttafaq ‘Alaih)
'Ali bin Abi Thalib r.a. berkata, "Kami tidak memiliki kitab bacaan selain Kitabullah, kecuali yang termaktub dalam lembaran ini." Kemudian ia mengeluarkan lembaran tersebut, ternyata di dalamnya disebutkan tentang panduan qishash atas luka-luka dan batasan umur unta yang boleh digunakan sebagai pembayaran diyat.
Di dalamnya juga termaktub, "Kota Madinah termasuk Tanah Haram, mulai dari bukit Air sampai bukit Tsaur :
[1] Barangsiapa melakukan kejahatan di dalamnya atau melindungi pelaku kejahatan, maka atasnya laknat Allah, para Malaikat dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya taubat dan fidyah (tebusan).
[2] Siapa saja di antara budak yang memberikan loyalitasnya kepada selain tuannya, maka atasnya laknat Allah, para Malaikat dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya taubat dan fidyah (tebusan). Perlindungan yang diberikan oleh tiap-tiap Muslim statusnya sama,
[3] walaupun yang memberi perlindungan adalah orang yang rendah kedudukannya di antara mereka. Barangsiapa mengkhianati perjanjian dengan seorang Muslim, maka atasnya laknat Allah, para Malaikat dan seluruh manusia. Tidak diterima darinya taubat dan fidyah (tebusan)," (HR Bukhari [6755] dan Muslim [1370]).
Kandungan Bab:
- Barangsiapa melindungi pelaku bid'ah, maka ia telah membantu merobohkan Islam, oleh karena itu ia berhak mendapatkan laknat Allah, para Malaikat dan seluruh manusia.
Imam asy-Syathibi mengatakan dalam kitab al-I'tishaam (I/151-155): "Perlindungan sama artinya dengan penghormatan. Hal itu sangat jelas sekali. Mendatangi pelaku bid'ah dan menghormatinya merupakan bentuk pengagungan baginya atas bid'ah yang dilakukannya. Kita tahu, syari'at telah memerintahkan supaya mencela, merendahkan dan menghinakannya, bahkan lebih dahsyat dari itu, yakni memukulnya atau bahkan membunuhnya. Menghormati pelaku bid'ah berarti menghalangi orang dari pelaksanaan syari'at Islam. Dan menerima perkara yang justru bertolak belakang dan bertentangan dengan syari'at. Sesungguhnya, Islam dapat roboh dengan meninggalkan ajarannya dan mengerjakan perkara yang bertentangan dengannya. Dan juga, menghormati pelaku bid'ah dapat menimbulkan dua kerusakan yang dapat merobohkan Islam:
- Orang-orang jahil dan masyarakat awam akan merespon penghormatan tersebut. Mereka akan berkeyakinan bahwa pelaku bid'ah tersebut adalah orang yang utama dan menganggap amalan yang dilakukan ahli bid'ah itu lebih baik daripada amalan yang dilakukan oleh orang lain. Dan akhirnya, mereka akan mengikuti perbuatan bid'ah yang dilakukannya dan tidak lagi mengikuti Sunnah Nabi yang dilakukan oleh Ahlus Sunnah.
- Jika pelaku bid'ah dihormati karena bid'ahnya, maka hal itu akan memotivasinya untuk membuat bid'ah-bid'ah lain dalam seluruh urusan.
Itulah yang diisyaratkan dalam hadits Mu'adz r.a. yang berbunyi, "Hampir tiba saatnya seorang berkata, 'Mengapa manusia tidak mengikutiku, padahal aku telah membacakan Al-Qur’an kepada mereka? Kelihatannya mereka tidak akan mengikutiku hingga aku mengada-adakan sesuatu yang baru selain Al-Qur’an!' Hati-hatilah terhadap bid'ah yang dibuatnya, karena bid'ah yang dibuatnya itu adalah sesat," (Shahih, riwayat ini –meskipun mauquf- memiliki hukum marfu'. Saya telah menjelaskannya dalam takhrij hadits-hadits dalam kitab al-I'tishaam [I/55]).
Itu berarti, Sunnah akan mati apabila bid'ah dihidupkan. Jika Sunnah telah mati, maka robohlah agama Islam.
Demikian pula pernyataan-pernyataan yang disebutkan dalam beberapa penukilan dari ulama Salaf, mempertegas kebenaran pernyataan kami di atas. Karena, apabila sebuah kebathilan diamalkan, maka konsekuensinya adalah kebenaran akan ditinggalkan, demikian pula sebaliknya. Sebab, satu tempat tidak mungkin diisi oleh dua perkara yang saling bertolak belakang.
Dan juga, dalam hadits-hadits shahih telah diperintahkan agar meninggalkan perbuatan bid'ah. Barangsiapa mengerjakan sebuah bid'ah, berarti ia telah meninggalkan sebuah Sunnah.
Di antara penukilan tersebut adalah: - Diriwayatkan dari Hasan bin 'Athiyyah, ia berkata, "Tidaklah suatu kaum melakukan sebuah bid'ah dalam urusan agama, melainkan Allah akan mencabut sebuah Sunnah dari mereka. Kemudian sunnah itu tidak akan kembali kepada mereka hingga hari kiamat."
- Diriwayatkan dari 'Abdullah bin 'Abbas r.a., ia berkata: "Tidaklah datang sebuah zaman atas ummat manusia melainkan mereka akan membuat bid'ah dan mematikan Sunnah, sehingga bid'ah menjadi tumbuh subur dan Sunnah menjadi mati."
Baca juga: "Terapi Intensif bagi Pelaku Bid'ah"
…………………………………
[1] Ini merupakan penegasan dari Amirul Mukminin 'Ali bin Abi Thalib r.a. atas kebohongan perkataan kaum Rafidhah dan kedustaan kaum Syi'ah yang mengaku-ngaku cinta kepada Ahlul Bait secara dusta. Mereka mengatakan: "Sesungguhnya Rasulullah saw telah mewasiatkan kepada 'Ali bin Abi Thalib r.a sejumlah perkara, di antaranya rahasia-rahasia ilmu dan perbendaharaan syari'at." Dan anggapan mereka bahwa Rasulullah saw mengkhususkan Ahlul Bait dengan sejumlah perkara yang tidak diketahui oleh para Sahabat yang lainnya.
[2] Sebagian ahli ilmu menyangka bahwa lafazh ini merupakan kesalahan tulis. Menurut mereka, Tsaur adalah nama sebuah gunung di Makkah. Adapun penduduk Madinah tidak mengenal gunung ini. Ibnu Hajar dan Al-Fairuz Abadi membantah perkataan mereka. Ustadz Muhammad Fu-ad 'Abdul Baqi telah mengulas masalah ini secara rinci dalam catatannya terhadap kitab Shahiih Muslim (II/995-998), beliau menjelaskan bahwa Tsaur adalah sebuah gunung kecil (bukit) di belakang gunung Uhud. Dengan demikian, realita yang ada sesuai dengan hadits tersebut.
[3] Kata Sharf dan 'Adl, ada yang mengatakan maknanya; “Taubat dan tebusannya'. Ada yang mengatakan: 'amalan fardhu dan sunnat yang dilakukannya,.,”
[4] Maksudnya jaminan keamanan yang diberikan oleh tiap-tiap muslim statusnya sama. Apabila seorang Muslim memberikan jaminan keamanan kepada seorang kafir, maka haram atas Muslim yang lain mengganggu orang kafir itu selama masih berada dalam perlindungan saudaranya tersebut.
Sumber: Diadaptasi dari Syaikh Salim bin 'Ied al-Hilali, Al-Manaahisy Syar'iyyah fii Shahiihis Sunnah an-Nabawiyyah, atau Ensiklopedi Larangan menurut Al-Qur'an dan As-Sunnah, terj. Abu Ihsan al-Atsari (Pustaka Imam Syafi'i, 2006), hlm. 1/264-268.
Sumber : https://www.alislamu.com
Komentar
Posting Komentar