JIKA TIDAK TAHU MAKA BERTANYALAH KEPADA AHLI ILMU

Islam adalah agama yang paling sempurna dalam memerhatikan seluruh sisi kehidupan manusia. Al Qur’an sebagai kitab petunjuk telah memberikan panduan yang konprehensif, mengantarkan manusia meniti jalan yang lurus, dan keselamatan dunia akhirat. Demikian juga dengan sunnah-sunnah Rasulullah SAW yang mulia, menjadi petunjuk utama dalam memahami ayat-ayat mulia yang manusia memiki keterbatasan untuk menyingkap maknanya.

Lalu bagaimana dengan hal-hal teknis dan dinamis dalam kehidupan manusia? Barangkali kita tidak akan menemukan nash yang secara eksplisit langsung menyebutkan setiap permasalahan kehidupan manusia. Namun Allah SWT sudah memberikan rambu-rambu, apa yang mesti dilakukan oleh manusia agar mereka tidak salah jalan.

Allah memerintah kita agar bertanya kepada ahlinya apabila kita tidak tahu. Allah subhanahu wa ta’ala berfirman,

فَسۡ‍َٔلُوٓاْ أَهۡلَ ٱلذِّكۡرِ إِن كُنتُمۡ لَا تَعۡلَمُونَ

“… maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kalian tidak mengetahui.” (an-Nahl: 43)

Ayat ini berlaku umum dalam segala urusan, baik urusan dunia maupun urusan agama. Konsekuensinya, kita harus mengetahui perbedaan antara urusan agama dan urusan dunia. Lalu, kepada siapa kita harus bertanya? Ayat di atas sudah menjawab pertanyaan tersebut. Urusan agama ditanyakan kepada ulama (orang yang berilmu dalam hal agama), dan urusan dunia ditanyakan kepada ahlinya.

Dari penjelasan di atas, kita dapat menarik kesimpulan DIHARAMKANNYA bertanya tentang urusan agama kepada orang yang tidak mengetahui urusan agama. Demikian juga urusan duniawi, jika kita tidak bertanya kepada ahlinya, maka akibatnya juga akan mendatangkan kerugian.

Hal ini ditegaskan oleh hadits yang shahih bahwa Nabi shallallaahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إِنَّ اللهَ لاَ يَقْبِضُ الْعِلْمَ انْتِزَاعًا مِنَ الْعِبَادِ وَلَكِنْ يَقْبِضُ الْعِلْمَ بِقَبْضِ الْعُلَمَاءِ، حَتَّى إِذَا لَمْ يُبْقِ عَالِمًا اتَّخَذَ النَّاسُ رُؤُوسًا جُهَلَاءَ، فَسُئِلُوا فَأَفْتَوْا بِغَيْرِ الْعِلْمِ، فَضَلُّوا وَأَضَلُّوا

“Sesungguhnya, Allah tidaklah mencabut ilmu dengan sekali cabut dari hamba-Nya. Akan tetapi, Allah mencabut ilmu dengan mewafatkan ulama. Sampai apabila Allah tidak menyisakan seorang ulama pun, manusia pun mengangkat pemimpin-pemimpin yang bodoh. Mereka ditanya lalu berfatwa tanpa ilmu, sehingga mereka sesat dan menyesatkan.”(HR. al-Bukhari)

Ayat di atas sejatinya mengingatkan kita agar tidak sok tahu, merasa sudah pintar dalam segala urusan. Juga larangan untuk latah, mengomentari segala hal, dan menganggap pandangan kitalah yang paling benar. Jadi, jika tidak tahu maka bertanyalah pada yang lebih ahli.


Ini adalah prinsip pokok ajaran Al-Qur’an yang jelas, yang memiliki pengaruh besar dalam meluruskan perjalanan manusia menuju Rabbnya, mengatur ibadah, muamalah, dan perilaku-perilakunya, serta mengetahui apa yang samar atau bermasalah baginya dalam urusan Agamanya.

Prinsip pokok ini terdapat dalam Al-Qur’an di dua tempat:

PERTAMA; disurat An-Nahl ayat 43, Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا مِنْ قَبْلِكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۚ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُونَ.

"Dan Kami tidak mengutus sebelum engkau (Muhammad), melainkan orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka; maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui"

KEDUA; disurat al-Anbiya’ ayat 7, Allah Ta’ala berfirman:

وَمَا أَرْسَلْنَا قَبْلَكَ إِلَّا رِجَالًا نُوحِي إِلَيْهِمْ ۖ فَاسْأَلُوا أَهْلَ الذِّكْرِ إِنْ كُنْتُمْ لَا تَعْلَمُون.

"Dan Kami tidak mengutus (rasul-rasul) sebelum engkau (Muhammad), melainkan beberapa orang laki-laki yang Kami beri wahyu kepada mereka, maka tanyakanlah kepada orang yang berilmu, jika kamu tidak mengetahui"

Kedua ayat ini dalam konteks pengarahan atas orang-orang kafir – yang suka menentang dan mendustakan agama-agama supaya mereka bertanya kepada orang-orang yang mendahului mereka dari kalangan Ahli Kitab, dalam pengarahan ini terkandung sebuah isyarat yang jelas bahwa orang-orang musyrik yang suka menentang  itu tidak punya ilmu, dan mereka adalah orang-orang jahil, karena bila tidak demikian, maka tidak ada gunanya mengarahkan mereka untuk bertanya.

Jika kita mau merenungi prinsip pokok ini bersama konteksnya, maka dapat disimpulkan beberapa perkara;
  1. Secara umum prinsip ini mengandung pujian atas orang-orang yang berilmu.
  2. Ilmu yang dimaksud adalah ilmu tentang kitab Allah yang diturunkan, karena terdapat perintah bagi orang yang tidak mengetahui untuk bertanya pada ahlinya dalam semua perkara.
  3. Mengandung kredibilitas ahli ilmu dan rekomendasi bagi mereka, dimana Allah menyuruh agar bertanya kepada mereka.
  4. Orang jahil yang bertanya dapat keluar dari beban berat dengan sekedar bertanya, dan ini mengandung kesimpulan bahwa Allah telah memberikan amanah kepada mereka atas Wahyu yang diturunkannya, dan bahwa mereka diperintahkan untuk menyucikan diri-diri mereka.
  5. Ahli ilmu yang paling utama ialah ahli Al-Qur’an, mereka adalah ahli ilmu yang sebenarnya, dan berhak menyandang predikat ini.
  6. Perintah untuk menuntut ilmu, dan bertanya kepada ahli ilmu.
  7. Adanya pengkhususan bertanya kepada ahli ilmu terkandung larangan bertanya kepada selain mereka dari kalangan orang-orang bodoh yang tidak berilmu.
  8. Terdapat dalil yang jelas bahwa ijtihad itu tidak diwajibkan bagi seluruh manusia, karena tidak ada seorang pun yang bisa membayangkan jika semua manusia menjadi para Mujtahid.
Diantara bentuk-bentuk penyimpangan  atas prinsip pokok ini adalah;

1. Bahwa kita bisa menyaksikan sebagian manusia ketika ditimpa masalah atau musibah, maka ia bertanya kepada orang terdekat, dan sebagian manusia hanya melihat penampilan saja, sehingga mereka dimintai fatwa!

Imam Malik bin Anas berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah Agama, maka perhatikanlah dari siapa kalian mengambil Agama kalian.

2. Tidak adanya ketelitian dalam mengambil ilmu dari ahli dzikir sebenarnya. Hal itu karena banyaknya orang-orang yang menyandarkan diri mereka kepada ilmu, dan orang-orang yang menyerupai ahli ilmu lebih banyak lagi. Siap saja yang menyaksikan sebagian orang yang berlagak seperti ulama dalam siaran-siaran media elektronik, niscaya ia akan menemukan sebagian dari hal itu, karena manusia- disebabkan lemahnya daya tangkap dan kurangnya kemampuan untuk membedakan (mana ulama dan mana yang bukan ulama, mana seorang da’i atau Khotib dengan seorang ulama)- mengira bahwa setiap orang yang berbicara tentang islam, maka orang tersebut adalah seorang ulama, dan boleh dimintai fatwa dalam masalah-masalah Agama!  Maka muncullah – sebagai dampak dari hal itu- bentuk-bentuk fatwa yang nyeleneh,, bahkan keliru, dan tidak dapat diterima, perbuatan – perbuatan yang mengikuti hawa nafsunya, mencari-cari keringanan yang timbul dari masyarakat awam, sehingga sikap beragama mereka menjadi lembek, dan ibadah mereka lemah disebabkan sebab-sebab tertentu. Dan diantara sebab yang paling penting adalah beredarnya fatwa-fatwa yang digembar-gemborkan melalui siaran-siaran media elektronik (seperti TV dan internet).

Diriwayatkan dari Ibnu Abdil Barr, “Bahwa seorang laki-laki masuk ke rumah Rabi’ah bin Abdurahman (guru imam Malik), maka laki-laki tersebut mendapatinya sedang menangis, lalu ia bertanya kepadanya: apa yang membuatmu menangis? – ia menjadi sedih lantaran tangisannya ini-- ia lalu bertanya lagi: adakah musibah yang sedang anda alami? Dia menjawab: Tidak, akan tetapi seseorang yang tidak berilmu telah dimintai fatwa! Sehingga muncullah perkara yang besar dalam Islam. Rabi`ah berkata: Sungguh orang yang dimintai fatwa di sini lebih layak masuk penjara dari pada pencuri”.

Imam Ibnu Hamdan al-Harani berkomentar terhadap kisah ini dengan berkata: “Maka bagaimana jika Rabi’ah melihat zaman kita ini, dan sikap beraninya orang yang tidak berilmu untuk berfatwa, dengan kurangnya pengalamannya, jeleknya perjalanan hidupnya, dan buruknya hatinya?! Sungguh tujuannya hanyalah sum’ah (ingin didengar) dan riya’, serta ingin menyerupai orang-orang yang utama, mulia, terkenal yang tidak menonjolkan diri, ulama yang mendalam ilmunya, ulama terdahulu yang luas ilmunya, dan bersamaan dengan ini semua mereka dilarang (berfatwa) tapi mereka tetap tidak berhenti melakukannya, mereka sering diingatkan tapi tidak mengindahkan peringatan itu, terkadang mereka dipenuhi dengan berkumpulnya orang-orang yang tidak berilmu, dan mereka meninggalkan hak dan kewajiban mereka sekaligus.”

Maksud dari uraian yang singkat ini ialah mengingatkan akan pentingnya sikap berhati-hati dalam bertanya, sehingga tidaklah seseorang bertanya melainkan kepada orang-orang yang paling bertakwa, paling berilmu, dan paling wara’, mereka itulah para ahli dzikir yang sesungguhnya, yaitu sebagaimana yang telah disebutkan gambaran mereka oleh prinsip pokok ini,” Maka bertanyalah kepada orang yang memiliki pengetahuan jika kamu tidak mengetahui.”

Pembicaraan yang telah lewat tadi janganlah dipahami bahwa semua orang yang muncul di saluran-saluran satelit(TV maupun internet) sebagaimana orang yang telah disebutkan tadi, bahkan diantara orang-orang yang muncul tersebut, -Alhamdulillah- terdapat sejumlah ulama dan masyayikh yang mendalam ilmunya dan menguasai bidangnya,. Hanya saja pembicaraan ini ditujukan kepada beberapa kelompok yang suka berfatwa, padahal mereka tidak seperti kesungguhan para ulama dalam masalah fatwa, dan mereka bukanlah orang yang layak untuk berfatwa,

وَلَتَعْرِفَنَّهُمْ فِي لَحْنِ الْقَوْلِ ۚ

Artinya: “Dan kamu benar-benar akan mengenal mereka dari kiasan-kiasan perkataan mereka”. (QS. Muhammad: 30).

Semoga bermanfaat…

----
(Disalin secara ringkas dari kitab 50 Qoidah Qur-aniyyah finnafsi walhayah,karya: Dr. Umar bin Abdullah al-Muqbil Hafizhohullah).
Sumber : http://minhajussunnah.or.id/


Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?