Ushul dan Furu’ dan Al Wala' Wal Bara’ Kepada Ahli Bid'ah

Ushul dan Furu' 

Di dalam masalah fiqh, terdapat ushul (pokok) dan furu’ (cabang). Demikian pula di dalam masalah aqidah, terdapat ushul dan furu’.

Walaupun tidak ada di zaman nabi (masuk perkara baru), pembagian seperti ini diperbolehkan. Karena pada hakikatnya tidak bertentangan dengan dalil-dalil syari’at. Pembagian ini berfungsi untuk memudahkan memeta atau mengklasifikasikan permasalahan-permasalahan agama. Ini merupakan pendapat jumhur ulama’ (mayoritas ulama’) dari masa ke masa sampai zaman kita sekarang ini.

Dalam masalah fiqh, contohnya shalat fardhu yang lima. Hukum wajibnya shalat lima waktu, termasuk perkara ushul. Karena termasuk rukun Islam kedua setelah syahadat. Namun, masalah qunut Shubuh, dikeraskan tidaknya bacaan “basmalah” dalam shalat jarhiyyah, boleh tidaknya melafadzkan niat, lutut atau kaki dulu yang menyentuh lantai ketika turun sujud, duduk rekaat terakhir tawwaruk atau ifirasy, dan yang lainnya, termasuk perkara furu’. Oleh karena itu, para ulama’ berbeda pendapat dalam masalah-masalah ini.

Dalam masalah aqidah, contohnya adalah keimanan kepada Allah. Iman kepada Allah termasuk masalah ushul. Karena termasuk rukun iman yang pertama. Namun masalah berapa jumlah asmaul husna (nama-nama Allah yang baik), maka termasuk perkara furu’. Oleh karena itu para ulama’ berbeda pendapat. Ada yang menyatakan terbatas 99 nama, dan ada yang menyatakan tidak terbatas. Beriman kepada adanya adzab qubur, termasuk masalah ushul agama. Akan tetapi masalah apakah yang diadzab ruh dan jasad, atau ruh saja, maka ini termasuk masalah furu’. Oleh karena itu, para ulama’ berbeda pendapat dalam masalah ini.

Apa faidah mengklasifikasikan masalah agama menjadi ushul dan furu’? Untuk memudahkan menjelaskan hukum-hukum dan konsekwensinya. Seorang yang keliru di dalam masalah ushul, berbeda dengan seorang yang keliru dalam masalah furu’. Cara menyikapi perbedaan dalam masalah uhsul, berbeda dengan cara menyikapi perbedaan dalam masalah furu’. Seorang yang mengingkari wajibnya shalat lima waktu (secara sadar, tahu, dan sengaja), dia telah keliru dalam masalah ushul. Ini akan berkonsekwensi hukum-hukum besar kepadanya. Seperti penetapan hukum kafir, sesat, hukum istitab (permintaan untuk taubat) jika tidak mau maka dibunuh, tidak bisa mewarisi dan mewarisakan harta, dan yang lainnya. Dalam hal ini, maka kita wajib berbeda dan tidak ada toleransi di dalamnya. Dan hak-hak sesama muslim tidak berlaku lagi di sini.

Namun lain halnya dalam masalah qunut shubuh. Seorang yang berbeda dalam masalah ini, baik yang berpendapat disyariatkannya atau tidak, maka mereka tetap di dalam lingkup sebagai seorang muslim dan masih berstatus sebagai ahlus sunnah wal jama’ah. Karena hal ini termasuk masalah furu’. Harus tetap saling mencintai, menghormati, menghargai, tidak boleh menjadi sebab perpecahan, tidak boleh memaksakan dan berbagai hak-hak persaudaraan sesama muslim tetap kita tunaikan.
Jika seorang menyikapi perbedaan pendapat di dalam masalah furu’ seperti menyikapi perbedaan dalam masalah ushul, maka ini sebuah kekeliruan yang sangat fatal. Inilah pentingnya kita memahami pembagian seperti ini, untuk meminimalisir berbagai kesalahan dalam memahami hukum dan konsekwensinya.

Sebagian pihak ada yang menolak pembagian ushul dan furu’ secara mutlak. Ini pendapat yang tidak mu’tabar (tidak diperhitungkan). Selain menyelisihi pendapat mayoritas ulama’, pada hakikatnya –secara tidak sadar- pendapat ini telah menolak fakta adanya hal ini (ushul dan furu’ dalam agama).

Sebagiannya ada yang bersandar kepada pernyataan-pernyataan syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam menolak klasifikasi ini. Padahal, yang ditolak oleh beliau, bukanlah penolakan secara mutlak. Akan tetapi, dalam masalah definisi (batasan-batasanya) dan konsekwensi darinya yang tidak sejalan dengan syari’at.

Referensi:

  • Masailu Ushulid Din Al-Mabhutsah fil Ushulil Fiqh – Dr. Khalid Abdul Lathif
  • Hushulul Ma’mul – Dr. Abdullah bin Abdurrahman Al Amir
  • Ushul wal Furu’ – Dr. Sa’ad Asy-Syatsri
Sumber : https://www.islampos.com

---

Bagaimana ketentuan wala (loyalitas) dan baro’ (kebencian) terhadap ahli bid’ah?

Asy Syaikh Ubaid bin Abdillah al Jabiry حفظه الله menjelaskan sbb :

· فمنهم الداعية إلى بدعته الجَلْد؛ فهذا له حالتان :

– إحداهما: أن تكون قوة الشوكة والصولة والكِفَّة الراجحة لأهل السنة فإنهم يغلظون القول فيهم ويهجرونهم ولا كرامة عين.

– أما إذا كانت المسألة عكسية فالصَوْلة والجولة والكفة وقوة الشوكة للمبتدعة فيكتفي أهل السنة برد البدع ولا يهجرون، نعم لك أن تهجره هجرًا وقائيًا في هذا الحال فلا تزوره ولا تستزيره وإذا لقيته مع ناس سَلّم عليه نعم وحتى لو لم تلقه مع ناس وكنت تخشى سطوته سَلِّم عليه ثم اذهب، وإذا مدّ يده إليك صافحه، وإذا دخلت وهو في المجلس صافحه ضمن الآخرين.

· الثاني: غير الداعية، بدعته في نفسه، فهذا أخف.

– الصنف الثاني من أهل البِدع، البِدع المُكفّرة: مثل وحدة الوجود والحلول والرَّفض، وأهل الباطنية، فهؤلاء يُهجَرون ولا كرامة عين، ولو أَدَّى الأمر أَنَّك تخرج من قريتك، أو تُصَلِّي في بيتك يكفي، لابد من هجرهم، نعم إن كنت تطمع في نصيحتهم، تقوى على أمرهم بالمعروف والنهي عن المُنكر، وقدرت على إقام الحُجّة فأقم عليه الحُجَّة، لعلَّ الله يهدي بك ضالًّا ويكون لك كما قال – صلّى الله عليه وسلّم –: ((مَنْ دَعَا إِلَى هُدًى كَانَ لَهُ مِنْ الْأَجْرِ مِثْلُ أُجُورِ مَنْ اتَّبَعَهُ لَا يَنْقُصُ ذَلِكَ مِنْ أُجُورِهِمْ شَيْئًا)).

Artinya :

Ahli bid’ah berbeda-beda keadaannya :

1. Ahli bid’ah yang berperan sebagai da’i yang mengajak kepada kebid’ahannya. Maka ini memiliki dua keadaan :

Ahli Sunnah memiliki kekuatan dan kemampuan yang lebih dominan. Maka mereka harus bersikap keras dan tegas didalam membantah mereka serta memboikot mereka. Tidak ada penghormatan bagi ahli bid’ah

Adapun jika keadaan sebaliknya, yaitu ahli bid’ah yang memiliki kekuatan dan kekuasaan yang lebih dominan, maka cukup bagi mereka dengan membantah ahli bid’ah dan tidak memboikot.

Ya. . boleh bagi anda untuk memboikotnya secara defensif pada keadaan seperti ini, yaitu jangan kamu mengunjungi dia dan jangan kamu mengundang dia ke rumahmu, namun jika kamu berjumpa dengannya ditengah banyak orang, maka beri salam dia dan walaupun tidak ada orang lain tapi kamu takut dengan kekuatannya, maka boleh kamu salami dia kemudian pergi. Dan jika mengulurkan tangannya maka salami dia, dan jika kamu masuk kesebuah majlis, dan dia ada disitu, maka salami dia bersama orang yang lain.

2. Ahli bid’ah yang bukan da’i dan dia hanya melakukan bid’ah pada dirinya sendiri.

Maka ini keadaannya lebih ringan.

Adapun jenis kedua dari ahli bid’ah, yaitu yang kebid’ahannya sampai pada tingkat kekufuran.

Seperti ; Wihdatul wujud (keyakinan bahwa Allah menyatu dengan makhluknya), Syi’ah rafidhah, Batiniyah.

Maka mereka ini diboikot secara total dan tidak ada penghormatan baginya, walaupun anda harus meninggalkan lingkungan anda, atau anda sholat dirumah, maka sudah cukup, harus memboikot mereka.

Tapi kalau anda bertekad untuk menasehati mereka dan anda punya kemampuan untuk amar ma’ruf nahi mungkar kepada mereka, serta mampu menegakkan hujjah kepada mereka, maka lakukanlah, mungkin saja Allah memberi hidayah kepada mereka melalui anda, sehingga anda mendapatkan janji yang disebutkan dalam hadits :

”Barang siapa yang menyeru kepada petunjuk, maka baginya pahala seperti pahala orang yang beramal tersebut dengan tanpa mengurangi pahala dia sedikitpun”

Sumber: http://ar.miraath.net

Alih bahasa: Syabab Forum Salafy

Sumber : http://forumsalafy.net

Komentar

Kajian Populer

Rekam jejak sikap oknum dan PBNU selama sekitar 100 tahun terakhir terhadap Muslimiin yang bukan NU

Adi Hidayat : "Dubesnya NU di Muhammadiyah"

Makkah Royal Clock Tower adalah "Tanduk Setan" di kota Nejd...?